Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
PADA pagi 1 Juni 2025 di Cibubur, pendirian Sumitro Djojohadikusumo Institute diumumkan dalam suasana yang nyaris seremonial. Namun, di balik gestur simbolis itu, tersimpan gema sejarah yang lebih dalam: bukan sekadar penghormatan terhadap sang begawan ekonomi Indonesia, Prof Sumitro Djojohadikusumo, melainkan juga upaya serius untuk menapaki kembali mimpi-mimpinya yang belum selesai.
Di pusat dari peristiwa itu berdiri putranya, Prabowo Subianto, presiden terpilih Indonesia yang tengah bersiap menanggung beban terbesar dalam hidupnya, mengubah ide menjadi kebijakan dan menjadikan sejarah keluarganya sebagai proyek kebangsaan.
Sumitro bukanlah nama kecil dalam sejarah Republik ini. Ia arsitek ekonomi nasional, seorang teknokrat yang menjembatani pemikiran liberal klasik dan pragmatisme pembangunan.
Pada masanya, ia menyerap pendidikan tinggi dari Belanda, Prancis, dan Inggris lalu menerjemahkannya dalam cetak biru untuk Indonesia yang maju, adil, dan berdaulat secara ekonomi.
Inspirasi Sumitro tidak datang dari ruang hampa. Ia menelaah dan mengagumi model pembangunan Prancis pasca-Perang Dunia II, khususnya pendekatan teknokratis yang dibangun Jean Monnet, tokoh di balik Commissariat au Plan. Bagi Sumitro, pembangunan ialah tugas negara, bukan sekadar pasar. Ia percaya pada kekuatan intervensi negara yang rasional dan terukur, demi menciptakan kemandirian nasional.
Namun, Sumitro, sebrilian apa pun pikirannya, ialah pemikir yang gagal menemukan panggung kekuasaan. Ia kerap berada di dekat pusat pengaruh, tapi tak pernah benar-benar memegang kendali tertinggi.
Justru anaknya, Prabowo Subianto, yang berangkat dari dunia militer, lembaga yang dulu sering berseberangan dengan jalan intelektual ayahnya, menemukan ulang gagasan-gagasan itu dan membawanya ke dalam arus utama politik Indonesia kontemporer.
Naiknya Prabowo ke panggung kepemimpinan nasional bukan semata hasil peruntungan elektoral, melainkan buah dari tiga fondasi kuat yang membentuk dirinya.
Pertama, ia lahir dari trah intelektual Sumitro, bukan hanya secara biologis, melainkan juga dalam atmosfer gagasan yang membentuknya sejak dini. Di lingkungan keluarga itu, diskusi tentang negara, strategi ekonomi, dan geopolitik ialah bagian dari kehidupan sehari-hari.
Kedua, ia menjadi bagian dari keluarga Cendana melalui pernikahannya dengan Titiek Soeharto, yang mempertemukannya dengan pusat kekuasaan politik Orde Baru.
Ketiga, ia bangsawan militer, mencapai posisi puncak di TNI Angkatan Darat, menjadikannya bagian dari elite pertahanan yang punya jejaring kuat dan loyalitas struktural yang tak terbentuk dalam semalam.
Ketiga unsur ini bersatu membentuk ekosistem politik yang langka: seorang jenderal dengan darah intelektual, jejaring politik dinasti, dan fondasi militer yang kukuh.
Inilah yang menjadikan Prabowo sosok yang tidak bisa direduksi sekadar sebagai politikus biasa. Ia adalah sumbu dari tiga kutub kekuasaan yang saling melengkapi.
Ketika Prabowo kalah dalam dua pemilu sebelumnya, sebagian publik melihatnya sebagai militer yang tak berhasil berdamai dengan demokrasi.
Namun, di balik retorikanya yang kerap keras, ada visi yang terus dirawat. Ia membangun sekolah, yayasan, think tank, dan jaringan intelektual, semua untuk satu tujuan: membumikan kembali gagasan-gagasan Sumitro tentang Indonesia yang besar, kuat, dan mandiri.
Dengan terpilihnya Prabowo sebagai presiden, sejarah seolah memberi Sumitro kesempatan kedua. Kini Prabowo bisa merumuskan kembali narasi nasional yang dahulu hanya hidup di atas kertas. Inilah yang membuatnya berpotensi dikenang sebagai pemimpin yang 'born to rule', bukan karena takdir, melainkan karena ia membawa ide besar ke jalur konkret kekuasaan.
Dalam konteks sejarah global, posisi Prabowo memiliki gema historis yang menarik: ia mengingatkan pada Charles de Gaulle, jenderal Prancis yang memimpin negaranya keluar dari kekacauan pascaperang dan membentuk Republik Kelima.
Keduanya datang dari latar militer, tetapi mengusung visi kenegaraan yang berakar pada nasionalisme dan sejarah. De Gaulle mengembalikan martabat Prancis, bukan hanya dengan senjata, melainkan juga dengan fondasi pemikiran kebangsaan. Prabowo pun datang dengan semangat serupa: mengembalikan kedaulatan Indonesia dalam pangan, energi, dan pertahanan.
Gaya pribadi mereka juga memiliki kemiripan. Sama-sama dikenal keras kepala, tegas, dan cenderung tidak kompromistis terhadap prinsip.
De Gaulle tidak lahir dari partai politik, sedangkan Prabowo iya. Namun, mereka punya kemiripan, yakni secara ekositem politik, lahir dari krisis. Kedua mereka berbicara dalam bahasa negara, bukan partai; dalam bahasa sejarah, bukan popularitas.
Mereka menyukai simbol besar dan protokol, tapi di balik itu tersimpan keteguhan misi jangka panjang. De Gaulle menolak menjadi alat elite politik Paris; Prabowo juga kerap menegaskan bahwa ia bukan petugas partai, melainkan penjaga Republik.
Karakter keras kepala Prabowo Subianto dilandasi nasionalisme yang kuat dan dorongan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang disegani. Dalam konteks itu, pilihannya menjadikan Tiongkok sebagai tujuan pertama kunjungan luar negeri seusai terpilih bukan sekadar pragmatis, melainkan pernyataan sikap.
Ia ingin menunjukkan bahwa Indonesia tidak harus tunduk pada orbit kekuatan Barat dan bisa menjalin hubungan strategis dengan kekuatan global lain seperti Tiongkok.
Itu mencerminkan gaya kepemimpinan tegas dan berani mengambil jalur sendiri, mirip dengan sikap Charles de Gaulle yang kerap mengabaikan tekanan dari negara-negara adidaya demi kepentingan nasional.
Keinginan Prabowo agar Indonesia bergabung dengan BRICS juga sejalan dengan pola pikir keras kepala yang menolak dikotomi global antara Barat dan Timur. Bagi Prabowo, bergabung dengan BRICS ialah upaya menempatkan Indonesia di pusat tatanan dunia baru yang lebih multipolar, bukan sekadar menjadi pengikut blok ekonomi lama seperti G-7.
Sikap itu mungkin menuai kekhawatiran dari mitra Barat, tetapi bagi Prabowo, itu harga yang pantas untuk mempertahankan otonomi politik luar negeri. Pendekatannya itu, meskipun kontroversial, mencerminkan ambisi besar untuk mengembalikan posisi Indonesia sebagai kekuatan regional yang bebas menentukan langkahnya sendiri.
Namun, seperti De Gaulle yang harus menghadapi kompleksitas Perang Dingin dan tekanan wilayah kolonial, Prabowo kini menghadapi tantangan zaman: polarisasi politik, kerentanan pangan dan energi, serta tekanan global yang tak mengenal kompromi. Di sinilah sejarah menanti: akankah ia menjadi sekadar pengelola warisan, atau pelaku sejarah yang mengubah arah Republik?
Pendirian Sumitro Institute memberi sinyal penting. Lembaga itu bukan hanya ruang penghormatan intelektual, melainkan juga bisa menjadi pusat produksi kebijakan nasional. Bila dikembangkan dengan serius, ia bisa menjadi Hoover Institution atau Rand Corporation versi Nusantara: penghasil ide-ide besar yang melampaui kepentingan jangka pendek.
Namun, waktu tidak menunggu. Jika Prabowo menunda, atau terseret dalam kalkulasi politik lima tahunan, Sumitro hanya akan menjadi nama aula, bukan jantung kebijakan. Namun, jika ia berani, dan sejarah menunjukkan Prabowo tidak pernah kekurangan keberanian, ini saatnya untuk menjadikan warisan ayahnya sebagai kebijakan negara.
Ia harus memastikan swasembada pangan bukan slogan, melainkan sistem produksi berkelanjutan. Bahwa pertahanan bukan hanya senjata, melainkan juga logistik dan energi. Bahwa nasionalisme bukan hanya orasi, melainkan juga keberanian berdiri di atas kaki sendiri. Bahwa Indonesia bukan hanya pasar global, melainkan juga produsen gagasan dan teknologi.
Dalam sejarah, hanya sedikit pemimpin yang diwarisi cetak biru seperti yang dimiliki Prabowo. Sumitro tidak hanya meninggalkan nama, tetapi juga mimpi dan kerangka acuan. Kini, di tangan Prabowo, semuanya akan diuji: akan menjadi tindakan berani seorang negarawan, atau sekadar epilog dari sebuah cerita besar keluarga?
Kita hidup di zaman ketika ide besar harus beradu cepat dengan algoritma populisme. Di sinilah Prabowo diuji: apakah ia akan menjadi presiden yang sekadar memimpin transisi pasca-Jokowi, atau arsitek Republik baru yang berakar pada doktrin lama, tetapi berorientasi pada masa depan?
Jika jawabannya ialah yang kedua, sejarah akan memperlakukannya lebih daripada sekadar jenderal. Ia akan diingat sebagai 'the son who ruled', sebagai satu-satunya anak Sumitro yang tidak hanya mewarisi nama, tetapi juga mewujudkan warisan itu menjadi Republik yang lebih adil, kuat, dan berdaulat. Hanya dengan begitu, gelar 'born to rule' bukan lagi sekadar label para pengagum, melainkan juga fakta sejarah yang ditulis dengan tinta tindakan.
Mungkin, hanya mungkin, jika ia berhasil, jika ia menjadikan Indonesia berdikari dalam arti sebenarnya, namanya akan ditulis dengan tinta sejarah: bukan hanya sebagai jenderal, bukan hanya sebagai presiden, melainkan juga sebagai 'reinkarnasi yang mewujudkan' bukan karena dilahirkan untuk itu, melainkan karena ia mampu mengubah warisan menjadi kenyataan.
PRESIDEN Prabowo Subianto lebih memilih absen dari KTT G7 dan melakukan kunjungan kenegaraan ke Federasi Rusia pekan depan.
PRESIDEN Prabowo Subianto mengatakan prioritas pembangunan Giant Sea Wall dilakukan dari Jakarta hingga Semarang.
WAKIL Ketua DPR RI Adies Kadir mengapresiasi keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menaikkan gaji hakim sebesar 280%.
Presiden Prabowo Subianto akan membentuk Badan Otorita Tanggul Laut Pantai Utara Jawa (Pantura).
“Saya tidak ada rencana mau reshuffle. Sementara saya menilai tim saya bekerja dengan baik. Kita buktikan minggu demi minggu hasil capaian yang kita lakukan,”
Dalam kondisi sosial yang timpang, hanya hakim yang adil yang menjadi harapan masyarakat kecil. Berbeda dengan penguasa atau elite yang tak terlalu terbebani saat terjerat kasus hukum.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved