Headline

DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.

Tarif Trump Berubah dari Alat Ekonomi Menjadi Senjata Politik 

Ferdian Ananda Majni
21/8/2025 08:53
Tarif Trump Berubah dari Alat Ekonomi Menjadi Senjata Politik 
Aktivis dari berbagai serikat pekerja yang membawa poster dan bendera turut serta dalam sebuah demonstrasi menentang Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memprotes penaikan tarif terbaru yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap India dalam sebuah(Al Jazeera)

SELAMA kampanye, Donald Trump berjanji akan menggunakan tarif untuk merevitalisasi industri Amerika, mendatangkan lapangan kerja, dan membantu Negeri Paman Sam kembali hebat. Namun, setelah lebih dari enam bulan masa pemerintahannya, para ahli mengatakan perang dagang presiden semakin sering digunakan sebagai alat politik, alih-alih bentuk diplomasi yang tradisional.

Lihat saja India yang menjadi target Trump saat ini dan belum berhasil mencapai kesepakatan perdagangan. Trump mengenakan tarif tambahan sebesar 25% terhadap Delhi sehingga totalnya menjadi 50%. Ini menjadi tarif tertinggi gabungan, bersama dengan Brasil, yang dikenakan terhadap negara mana pun.

Langkah itu merupakan perubahan haluan yang sangat drastis dibandingkan beberapa bulan lalu. Sebelumnya, pemerintahan Trump yang baru dibentuk berniat melanjutkan upaya bipartisan yang telah berlangsung bertahun-tahun untuk memperdalam hubungan dengan India sebagai penyeimbang geopolitik terhadap Tiongkok

Dianggap membangkang

Kejadian tersebut menjadi bagian dari tren yang menyoroti tarif digunakan sebagai ancaman terhadap negara-negara yang dianggap membangkang. Alih-alih sebagai alat pemaksaan di bidang ekonomi, Trump justru menggunakan tarif sebagai senjata politik.

Lima putaran perundingan dagang antara kedua belah pihak belum mampu membawa India lebih dekat untuk memenuhi tuntutan AS agar membuka sektor pertanian dan susu yang luas. Negosiasi yang direncanakan awal minggu depan tiba-tiba dibatalkan, karena Perdana Menteri India, Narendra Modi, bergulat dengan tuntutan Trump agar India berhenti membeli minyak dari Rusia. Pasalnya, pembelian itu menurut AS menjadi bahan bakar perang Vladimir Putin melawan Ukraina.

Tuntutan agar India menghentikan ketergantungannya pada minyak Rusia--yang menyumbang sekitar 35% dari total pasokannya--bertentangan dengan tujuan awal rezim tarif Trump yaitu mengembalikan manufaktur ke AS dan menyeimbangkan kembali defisit perdagangan.

"Tarif memiliki tujuan yang sangat spesifik untuk melindungi industri dalam negeri dari persaingan," kata Dr. Stuart Rollo dari Pusat Studi Keamanan Internasional di Universitas Sydney dilansir The Guardian, kemarin. "Sebenarnya bukan itu inti permasalahannya. Tarif seperti dialihfungsikan menjadi alat pemaksaan geopolitik."

Keamanan nasional

Trump sendiri mengakui hal itu. Selain ancaman tarif tambahan 25% terhadap India sebagai balasan atas pembelian minyak Rusia yang terus berlanjut, sang presiden juga mengaitkan tarif 35% Kanada dengan pengakuannya terhadap negara Palestina.

Dalam kasus Brasil, Trump mengatakan bahwa tarif 50% disebabkan oleh persidangan sekutu politiknya, Jair Bolsonaro, yang didakwa merencanakan kudeta militer setelah kalah dalam pemilihan presiden 2022. Padahal, Brasil memiliki surplus perdagangan yang langka dengan AS. Dengan kata lain, Negeri Samba itu membeli produk AS lebih banyak daripada menjual barangnya ke AS. 

Penasihat perdagangan utama presiden, Peter Navarro, bahkan memiliki istilah baru untuk ancaman perdagangan yang secara eksplisit bersifat politis ini yaitu tarif keamanan nasional. Senator Demokrat Chris Murphy menyatakannya dengan lebih blak-blakan dalam tulisannya di Financial Times pada April bahwa tarif tidak dirancang sebagai kebijakan ekonomi, melainkan sebagai sarana untuk memaksakan loyalitas kepada Trump.

"Ini cara Amerika Serikat untuk memaksa sebanyak mungkin dunia agar selaras kembali dengan kepemimpinan globalnya di saat perhatian dan daya tariknya yang sebenarnya sedang berkurang," papar Rollo.

Pemerintahan Biden

Dalam beberapa hal, ini bukanlah hal baru. Pemerintahan Biden menggunakan pembatasan perdagangan untuk menekan akses Tiongkok ke semikonduktor canggih di saat ketegangan geopolitik sedang memanas.

Namun, seorang profesor ekonomi di Universitas Syracuse, Devashish Mitra, mengatakan bahwa bagi banyak orang di India, ancaman yang dihadapi terkait pembelian minyak Rusia tampak tidak koheren, tidak dipikirkan dengan matang, dan dapat mendorong India lebih dekat ke Tiongkok.

"India memang menganggap AS sebagai sekutu," kata Mitra. "Negara itu diandalkan AS sebagai lawan Tiongkok di kawasan itu. Jadi, negara itu memiliki kepentingan geopolitik yang sangat besar, tetapi Trump tampaknya tidak menghargai semua itu."

Diplomatik berkurang

Minggu ini, menteri luar negeri Tiongkok berada di Delhi untuk berunding. Modi diperkirakan akan berada di Shanghai pada akhir bulan yang menjadi kunjungan pertamanya dalam tujuh tahun. Ini merupakan bagian dari pola hubungan yang semakin erat antara negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) yang menyumbang 40% PDB global. Menurut para ahli, kelompok itu merupakan respons terhadap kebijakan perdagangan agresif Trump.

Bagi pemerintahan AS di masa mendatang, mendapatkan kembali kepercayaan dari beberapa negara ini bisa jadi sulit. Ini karena perang dagang Trump yang semakin memanas terjadi bersamaan dengan pemerintahannya yang membongkar banyak instrumen diplomatik globalnya. Dari pemecatan massal di departemen luar negeri hingga pemotongan program bantuan luar negeri di USAID, perangkat diplomatik AS telah sangat berkurang. 

Tarif telah, "Menggantikan diplomasi," kata Rollo. Dengan perhatiannya terbagi antara krisis dalam negeri dan luar negeri, Trump digambarkan mempersenjatai dirinya hanya dengan palu dengan setiap titik api global tampak baginya seperti paku untuk selalu dipukul. (I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya