Headline
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
AKHIR-AKHIR ini di Indonesia, narasi tentang perempuan sering terkait dengan kekerasan seksual yang mereka alami. Ini sebenarnya tidak baru sama sekali seiring maraknya semangat feminisme dalam beberapa dekade terakhir. Tapi yang menjadi sorotan dalam tulisan ini ialah, kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas. Kelompok ini sering luput dari perhatian dan analisa para pengambil kebijakan dan pembuat undang-undang.
Faktanya, perempuan disabilitas inilah yang paling rentan mengalami kekerasan, seperti kekerasan seksual, diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuk.
Bahkan, perempuan penyandang disabilitas psikososial ini juga rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi yang tumpang tindih. Mereka umumnya adalah kelompok minoritas yang miskin dan lemah. Karena keterbatasan fisik itu, maka mental dan intelektual mereka tak bisa berbuat apa-apa. Beban itu semakin diperparah oleh stereotipe dan sistem budaya kita, yang masih menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi dan marginalisasi, sebuah posisi yang memang harus dikuasai.
Baca juga : Takut Info Casting Hanya Penipuan, Irma Rihi Sempat Ragu Bermain di Film Women From Rote Island
Hal ini dibenarkan oleh catatan Tahunan Komisi Nasional Anti kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Disebutkan bahwa, sejak tahun 2014 hingga 2022 terdapat 586 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan penyandang disabilitas, 34 kasus di antaranya dialami oleh perempuan disabilitas psikososial.
Secara rinci, 31 kasus kekerasan seksual dialami penyandang disabilitas rungu-wicara, 22 kasus dialami penyandang disabilitas intelektual, dan 14 kasus dialami penyandang disabilitas mental. Mayoritas korban merupakan perempuan dengan jumlah 76 orang. Usia korban paling banyak antara 15-19 tahun (Kompas.id, 10/4/2023).
Apa yang mau dikatakan dengan angka-angka tersebut? Tentu secara gamblang menunjukkan, bahwa kasus kekerasan pada perempuan disabilitas terus meningkat setiap tahun. Lantas, dimana peran pemerintah?
Baca juga : Ini Jurus Anies Atasi KDRT dan Kekerasan Seksual
Pemerintah dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat memang telah melahirkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang ini membuka ruang lebih besar bagi penanganan yang lebih optimal terhadap kasus kekerasan seksual, dan lebih banyak menyorot pemenuhan hak korban, tidak terkecuali korban perempuan disabilitas (SAPDAJOGJA.org).
Undang-undang ini lahir dari keprihatinan masyarakat terhadap perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual, diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan lainnya. Sebelum UU TPKS disahkan, kekerasan seksual dipandang sebagai kejahatan terhadap kesusilaan dan persoalan moralitas.
Karena pandangan tersebut, seringkali kasus kekerasan seksual hanya diselesaikan secara privat, dilakukan di luar proses hukum dengan mekanisme sosial seperti membayar denda kepada korban, ganti rugi, dan proses adat pada daerah atau wilayah tempat korban tinggal.
Baca juga : Hari Ibu Jangan Jalan di Tempat
Namun solusi seperti itu jauh dari cukup bagi korban yang mengalami kekerasan. Mereka mengalami ketakutan, depresi, trauma dan bahkan gangguan jiwa. Apalagi jika korban tidak didampingi secara efektif. Begitu pun korban penyandang disabilitas, yang seringkali dianggap tak ‘memahami’ apa itu pemerkosaan, pelecahan, kekerasan dan tidak mungkin melakukan perlawanan. Hal ini kemudian, berdampak pada lemahnya penanganan kasus-kasus yang mereka alami.
Keadaan ini tentu tidak biasa-biasa, bahkan darurat. Oleh karena itu, Komnas Perempuan bersama Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia hingga para aktivis perempuan, pada tahun 2012 telah menginisiasi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), yang pada mulanya bernama Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Setelah menanti selama 10 tahun akhirnya RUU TPKS resmi disahkan menjadi UU TPKS, tepatnya 12 April 2022.
Pertanyaannya ialah bagaimana implementasi UU TPKS terhadap penyandang disabilitas selama dua tahun sejak disahkannya? Kenyataannya, kasus kekerasan seksual pada penyandang disabilitas masih tinggi. Hal ini sangat memprihatinkan. Banyak kasus kekerasan seksual pada perempuan disabilitas yang belum terungkap ke publik, karena kurangnya wadah yang tidak bisa dijangkau oleh korban khususnya wilayah-wilayah sulit dan terpencil.
Baca juga : UU TPKS Jamin Hak Korban untuk Mengakses Proses Hukum dan Dokumen Hasil Penanganan
Keterbatasan fisik seperti cacat atau keterbatasan lainnya membuat mereka tak mampu berbicara secara terbuka, cenderung menutupi kasus yang dialami, takut melapor, dan pendampingan yang kurang.
Di sisi lain masih terdapat kasus yang sudah diungkap namun hambatan data yang tidak jelas, saksi yang belum sepenuhnya berani memberi keterangan, dan aparat penegak hukum belum memiliki pemahaman akurat dan jelas tentang disabilitas. Kesaksian korban sering tidak dipercaya oleh aparat penegak hukum. Hal inilah, yang membuat kasus tersebut lamban diselesaikan bahkan cenderung diabaikan.
Dari pengamatan saya di lapangan, Undang-undang TPKS sendiri memang lebih mengarah kepada pemenuhan hak-hak korban. Nyatanya, hak-hak korban seringkali tidak diperhatikan. Penyandang disabilitas masih terhegemoni baik secara kultural maupun struktural.
Baca juga : Maklumat Politik Ulama Perempuan, Alissa Wahid: Calon Pemimpin Harus Memastikan Keadilan Seutuhnya
Persepsi-persepsi ini tentu berimplikasi pada pemenuhan hak-hak mereka sebagai perempuan. Apalagi, dalam kerangka mengimplementasi kebijakan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas.
Lalu apa yang diharapkan dalam kondisi demikian? Memang tertinggal cuma satu yaitu terus menerus secara konsisten mengadakan advokasi dan pencerahan terhadap ruang-ruang yang perlu diperhatikan dari UU TPKS tersebut.
Komnas Perempuan bersama LSM dan organisasi-organisasi terkait selama ini terus mendorong aparat penegak hukum yang masih kurang merepresentasikan UU TPKS, dan melibatkan langsung kelompok-kelompok kunci agar membuat pendataan-pendataan di lapangan sehingga menjadi laporan yang valid kepada penegak hukum.
Herdiana Randut
Member of Woke Asia Feminist dan Anggota Komunitas Puandemik Indonesia
Talkshow tersebut menyoroti peran penting keuangan digital dalam meningkatkan kemandirian ekonomi penyandang disabilitas.
Ketua Komisi I DPRD Pematangsiantar Robin Manurung mengatakan pihaknya akan memperjuangkan hak-hak para penyandang disabilitas
Ada banyak rekomendasi baik itu regulasi maupun kasus-kasus yang menjadi tanggungjawab Kementerian HAM untuk menindaklanjutinya. RPP Konsesi diharapkan bisa terwujud segera
Pentingnya tanda identifikasi bagi penyintas disabilitas tak nampak karena sering kali mereka tidak mendapatkan perlakuan khusus saat di ruang publik maupun transportasi umum.
GUBERNUR DKI Jakarta Pramono Anung, melakukan peletakan batu pertama (groundbreaking) pembangunan trotoar dan saluran di Jalan Falatehan, kawasan Blok M ASEAN, Kebayoran Baru
BERAGAM pertimbangan pribadi serta masukan dari pihak luar untuk merampungkan persoalan Kapolri terpilih Komjen Budi Gunawan dianggap sudah cukup oleh Presiden Joko Widodo
Menteri PPPA Arifah Fauzimengecam kekerasan seksual yang dialami seorang perempuan (MML) oleh oknum anggota Polisi (Aipda PS) di Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT.
PEMBENAHAN mutlak diperlukan di sejumlah sektor untuk mendorong efektivitas penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
KETUA Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Gadjah Mada, Sri Wiyanti Eddyono mengatakan terdapat implikasi jika tidak memaksimalkan UU TPKS.
VIRAL di media sosial seorang ibu bercerita jika anaknya menjadi korban pelecehan seksual oleh pelaku anak berusia di bawah 12 tahun.
Instansi pendidikan berperan dalam menyediakan ruang aman bagi anak untuk dapat mengembangkan diri dan meningkatkan pengetahuan.
Dijelaskan Jane dalam persidangan, Hotel Nights melibatkan tiga kali hubungan seksual dengan seorang gigolo.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved