Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Guru dan Peringatan Antikorupsi Sedunia

Fuad Fachruddin Dewan Pengawas Yayasan Sukma
27/12/2021 05:05
Guru dan Peringatan Antikorupsi Sedunia
(Dok. Pribadi)

MASYARAKAT dunia memperingati Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember 2021. Peringatan kali ini mengusung isu the rights and responsibilities of everyone – in tackling corruption, yang berarti setiap individu mempunyai peran dan tanggung jawab mencegah dan melawan korupsi untuk meningkatkan daya tahan dan integritas masyarakat dalam pelbagai lapisan (https://www.unodc.org/unodc/en/anticorruptionday/index.html).

Seruan ini tidak berlebihan kalau ditafsirkan dengan jihad dalam bahasa agama (Islam) terhadap pelbagai bentuk dan jenis korupsi karena; pertama, korupsi bukan fenomena baru, tapi telah hadir dalam kehidupan manusia ratusan tahun yang silam (Elis, 2018). Mungkin korupsi pada masa sekarang tidak sebanding dengan masa lalu—namun data untuk mendukung pendapat seperti ini sangat sulit diperoleh (Graycar, Prenzle, 2013). Kedua, korupsi secara virtual telah ada di negara-negara lintas planet dan merusak pembangunan ekonomi, politik dan sosial (Hallak, Poison, 2005; Warf 2018). Bahkan korupsi merasuk dan merusak seluruh sendi kehidupan manusia (Kubbe, Engelbert, 2018) termasuk moralitas, bagaikan sel-sel kanker yang ganas yang menggerogoti tubuh manusia (Dine, 2008).

Dalam dunia pendidikan, korupsi berdampak negatif terhadap mutu dan akses pendidikan yang terbuka bagi masyarakat. Lebih jauh dari itu, dampak lain yang lebih serius ialah runtuhnya nilai-nilai akhlak yang dibangun untuk tegaknya suatu bangsa. Menurut Transparency International (2013), upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi bukan sekadar persoalan keadilan, melainkan upaya melindungi kehidupan manusia dari kehancuran. Untuk itu, pencegahan dan pemberantasan korupsi harus menjadi komitmen seluruh warga dunia untuk menciptakan kehidupan dunia yang baik dan adil serta memelihara kelangsungan planet.

 

 

Korupsi pendidikan

Korupsi dalam pendidikan mengandung dua isu besar, yaitu korupsi di ranah pendidikan dengan manifestasinya dan upaya penanaman sikap tidak toleran terhadap segala jenis dan bentuk korupsi. Pembahasan pada kesempatan ini akan difokuskan pada poin pertama, yakni korupsi dan manifestasinya dalam pendidikan.

Korupsi dalam pendidikan mengacu pada pengertian umum korupsi. Kata korupsi berasal dari kata Latin corruptio yang berarti moral rusak, perilaku jahat, dengki (Osipian, 2008; Brook, Walsh, Lewi, Kim, 2013). Padanan katanya adalah rumpere (memecah atau mengubah), dan corrumpere yang berarti hukum atau kode etik moral menjadi hancur (Warf, 2019).

Korupsi adalah penyalahgunaan amanah oleh mereka yang mempunyai kekuasaan untuk kepentingan pribadi (Johnston, 2005). Korupsi adalah perilaku/tindakan melanggar hukum atau amanah yang diberikan publik untuk kepentingan pribadi (Tanaka, 2001; Johnston, 2005).

Bentuk dan jenis korupsi berbeda menurut para ahli, misalnya Halak & Poisson (2007) dan Brook et.al (2013) mengemukakan lima bentuk yaitu penggelapan, suap, penipuan/ketidakjujuran, pemerasan dengan ancaman/kekerasan dan pilih kasih. Adapun Graycar & Prenzle (2013:3) membagi korupsi dalam 11 bentuk, dengan perincian empat bentuk seperti penulis sebelumnya. Lalu keduanya mengurai bentuk kelima, yaitu favoritisme dalam tiga bentuk, yakni patronasi, nepotisme, dan kronisme. Empat bentuk sisanya ialah penyalahgunaan kebijakan, menyuap, menggadaikan/menjajakan pengaruh.

Praktik korupsi dalam pendidikan merambah melalui dua ranah, yaitu akademik dan non-akademik. Melalui dua ranah tersebut, Heyneman (2004; 2007) mengurainya dalam empat sisi, yaitu (a) fungsi pendidikan, (b) perilaku tidak senonoh, (c) pengadaan barang dan jasa, dan (d) pajak dan kekayaan lembaga pendidikan. Dua sisi yang pertama (a dan b) berhubungan dengan ranah akademik, sedangkan (c) dan (d) berhubungan dengan ranah jasa.

 

 

Korupsi akademik

Korupsi akademik adalah kegiatan-kegiatan yang dilarang berkaitan dengan proses akademik, misalnya proses seleksi, pendaftaran, penilaian, pemberian gelar akademik, menyontek, penjiplakan, tidak jujur dalam riset, memalsukan data, guru siluman, penulis siluman, dan lainnya (Osipian, 2009: 5). Menurut Heyneman (2004/2007), praktik-praktik koruptif dapat terjadi dalam pelaksanaan evaluasi prestasi belajar, seleksi siswa/mahasiswa untuk program pendidikan/pelatihan; nilai akreditasi sekolah/universitas dari badan akreditasi pemerintah. Korupsi diwujudkan dalam pemberian suap. Misalnya, siswa atau orangtua siswa memberi hadiah/uang kepada kepala sekolah agar guru memberi nilai baik kepada anak; kandidat doktor/master memberi hadiah/uang kepada komitenya sebelum menempuh ujian tesis/disertasi untuk mendapatkan nilai baik, dan sebagainya.

Dalam sertifikasi dapat ditemukan tindakan koruptif. Misalnya, membeli atau menduplikasi sertifikat untuk memenuhi portofolio, atau memberi suap agar dokumen yang diserahkan oleh seorang guru/pengajar dapat diterima/dinilai memenuhi syarat oleh petugas meski tidak memenuhi syarat. Praktik korupsi dapat dilihat dari perilaku tidak senonoh menurut etika profesional. Misalnya, pengajar menerima pemberian/hadiah dari muridnya sebagai tukar guling terhadap nilai baik yang diberikan kepada muridnya.

Pemberian nilai kelulusan didasarkan pada bias keluarga, etnik, budaya dan kelas sosial serta menurunkan standar yang ada. Pengajar mewajibkan siswanya mengikuti les dengan membayar apabila siswa ingin memperoleh nilai baik. Pemberian nilai baik dengan eksploitasi seksual merupakan salah satu wujud tindakan koruptif. Perlakuan diskriminasi terhadap siswa didasarkan pada kedekatan seorang kepada pengajar/pimpinan lembaga pendidikan, karena, misalnya, ia atau orangtuanya sering memberi sesuatu atau uang, punya hubungan kekeluargaan atau orangtua siswa pejabat. Praktik yang tidak senonoh lainnya 'guru siluman', yaitu guru/dosen mendapat SK tapi tidak menunaikan tugas. Juga penulis siluman, yaitu kaum profesional dan akademisi yang menulis karya ilmiah seperti tesis, disertasi, paper tugas semester untuk kliennya dengan imbalan uang atau keuntungan lainnya (Osipian, 2009).

 

 

Korupsi non-akademik

Praktik korupsi dalam pendidikan mudah dikenali publik dalam pengadaan barang dan jasa, seperti pengadaan meja, kursi, buku, dan alat-alat peraga, komputer, laboratorium dan jasa seperti pelatihan atau penelitian. Korupsi diwujudkan dalam bentuk menggelembungkan harga, padahal penyuplai memberikan harga murah. Juga penggunaan sisa anggaran untuk kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan kantor seperti jalan-jalan. Seorang pejabat pendidikan, misalnya, mewajibkan penggunaan buku teks lokal untuk seluruh sekolah di daerah yang menjadi kewenangannya karena ia memperoleh bagian keuntungan dari rekanan.

Praktik korupsi dapat ditengarai dari kekayaan dan pajak pendidikan. Dalam konteks ini, fasilitas pendidikan seperti tanah atau bangunan digunakan untuk kegiatan usaha yang memberi keuntungan, tetapi pengelolaannya, pertanggungjawabannya, juga pemanfaatan keuntungan tidak jelas, cenderung untuk pribadi. Juga apa yang disebut Osipian (2009) dengan kleptocracy, yakni pengajar mengumpulkan dana suap dan penggelapan. Hal-hal tadi sangat potensial untuk melahirkan tindakan ilegal. Walallahu a'lam.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya