MENTERI Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengungkapkan 80% lulusan S1 bekerja tidak sesuai bidang keilmuannya.
Pernyataan itu dilansir detik.com (2/11/2021) dan kemudian ditegaskan kembali dalam kompas.com (17/11/2022). Lalu, berapa persen dari ilmu yang diajarkan terpakai di dunia kerja? Dari bincang-bincang dengan lulusan S1, mereka menyebut hanya sekitar 20%.
Sempat viral sebuah video singkat yang diduga seorang dosen UGM dalam sebuah kelas bercerita, bahwa alumni tiga perguruan tinggi terhebat di Indonesia, yakni UGM, UI dan ITB, tidak menghasilkan inovasi. Menurut hemat saya kedua fakta ini saling tekait. Wajar alumni PT hebat tadi tidak menghasilkan inovasi, sebab; pertama, mereka tidak bekerja sesuai bidang keilmuannya. Kedua, ilmu yang didapat di perkuliahan hanya terpakai 20% dalam pekerjaan.
Itu sebabnya saya melihat ada problem besar dalam dunia pendidikan tinggi kita, khususnya pendidikan akademik. Sejatinya jika merujuk UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tujuannya adalah mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Tentu, melalui kegiatan riset yang salah satu outputnya adalah inovasi.
Lantas, apa masalahnya? Biaya pendidikan akademik sangat mahal. Biaya kuliah tunggal (BKT) untuk pendidikan sarjana pertanian adalah sekitar Rp15 juta per semester. Jauh di atas uang kuliah tunggal (UKT) tertinggi yang dibayarkan mahasiswa. BKT ini bisa lebih tinggi lagi, tergantung pada program studinya.
Itu belum termasuk biaya hidup dan kontrakan tempat tinggal yang bisa mencapai Rp2 juta sebulan atau Rp12 juta per semester. Dengan demikian, perhitungan biaya maksimal untuk menghasilkan sarjana pertanian diperlukan biaya Rp27 juta per semester, atau Rp54 juta per tahun atau Rp216 per empat tahun. Inilah investasi menghasilkan sarjana, yang mana 80% lulusannya bekerja di luar bidang akademiknya dan hanya 20% ilmunya terpakai dalam dunia kerja.
Saya menganggap hal ini sebuah kemubaziran. Kemubaziran itu diperkuat pula dengan pernyataan dosen UGM dalam video tadi. Bahwa alumni tiga PT ternama tidak pernah menghasilkan inovasi. Biaya pendidikannya sangat mahal, dan setelah lulus pekerjaannya tidak sesuai. Yang sesuai pun hanya 20% ilmunya yang terpakai. Sebab itu, kita perlu memikir ulang pendidikan akademik S1 ini agar kemubaziran itu dapat segera dihentikan. Lalu, bagaimana caranya?
Setop massalisasi pendidikan akademik
UU Nomor 12 tahun 2012 mengamanatkan kepada pendidikan tinggi akademik untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Ada dua outcome utama yang mesti dicapai oleh PT. Pertama, dihasilkannya sumber daya manusia handal secara akademik yang terus berkiprah dalam dunia akademik untuk menghasilkan karya-karya akademik terbaik. Kedua, secara kelembagaan PT akademik terus menghasilkan inovasi tepat guna sesuai kebutuhan.
Untuk menjaga marwah PT akademik sesuai dengan amanat UU tersebut, dan agar PT tidak asal menghasilkan lulusan yang asal kerja, PT akademik perlu melakukan perubahan mendasar sebagai berikut. Pertama, merumuskan ulang visi pembaga pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi akademik harus kembali kepada khitahnya sesuai amanat UU Pendidikan Tinggi.
Kedua, PT akademik dan pemerintah harus komitmen hanya menerima mahasiswa yang berminat menjadi akademisi. Mereka harus merumuskan cara seleksi penerimaan mahasiswa baru jenjang S1 yang hanya dapat menjaring calon mahasiswa yang potensial dan komitmen menjadi akademisi. Kemudian, lulusan PT akademik tersebut harus bekerja dalam dunia akademik baik sebagai dosen, peneliti, maupun pelatih. Atau meski mereka bekerja di lembaga publik, privat, politik, media, lembaga swadaya masyarakat atau pengusaha, mereka tetap diharuskan bekerja dengan basis akademik yang kuat.
Di mana pun mereka berkiprah, mereka mesti dapat menghasilkan karya-karya inovasi. Bila dalam jangka waktu tertentu tidak lagi menghasilkan karya akademik, gelar akademiknya tidak boleh digunakan. Hal ini harus tertuang dalam peraturan PT tersebut yang dikuatkan oleh pemerintah.
Oleh karena itu pendidikan tinggi akademik bukan lembaga pendidikan massal yang asal meluluskan dan lulusannya asal dapat kerja. Atau bahkan, hanya menghasilkan pengangguran terdidik. Melainkan pendidikan elitis dan terbatas. PT akademik tidak boleh menerima mahasiswa S1 banyak-banyak. Mungkin cukup 20 atau 30 orang per program studi per tahun akademik.
Ketiga, PT akademik mesti ketat pula dalam merekrut dosen sebagai pekerja akademik. Mereka mesti memiliki talenta sebagai akademisi. Mereka mesti memiliki kecintaan yang tinggi pada ilmu dan mempunyai keinginan kuat untuk mengungkap rahasia dan menyelesaikan pelbagi persoalan kehidupan.
Keempat, PT akademik adalah PT elite dan ekslusif sehingga pemerintah mesti mau mengalokasikan anggaran untuk mendukung kerja-kerja akademik. Temasuk melengkapi peralatan laboratorium super canggih yang mendukung kerja akademik, agar dapat menghasilkan karya-karya akademik bereputasi dan inovasi yang solutif.
Kelima, PT akademik mesti menerima mahasiswa S2 dan S3 minimal 50% dari mahasiswa S1. Mereka harus terlibat dalam pusat-pusat penelitian di lingkungan fakultas atau departemen yang dikelola oleh dosen pada fakultas atau departemen tersebut. Pusat penelitian adalah tempat para guru besar mengembangkan keilmuan dan kaderisasi akademisi.
Dari pusat-pusat penelitian inilah ilmu dikembangkan dan akademisi handal dilahirkan. Saatnya, mereka menargetkan meraih Nobel. Era pusat penelitian sebagai konsultan atau sekadar event organizer (EO) pelatihan, seminar atau lokarya mesti segera disudahi.
Lalu, di mana para calon tenaga kerja profesional didik dan dipersipakan? Itu adalah urusan pendidikan vokasi. Maka, saatnya kini kita menghentikan massalisasi pendidikan akademik, dan memperbaiki pendidikan vokasi.