Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
KEMARIN, masyarakat internasional memperingati Hari Kopi. Hari ini, 2 Oktober, kita merayakan Hari Batik Nasional. Penetapan hari ini, hari itu, tentu bukan sekadar pengingat yang dirayakan dengan seremonial belaka. Pasti ada maksud dan tujuannya. Sama seperti halnya kita merayakan hari kelahiran. Di sela potong tumpeng atau tiup lilin, tentunya ada doa dan harapan untuk mengisi sisa umur di sela kulit yang semakin mengeriput. Ya, minimal merenung atau berkontemplasi lah, apa yang selanjutnya akan dilakukan di sisa usia nanti, bukan cuma sibuk menyemir uban.
Begitu pun dengan peringatan Hari Kopi dan Hari Batik. Apalagi, minum kopi juga merupakan bagian budaya masyarakat kita sejak zaman baeheula, dari Aceh hingga Papua. Tanaman ini juga tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Tidung hingga Pulau Rote. Begitu pula dengan batik sebagai busana. Hampir tiap daerah di Nusantara memiliki wastra ini dengan beragam corak khas masing-masing. Lantas, apa makna kedua peringatan hari tersebut? Apakah cukup dirayakan dengan Twibbon atau sekadar postingan di medsos mengenakan batik sembari menyeruput kopi? Apa tidak ingin produk kopi atau batik kita mendunia?
Sejauh ini, beberapa jenis kopi kita memang sudah go international, tetapi yang ‘menang banyak’ ialah gerai-gerai asing macam Starbucks. Itu lantaran mereka pintar mengemasnya. Sementara itu, nasib petani kopi kita, ya umumnya begitu-begitu saja. Tahun lalu, saya baca berita petani kopi di Mandailing Natal, Sumatra Utara, bahkan ingin meninggalkan profesi mereka lantaran anjloknya harga komoditas tersebut seturut merebaknya pandemi yang menggerus daya beli.
Persoalan semacam ini semestinya jadi perhatian kita bersama. Apalagi, peringatan Hari Kopi Internasional tahun ini diadakan dengan tujuan untuk lebih memperhatikan nasib petani, yang mata pencahariannya bergantung pada perkebunan kopi. Sebagai salah satu negara penghasil kopi terbesar di dunia, harusnya ada pengusaha atau petani kopi kita bisa sekelas Howard Mark Schultz, Chairman dan CEO Starbucks, atau sekaliber Daarnhouwer, perusahaan Belanda yang mengelola perkebunan kopi luwak di Sumatra dan Ethiopia yang menjadi pemasok dunia. Bukan, sekadar menyediakan buruh seperti di zaman VOC.
Bukan hanya pada komoditas kopi, kita juga mesti memikirkan nasib industri dan perajin batik. Kita tidak boleh puas hanya lantaran wastra ini telah diakui UNESCO sebagai warisan tak benda. Ingat, ada jutaan orang yang nasibnya bergantung pada helai kain ini. Harus ada upaya (political will) serius agar produk ini berguna dan bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Istilah kerennya sustain (berkelanjutan), baik secara ekonomi, budaya, maupun lingkungan. Kita mungkin bisa belajar dari Korea Selatan, bagaimana negara itu mengelola produk mereka. Bukan cuma elektronik dan otomotif, melainkan juga kesenian, fesyen, dan kuliner. Mereka bangga dengan apa yang mereka punya dan serius menjadikannya produk andalan penghasil devisa.
Sebagai negara yang kaya sumber daya alam dan budaya, seharusnya kita pun bisa. Yang terpenting ialah niat dan kemauan. Selama bermental makelar, kita cuma akan kebagian ampasnya dan tersisih dari rivalitas global. Selain kemauan, hal terpenting lainnya ialah kolaborasi dan inovasi. Kita punya banyak lembaga riset di bidang pertanian, termasuk di sejumlah perguruan tinggi, yang semestinya bisa dimanfaatkan dan difasilitasi untuk mengolah berbagai komoditas andalan. Di tengah situasi perekonomian yang kian terhubung, memiliki ketahahan pangan menjadi modal yang amat krusial. Syukur-syukur menjadi pemain utama yang bisa menguasai rantai pasok global.
Telah berabad-abad lamanya kopi dan batik mengisi dapur dan almari masyarakat kita. Kini, mungkin sudah saatnya pengusaha, atau mungkin perajin kita menjadi pemilik gerai kopi dan butik ternama di Eropa, Amerika, dan belahan dunia lainnya. “Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku'"...begitu barangkali maksud sesungguhnya dari sebait lirik pada lagu kebangsaan kita. Percuma mengaku dan berkoar-koar cinta
Tanah Air, kalau hobi dan kelakuannya justru bangga dan senang dengan produk-produk impor. Wasalam.
Contoh lainnya pemimpin yang gagal mengelola urusan beras ialah Yingluck Shinawatra.
Biar bagaimanapun, perang butuh ongkos. Ada biaya untuk beli amunisi dan peralatan tempur.
WAKTU pemungutan suara untuk pemilihan presiden (pilpres) ataupun legislatif (pileg) tinggal menghitung hari
Seperti halnya virus korona, bentuk patologi sosial semacam itu kini juga masih ada dan bergentayangan. Mereka cuma bermutasi menjadi bentuk lain, dari yang kelas teri hingga kakap.
Ditambah dampak fenomena El Nino, bisa dibayangkan bagaimana ‘kerasnya’ hidup di Ibu Kota dalam beberapa hari ke depan.
Keberadaan Kopi Sleman pun diharapkan dapat semakin mendukung iklim pariwisata di kabupaten yang berada di kaki Gunung Merapi sisi Selatan.
Langkah ini diambil Starbucks karena persaingan semakin ketat dan konsumen lebih berhati-hati dalam berbelanja di Tiongkok, pasar terbesar kedua Starbucks setelah AS.
Biji kopi berasal dari tanaman kopi, yang umumnya tumbuh di daerah tropis seperti Amerika Selatan, Afrika, dan Asia.
PELATIHAN membuat makanan dan minuman Toffin Masterclass akan digelar mulai Juni hingga Agustus 2025. Tur lokakarya (roadshow workshop) ini akan berlangsung di 10 kota besar.
Agar lebih aman minum kopi, batasi hingga 2–3 cangkir sehari, hindari kopi tinggi gula dan krimer. Lalu hangan minum kopi saat perut kosong dan minum air putih yang cukup.
Kopi Banten bangkit berkat gerakan petani muda, dukungan komunitas, dan perhatian pemerintah daerah terhadap potensi kopi lokal.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved