Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Refleksi untuk India dan Jepang: Kemandekan Inisiasi Kerja Sama AAGC

Adrianita Putri Damaiyanti dan Syahla Fitri Ayuni, Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional UNS
21/6/2023 15:56
Refleksi untuk India dan Jepang: Kemandekan Inisiasi Kerja Sama AAGC
( )

"Negara-negara bergabung dalam aliansi guna berlindung dari negara lain maupun koalisi yang superioritas sumber dayanya berpotensi menjadi ancaman. Tingkat ancaman dipengaruhi pula oleh proksimitas geografi, kapabilitas ofensif, dan persepsi akan timbulnya niatan ofensif." Begitulah kesimpulan mengenai balance of threat yang ditulis Stephen M. Walt dalam Alliance Formation and the Balance of World Power.

Kurang lebih demikian kondisi yang tercipta dalam dunia internasional ketika melihat ekspansi kebangkitan Tiongkok yang begitu progresif melalui Belt and Road Initiative. Khawatir akan survival mereka, negara-negara seperti India dan Jepang berupaya melakukan suatu penyeimbangan terhadap potensi ancaman dominasi Tiongkok ini.

Dilansir dari Economic Times, sejak lima tahun terakhir India dan Jepang melakukan berbagai cara termasuk membangun kerja sama trilateral dengan berkolaborasi dengan negara lain. Pada 2022, Jepang mengajukan proposal kerja sama pembangunan kepada India dengan objek sasaran negara-negara seperti Asia Tenggara. Akan tetapi, kolaborasi India-Jepang bukanlah suatu hal yang baru karena pada 2017, kedua negara tersebut sempat melakukan inisiasi kerja sama yang dinamai Asia Africa Growth Corridor (Koridor Pertumbuhan Asia Afrika) yang nyatanya mandek di tengah jalan.

AAGC merupakan output dari pertemuan diskusi antara India dan Jepang pada 2016 yang merencanakan pembangunan kerja sama di Afrika yang menjadi bagian dari koordinasi Asia-Pacific Vision of 2025. Pada 23 Mei 2017 melalui Pertemuan Tahunan African Development Bank ke-52 yang diadakan di Ghandinagar, India, Perdana Menteri India Narendra Modi mengumumkan ikatan kerja sama yang akan dibangun antara India dan Jepang melalui AAGC. 

AAGC memiliki empat area fokus utama, yakni pembangunan dan kerja sama; infrastruktur berkualitas serta konektivitas digital dan institusional; peningkatan kapabilitas dan kemampuan; juga mendirikan people-to-people partnerships. Karakteristik inisiatif kerja sama ini ialah penyelenggaraannya yang berlandaskan keuntungan bersama, nonintervensi, kesempatan bertumbuh secara kolektif, dan ketiadaan persyaratan.

AAGC kerap disebut sebagai alternatif dari Belt and Road Initiative yang dikembangkan Tiongkok karena bersifat lebih liberal, sistemnya tidak lebih mengikat, dan memiliki transparansi, terutama dalam konsekuensi kerja sama. Pada hakikatnya, AAGC merupakan suatu kerja sama triangular ketika Jepang sebagai pivotal partner, India sebagai fasilitator, dan negara-negara Afrika sebagai beneficiary partners. Keputusan untuk menjadi penyeimbang BRI yang dipandang mengancam seperti pada kasus ini dipilih lantaran jika bergabung (bandwagoning) ke pihak Tiongkok, tidak hanya vulnerabilitas akan meningkat, tetapi juga bargaining power mereka akan semakin terkikis di bawah hegemoni Tiongkok. Hal itulah yang ingin mereka hindari.
 
Motivasi inisiasi kerja sama AAGC oleh India dan Jepang dapat diuraikan sebagai berikut keselarasan persepsi akan potensi ancaman Tiongkok di kawasan, kemiripan sebagai pihak yang diabaikan dalam setiap langkah kepentingan nasional Tiongkok, keinginan untuk mendapatkan konektivitas kerja sama yang mencakup transparansi dan tata kelola yang keberlanjutan, mempertahankan posisi dan kedaulatan negara di level internasional maupun regional, serta kolaborasi sumber daya guna mengejar ketertinggalan dan capacity building. Sayangnya, inisiasi konsep kerja sama yang dibangun ini gagal dan hingga pada tahun-tahun berikutnya. Kedua negara tersebut tidak pernah lagi menyebut soal AAGC dalam pertemuan bilateral India-Jepang. Bahkan situs web yang seharusnya meliput perkembangan AAGC tidak menunjukan pembaruan terkini.

Kegagalan ini disebabkan karena banyak faktor. Yang pertama, rencana kerja sama yang dibuat dianggap terlalu tergesa-gesa karena tidak dibarengi oleh perencanaan yang matang. Hal ini dapat dilihat dari absennya keterlibatan dari negara-negara Asia dan Afrika yang seharusnya menjadi objek sasaran dari kerja sama ini. Kemudian, para pengamat politik internasional menganggap bahwa konsep yang dibawa oleh AAGC terlalu utopis tanpa pelaksanaan yang nyata. Mengutip dari Takuya Taniguchi, AAGC hanya merupakan dokumen visi belaka dan nihil rencana implementasi yang konkret.

Faktor ketiga yakni rencana kerja sama AAGC sangat diragukan sesuai dengan kepentingan bisnis sehingga kurang dapat menarik minat para perusahaan untuk melakukan investasi di Afrika. Hal ini disebabkan ide yang ditawarkan masih terlalu umum seperti konektivitas, pengembangan keahlian, pendidikan, dan fasilitas kesehatan, serta peningkatan standar kehidupan yang tidak berkorelasi dengan kemauan pebisnis untuk menghilangkan hambatan dalam berbisnis di wilayah Afrika. Oleh karena itu, India dan Jepang memerlukan refleksi terhadap upaya mereka di masa lalu supaya kerja sama yang akan diimplementasikan selanjutnya tidak berakhir nahas seperti AAGC.

Penting untuk mereka membenahi konsep rencana kerja sama untuk menghasilkan cetak biru yang lebih realistis dan detail. Selain itu, kedua negara tersebut membutuhkan penyesuaian terhadap visi yang dibawakan agar dapat memikat para investor seperti menawarkan proyek berbasis profit dan dapat memberikan keuntungan yang jelas bagi para pebisnis yang akan melakukan investasi di wilayah objek sasaran kerja sama. India dan Jepang juga tampaknya harus banyak belajar dari kompetitornya, yakni Tiongkok, dalam menerapkan inisiasi kerja sama yang berjalan cukup konsekutif. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya