Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Elektabilitas, Deklarasi Anies, dan Narasi Kebencian

Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
13/10/2022 05:00
Elektabilitas, Deklarasi Anies, dan Narasi Kebencian
Ilustrasi mI(MI/Seno)

PANASNYA panggung kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 kian eskalatif. Tiap partai dan koalisi terus adu strategi dan siasat untuk mendulang chemistry jelang masa pendaftaran capres-cawapres tahun depan. Mulai membangun komunikasi politik yang intensif antarelite koalisi lewat selebrasi naik kuda, jalan sehat, perjamuan, hingga bareng-bareng ke kondangan. Ibarat tak tersisa sedikit pun ruang publik bagi elite parpol untuk dikapitalisasi demi merajut politik kesepahaman.

Di sisi lain, angin segar pencitraan para elite politis terus berembus. Ada yang naik angkot, jadi sopir angkot, makan nasi pecel di warung, bagi-bagi kaus, dan lain sebagainya. 'Turun kasta'-nya para bakal capres di tengah-tengah rakyat tersebut ialah bagian dari merawat spirit populis untuk dikesankan sebagai pemimpin sederhana dan merakyat.

Hal itu wajar dalam strategi kampanye politik karena bagaimanapun kontestasi pilpres masih mengandalkan elektabilitas yang mencerminkan reputasi calon yang biasanya diukur popularitas, integritas, dan kapabilitas (Stokes, 1963) meskipun dalam politik, segala sesuatu bisa terjadi. Seperti Partai NasDem yang mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres di 2024. Itu mematahkan prediksi pendiri lembaga survei Cyrus Network Hasan Nasbi, yang bertaruh mobil Alphard barunya dengan pendukung Anies, bahwa Anies tak bakal mendapat tiket capres.

Tak hanya itu, pascadeklarasi, para elite politik mulai kencang bergerak. Misalnya bertemunya Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang diwarnai jalan santai dan balas pantun di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (8/10/2022). Meski yang dibicarakan persoalan bangsa Indonesia, sulit ditepis, pertemuan tersebut bagian dari upaya memasang 'kuda-kuda' politik terhadap pengusungan Anies. Apalagi, muncul sinyalemen dukungan politikus senior Golkar Akbar Tandjung terhadap Anies (Metrotvnews.com 7/10/2022), yang konon menandakan 'goyangnya' soliditas di tubuh Golkar.

Entah kebetulan entah tidak, Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum PDIP pada hari yang sama, Sabtu, bertemu di Batutulis, Bogor. Menurut Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, keduanya membahas langkah-langkah penting menghadapi krisis ekonomi dunia dan pangan. Namun, di balik alasan normatif itu, sulit untuk menyembunyikan adanya agenda taktis yang hendak dibahas serius, yang tidak jauh dari diusungnya Anies dalam gelanggang pilpres.

Apalagi belakangan, muncul pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto soal 'biru' yang lepas dari pemerintahan Presiden Jokowi (Minggu, 9/10/2022). Konon 'biru' itu menunjuk NasDem yang sudah delapan tahun menjadi bagian dari koalisi pemerintah. Namun, Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya menegaskan partainya setia kepada pemerintahan Jokowi. Menurutnya, pengusungan Anies Baswedan sebagai capres 2024 tak terkait dengan koalisi pemerintah.

Beda sikap antarelite dalam gonjang-ganjing pilpres saat ini sesuatu yang wajar. Sama wajarnya ketika musuh dan lawan tidur dalam satu selimut. Tak ada kawan dan lawan yang abadi, selain kepentingan (Haris 2006)! Begitu ungkapan klasik dalam rimba politik. Yang jelas, pascadeklarasi untuk Anies, Partai Golkar dengan Koalisi Indonesia Bersatu mereka, PDIP, dan Gerindra yang tengah menjalin koalisi dengan PKB tidak akan menyia-nyiakan satu tahun ke depan sebagai momentum berhitung dan konsolidasi, ke mana arah jangkar koalisi dilabuhkan demi bisa menggamit tiket pilpres.

Lalu mengapa Anies seolah menghasilkan 'wow effect' di hari-hari ini? Yang jelas Anies bukan capres 'kaleng-kaleng'. Banyak survei memosisikan Anies di posisi elektoral yang cukup prospektif. Menurut Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya (17/9/2022), ada tiga tokoh nasional yang memiliki tingkat elektabilitas signifikan berdasarkan hasil rilis sejumlah lembaga survei, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto.

Elektabilitas Anies serta Ganjar malah berpeluang untuk terus meningkat, terlebih ketika kampanye sudah dimulai. Bahkan, berdasarkan survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) (5-13 Agustus 2022), elektabilitas PDIP bisa naik 10% kalau mengusung Anies Baswedan sebagai capres. Artinya Anies bisa menjadi 'ancaman' serius bagi capres-capres yang lain. Tergantung manajemen isu seperti apa yang didesain para elite untuk menjaga potensi dan kans elektoral masing-masing.

Jika yang dikapitalisasi sehari-hari kepada lawan politik misalnya, sebatas isu parokial, padahal di sisi lain preferensi publik pemilih (muda) saat ini kian meluas pada isu-isu yang lebih kontekstual dan membumi (memiliki integritas, bersih dari KKN, mampu mengatasi kemiskinan dan ketimpangan, dll), manajemen 'isu primitif' yang demikian tak akan efektif (Ashford & Lee, 2001).

 

Narasi memecah-belah

Ke depan, dibutuhkan strategi politik berbasis 'perang ide/gagasan' dari para kontestan ketimbang berkanjang dalam 'perang urat saraf' disertai bumbu-bumbu friksionalitas yang menyesatkan masyarakat. Dengan begitu, itu bisa memunculkan pikiran-pikiran inovatif dan visioner dari para kontestan untuk dijual di panggung pilpres. Selain itu, soliditas masyarakat dalam menikmati pesta demokrasi pilpres akan selalu diperkaya dengan inventarisasi berbagai persoalan dan agenda-agenda bangsa yang futuristis dan solutif.

Harapan tersebut, memang, tidak mudah dirawat di tengah mengguritanya garizah (naluri) politik para elite menggemukkan elektabilitas mereka menyongsong 2024 sehingga kadang tega menghalalkan segala cara yang menzalimi demokrasi ketimbang keinginan untuk berbagi energi positif di antara para elite itu, demi perubahan Indonesia di masa depan.

Belakangan, misalnya, di media sosial atau grup percakapan, mulai bertebaran narasi-narasi saling mendiskreditkan capres dan pendukung yang satu dengan capres dan pendukung yang lain. Narasi-narasi dimaksud terasa kental dengan ilmu 'cocoklogi' serta potongan situasi dan konteks yang dimanipulasi atau terkesan dipaksakan, hanya demi mengeklaim bahwa kubu merekalah yang paling benar dan layak. Termasuk munculnya istilah 'Nasdrun' beberapa waktu lalu, yang tidak saja mencederai kehormatan partai tertentu, tetapi juga menambah perbendaharaan kebencian dan polarisasi nan menyedihkan di bangsa ini.

Sangat disayangkan, jika muruah Pilpres 2024 kemudian hanya diwarnai jargon dan narasi intoleran, rasial, dan xenofobia, yang didengungkan buzzer yang memecah belah bangsa.

Itu menandakan kultur berdemokrasi kita masih ringkih dalam menerima perbedaan sikap dan pilihan politik. Pilpres 2019 mestinya menjadi pelajaran berharga bahwa keutuhan bangsa ini ialah harta paling berharga dari sekadar elektabilitas atau kursi politik.

 

Tiser :

 

Munculnya istilah 'Nasdrun' beberapa waktu lalu, yang tidak saja mencederai kehormatan partai tertentu, tetapi juga menambah perbendaharaan kebencian dan polarisasi nan menyedihkan di bangsa ini.

Sangat disayangkan, jika muruah Pilpres 2024 kemudian hanya diwarnai jargon dan narasi intoleran, rasial, dan xenofobia, yang didengungkan buzzer yang memecah belah bangsa.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya