Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Wajah Baru KRL Commuter Line

Adiyanto Wartawan Media Indonesia
16/1/2022 05:00
Wajah Baru KRL Commuter Line
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

DALAM suatu masa, ayam, ikan, kadang sesekali kambing, pernah berdesakan dalam gerbong kereta. Hewan-hewan itu berbaur bersama ribuan penumpang lainnya, yang sebagian di antaranya meluber hingga ke atap. Pemandangan itu umumnya rutin terlihat pagi dan sore hari dalam perjalanan kereta Jabotabek. Para pedagang hewan ternak itu menjadikan moda transportasi tersebut untuk berniaga di Ibu Kota.

Namun, itu dulu, di suatu orde yang telah lalu. Kini, jika bepergian dengan kereta commuter line (bukan lagi disebut kereta Jabotabek), pemandangan yang akan kita temukan umumnya ialah para pekerja kantoran, mahasiswa/mahasiswi, serta anak-anak muda dengan gadget terkini. Gerbongnya pun bersih, dingin, wangi, serta dilengkapi bapak-bapak petugas keamanan berseragam rapi. Intinya, jauh lebih nyaman ketimbang di era 1980 dan 1990-an.

Untuk mengubah wajah perkeretaapian di Indonesia, khususnya yang menghubungkan beberapa wilayah penyangga Ibu Kota, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sekarang ini, tidaklah mudah. Berbagai upaya dilakukan, mulai menertibkan penumpang, sistem penjualan tiket, hingga berbagai fasilitas penunjang di stasiun. Semua ini dilakukan di bawah naungan PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) sejak 2008. KCJ dibentuk sesuai dengan Inpres No 5 Tahun 2008 dan Surat Menteri Negara BUMN No S-653/MBU/2008 tanggal 12 Agustus 2008. Pada 2017, KCJ kemudian berganti nama menjadi PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) yang merupakan salah satu anak perusahaan di lingkungan PT Kereta Api Indonesia (persero) yang mengelola KA commuter Jabodetabek dan sekitarnya.

Kini, harus diakui kehadiran KA commuter line sangat membantu mobilitas warga di wilayah-wilayah tersebut. Dengan tarif Rp3.000 untuk 25 kilometer pertama serta Rp1.000 untuk kilometer berikutnya, ongkos yang mereka keluarkan sebenarnya relatif murah. Apalagi, sebagian di antaranya telah terintegrasi dengan Trans-Jakarta. Untuk menuju tempat kerjanya di seputaran Jalan Sudirman atau Tanah Abang, misalnya, warga yang tinggal di apartemen Kalibata hanya perlu mengeluarkan ongkos Rp4.000. Bandingkan dengan, misalnya, jika naik taksi atau ojek online. Selain pasti lebih mahal, ada kemungkinan besar bakal terjebak macet.

Kini, tarif KA commuter line diusulkan naik dari Rp3.000 menjadi Rp5.000. Kenaikan ini berlaku hanya untuk tarif 25 kilometer pertama, sedangkan kilometer berikutnya tetap Rp1.000. Rencana kenaikan tarif ini diberlakukan April mendatang. VP Corporate Secretary KAI Commuter Anne Purba mengatakan alasan usulan kenaikan ini setelah melalui berbagai kajian yang dilakukan berbagai lembaga dalam bentuk survei mengenai kemampuan membayar (ability to pay/ATP) dan kesediaan membayar (willingness to pay/WTP) pengguna terhadap tarif KRL commuter line Jabodetabek. Hasil kajian berbagai lembaga tersebut, kata dia, menunjukkan ATP dan WTP pengguna KRL lebih tinggi ketimbang tarif yang berlaku saat ini.

Rencana ini menuai pro-kontra. Ada yang beralasan kenaikan tarif ini tidak tepat dilakukan di tengah kondisi perekonomian yang sulit karena pandemi. Namun, terlepas dari polemik itu, upaya PT KCI terus membenahi pelayanan, termasuk rencana kenaikan tarif, dengan melibatkan para stakeholder, patut diacungi jempol. Mereka secara berkala juga kerap menggelar diskusi kelompok terarah (FGD), termasuk yang dilakukan pada Rabu (12/1), untuk menerima masukan dari publik, pengamat, dan akademisi. Kegiatan ini juga masih ditambah pertemuan dengan perwakilan pengguna komunitas KRL dari berbagai wilayah.

Apa pun keputusannya nanti, cara-cara seperti ini sangat terpuji karena merupakan salah satu wujud tata kelola pemerintahan/perusahaan yang baik. Jangan seperti dulu, main semprot dengan cairan pewarna dan memasangi kawat berduri di bagian atas gerbong hanya untuk menertibkan penumpang yang naik di atap. Selain tidak efektif, itu cara-cara fasis. Apalagi, sekarang era milenial, bukan zamannya lagi menggunakan pendekatan ala kolonial.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya