Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Pengesahan Flight Information Region Wajib dengan UU!

Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani Alif Nurfakhri Muhammad Dosen hukum internasional dan peneliti hukum udara dan angkasa Center for International Law Studies Fak
23/2/2022 05:00
Pengesahan Flight Information Region Wajib dengan UU!
Ilustrasi MI(MI/Seno)

PERJANJIAN penyesuaian garis batas flight information region (FIR) antara Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada 25 Januari 2022 akan memasuki babak selanjutnya, yaitu pengesahan.

Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan perjanjian FIR akan disahkan dengan peraturan presiden (perpres). Besar dugaan, hal itu disebabkan Perjanjian FIR 1995 disahkan dengan keputusan presiden (Keppres 7 Tahun 1996).

 

 

Tidak berdasar

Ada tiga alasan utama mengapa perjanjian FIR 2022 tidak berdasar bila disahkan melalui perpres. Justru sebaliknya wajib dilakukan berdasarkan undang-undang. Pertama pada 1995, Undang-Undang Perjanjian Internasional (UU 24 Tahun 2000) belum hadir. Ketika itu yang dijadikan rujukan sebagai tata cara pengesahan perjanjian internasional ialah Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain.

Dalam surat tersebut, ditentukan bahwa ada tiga jenis perjanjian yang perlu mendapat persetujuan dari DPR, yaitu soal-soal politik, ikatan yang dapat memengaruhi haluan politik luar negeri negara, dan perjanjian internasional yang berisi ketentuan yang mengharuskan ditransformasikan dalam bentuk undang-undang.

Itu berbeda dengan Pasal 10 Undang-Undang Perjanjian Internasional yang menentukan, 'Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan Undang-undang apabila berkenan dengan: a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia, c. kedaulatan atau hak berdaulat negara. Lalu, d.hak asasi manusia dan lingkungan hidup, e. pembentukan kaidah hukum baru, f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri'. Perjanjian FIR 2022 masuk Pasal 10 huruf (c) karena berkaitan dengan pengelolaan wilayah udara yang berada di kedaulatan Indonesia.

Kedua, pengesahan perjanjian FIR 2022 lebih mewajibkan pemerintah melakukan dengan UU bila merujuk pada Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018. Putusan MK tersebut merupakan putusan atas uji materi terhadap UU Perjanjian Internasional.

Dalam amarnya, MK memutuskan Pasal 10 UU Perjanjian Internasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat 'sepanjang ditafsirkan hanya jenis-jenis perjanjian internasional sebagaimana disebutkan dalam huruf a sampai huruf f dalam pasal a quo itulah yang mempersyaratkan persetujuan DPR…'.

Dalam mencermati hal itu, MK telah memberikan tempat yang penting bagi keterlibatan DPR dalam proses pengesahan suatu perjanjian internasional. Terakhir, tidak seharusnya pemerintah menafsirkan secara sepihak perjanjian internasional jenis mana yang harus mendapat persetujuan DPR.

Pada saat keberlakuan Surat Presiden 2826/1960, pemerintah memiliki kebebasan yang sangat luas, apakah membawa suatu perjanjian internasional ke DPR atau tidak. Namun, itu sudah dibatasi dengan berlakunya UU Perjanjian Internasional, bahkan dengan adanya putusan MK 13/2018.

 

 

Akuntabel

Uraian di atas bukan dalam rangka upaya untuk menggagalkan pemerintah menjalankan komitmen dengan pemerintah Singapura, melainkan dalam rangka mendorong pemerintah akuntabel terhadap rakyatnya dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akuntabilitas pemerintah tecermin pada transparansi atas apa yang diperjanjikan dengan negara lain, apa yang menjadi dasar kesepakatan, dan menghilangkan kecurigaan yang muncul di masyarakat.

Transparansi atas perjanjian FIR 2022 perlu dilakukan untuk memastikan apa yang diklaim pemerintah bahwa pengelolaan FIR telah diambil alih oleh Indonesia dari Singapura berdasar.

Hingga saat ini, pemerintah belum pernah membuka perjanjian FIR 2022 kepada publik. Bila pengesahan perjanjian FIR 2022 dilakukan dengan perpres, publik baru akan mengetahui isi perjanjian pada saat Indonesia telah diikat secara sempurna.

Selanjutnya, alasan pemerintah membuat perjanjian FIR 2022 harus diungkap. Apakah itu sejalan dengan amanat dari Pasal 458 UU Penerbangan? Apa alasan pemerintah untuk mendelegasikan kembali ke Singapura di wilayah tertentu kedaulatan Indonesia dalam ketinggian hingga 37 ribu kaki? Apakah itu berarti Indonesia sejak 1946 hingga sekarang belum mampu melakukan pengelolaan FIR untuk seluruh wilayah yang berada dalam kedaulatan Indonesia?

Apakah pemerintah tidak memiliki cetak biru untuk mengambil alih secara penuh? Lalu bagaimana nasib cetak biru yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 55 Tahun 2016?

Apa yang menjadi alasan pemerintah untuk mendelegasikan ke Singapura untuk jangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang? Padahal, Pasal 458 UU Penerbangan jelas mengamanatkan pendelegasian harus diakhiri pada 2024.

Lebih lanjut, pemerintah pun harus dapat menepis berbagai kecurigaan publik. Beberapa di antaranya apa yang menjadi perbedaan antara perjanjian FIR 2022 dengan Pasal 2 ayat (1) dari Perjanjian FIR 1995? Pasal 2 Perjanjian FIR 1995 menentukan 'Pemerintah Indonesia mendelegasikan ke Singapura ruang udara 90 nm dari SINJON (01 13'24"N 103 51'24"E) hingga ketinggian 37,000 kaki dalam penyesuaian FIR Jakarta dan selatan Singapura, yang disebut sebagai Sektor A…'.

Publik pun bertanya-tanya, mengapa pemerintah bersedia untuk mengikuti kehendak Singapura untuk menandemkan tiga perjanjian sekaligus, yaitu perjanjian FIR, perjanjian pertahanan, dan perjanjian ekstradisi?

Apakah pemerintah telah berhitung konsekuensi dari langkah cerdik Singapura? Apa yang didapat dari pemerintah? Apakah sekadar buron? Apakah memadai bila buron ditukar tentang hal yang berkaitan dengan kedaulatan?

Bila pada akhirnya tiga perjanjian itu efektif berlaku, itu merupakan pengalaman pertama, tidak hanya bagi Indonesia, mungkin bagi dunia. Namun, apakah ini pengalaman yang membanggakan bagi Indonesia?

 

 

Milik rakyat

Republik ini milik rakyat. Republik ini bukan milik pemerintah semata, bahkan bukan milik orang-orang yang saat ini sedang menjabat di pemerintah. Keterlibatan DPR sebagai representasi rakyat sangat dibutuhkan ketika Republik ini berhubungan dengan negara lain.

Akuntabilitas pemerintah terhadap rakyatnya melalui keterlibatan DPR bukanlah sesuatu yang dapat ditawar dalam menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya