Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Covid-19, Bahaya Polusi Udara dan Kewajiban Negara

Frano Kleden, Alumnus STFK Ledalero
22/10/2021 14:15
Covid-19, Bahaya Polusi Udara dan Kewajiban Negara
Ilustrasi(Istimewa)

DALAM sebuah makalah berjudul “Exposure to Air Pollution and Covid-19 Mortality in the United States” (2020), Xiao Wu dan empat peneliti dari Departemen Biostatistik Harvard, T.H. Chan School of Public Health memaparkan, pasien covid-19 yang tinggal di daerah dengan tingkat polusi udara tinggi, ternyata lebih mungkin mengalami kematian. Berita ini cukup mengejutkan. Ketika dunia tengah berjuang untuk menahan laju pandemi covid-19, temuan penelitian membuktikan bahwa kualitas udara, dan tingkat kematian covid-19 memiliki hubungan yang erat.

Bagi beberapa orang lain, berita ini tidak sepenuhnya mengejutkan lagi. Meskipun, korelasi antara kualitas udara dan kematian terkait covid-19 ini tampak lemah pada awalnya, beberapa orang toh sudah menyoroti bahwa, bagaimanapun, sindrom gangguan pernapasan akut, yang telah lama dikaitkan dengan udara yang tercemar, telah menjadi penyebab utama kematian terkait covid-19.

Tulisan ini, bukanlah sebuah “studi kesehatan ilmiah” yang coba meneliti komponen-komponen atau partikel-partikel halus dalam udara kotor yang bisa membawa virus, hingga membantu penyebaran virus korona masuk ke tubuh manusia. Melainkan, sebuah “studi kasus” yang – kalau boleh – bisa selanjutnya menjadi awasan bagi kita (negara dan masyarakat), agar, selalu membunyikan “lonceng siaga” akan persebaran bahaya covid. Sebab, hubungan antara infeksi covid-19, polusi udara dan tingkat kematian sudah menjadi sebuah temuan konklusif yang valid.

Beberapa kasus
Polusi udara adalah bahaya kesehatan lingkungan paling mematikan yang dihadapi manusia. Setiap tahun, ia menyebabkan 790 ribu kasus kematian dini di Eropa, dan sekitar 8,8 juta kematian dini di seluruh dunia (MI, 12/03/2019). Satu temuan penting di AS baru-baru ini menyebut, tingginya tingkat kematian terkait covid-19 tidak hanya berkorelasi dengan kondisi polusi udara saat ini. Tetapi, juga dengan paparan udara buruk yang berkepanjangan dari waktu ke waktu. Misalnya, mereka yang tinggal di negara bagian AS yang telah mengalami polusi udara yang memburuk selama 15 hingga 20 tahun terakhir, memiliki tingkat kematian yang jauh lebih tinggi.

Helena Varkkey, dosen senior di University of Malaya, Malaysia dalam tulisannya “Air Pollution and Covid-19 Mortality: Considerations for Southeast Asia” (2020) menginformasikan sebuah laporan global tahun 2019, tentang tingkat polusi udara tahunan. Dalam laporan tersebut disoroti bahwa 99 dari 100 kota dengan udara paling tercemar berada di Asia. Namun sekarang, ketika Tiongkok dan negara-negara lain di Asia Timur mulai perlahan-lahan keluar dari cengkeraman covid-19, negara-negara Asia Tenggara malah masih ditimpa banyak masalah.

Data per 22/09/2021 menyebut, Indonesia sebagai peraih peringkat kelima untuk kasus harian covid-19 ASEAN di bawah Vietnam, Malaysia, Filipina dan Thailand. Belum lagi, kritik yang menimpa Indonesia karena tidak transparan dalam penanganan covid-19-nya, berikut pelaporan dan kemampuan pemerintahnya untuk menangani wabah. Lalu, laporan Greenpeace, organisasi lingkungan global, pada Maret 2019 juga menyebut, Jakarta sebagai wilayah yang memiliki kualitas udara terburuk di Asia Tenggara.

Buruknya kualitas udara di Jakarta, tak hanya berasal dari peningkatan kendaraan pribadi yang mengaspal di jalanan Jakarta. Tapi, juga dari sumber polutan lain, semisal industri PLTU yang mengelilingi Jakarta dalam radius 100 km. Polusi ini, juga berasal dari kantong industri di sekitar Jakarta, seperti Jawa Barat dan Banten. Di daerah lain di Indonesia kita juga masih mendengar kegagalan pemerintah Indonesia dalam melindungi hutan dan lahan gambut dari pembakaran.

Pakar Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah di Kontan.id (14/08/2019) mengatakan, kontribusi pabrik terhadap emisi di Jakarta cukup besar, yakni 60%. Sayangnya, pemerintah justru berkontribusi terhadap industri penyumbang emisi itu dengan membangun PLTU di Cirebon dan Indramayu, yang justru bisa memperparah kondisi udara di Jawa Barat. Berita paling baru dilaporkan oleh Tirto.id (30/09/2021) tentang lumpur Lapindo yang meraih rekor sebagai sumber metana terbesar di bumi, penyumbang efek gas rumah kaca, dan bencana hidrometeorologi di Indonesia.

Kewajiban negara
Jika kasus-kasus seperti di atas dibiarkan terus, orang-orang yang tinggal di lingkungan berpolusi akan terkena penyakit degeneratif oleh paparan udara kotor, hingga dalam wabah covid-19 ini akan menjadi kelompok rentan. Maka, tugas negara yang paling wajib ialah, tidak membiarkan kualitas udara buruk terus meracuni warga negaranya hingga membuat mereka kian rentan.

Retorika, bahwa negara berkembang (baca: Indonesia) memiliki hak untuk mengeksploitasi sumber daya alam mereka agar menjadi lebih berkembang harus dikritisi. Sebab, bukan tidak mungkin telah membantu memperkuat keyakinan di kalangan masyarakat bahwa beberapa degradasi lingkungan diperlukan, dan bahkan dapat dibenarkan atas nama pembangunan dan kemakmuran ekonomi.

Di tengah upaya menekan penyebaran laju covid-19, hubungan antara kualitas udara dan kematian akibat covid-19 seharusnya juga menjadi alasan yang cukup bagi pemerintah, untuk tidak lalai dalam memantau dan menegakkan peraturan konservasi dan pembakaran hutan selama ini. Pembakaran lahan pertanian dilarang pada cuaca kering dan berangin. Karena, akan menyebabkan polusi kabut asap yang parah. Pemerintah, harus lebih tanggap terhadap ratusan ribu hektar hutan yang hilang di provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2011-2019, karena dialihkan menjadi perkebunan kelapa sawit.

Memang di Asia Tenggara umumnya dan Indonesia khususnya, agribisnis dan industri manufaktur sudah menjadi sektor-sektor penyumbang utama PDB, indikator penting pengukur kondisi perekonomian negara. Dan pada saat yang sama, terdengar wajar bagi negara-negara untuk memfokuskan seluruh tenaga dan konsentrasi mereka untuk memajukan sektor-sektor ini. Namun, perlu diingat bahwa terobosan-terobosan baik tersebut, tidak boleh mengorbankan kualitas udara.

Mengutamakan kualitas udara dan kelestarian lingkungan di tengah wabah covid-19 tidak boleh dipandang sebagai satu agenda yang mewah dan luar biasa. Tetapi, sebagai tindakan wajib pemerintah yang bertanggung jawab. Besar keyakinan saya, di saat dunia masih berjuang untuk memahami berapa lama krisis kesehatan global ini akan berlangsung, lingkungan yang lebih bersih dan berkelanjutan di Indonesia akan memberi harapan dan kesempatan berjuang bagi orang-orang Indonesia untuk mengatasi pandemi ini.

Kita perlu sadar pada pembuktian studi ilmiah bahwa polusi udara berhubungan erat dengan tingkat keparahan pasien covid-19. Partikel dalam polusi udara yang cukup kecil untuk dihirup ke paru-paru dan masuk ke aliran darah, memiliki efek jangka panjang melemahkan sistem pernapasan, kardiovaskular, dan kekebalan seseorang. Dalam hubungan dengan covid-19, seseorang dengan paru-paru dan saluran pernapasan yang sudah lemah, memiliki risiko lebih tinggi untuk tidak hanya terinfeksi. Tetapi, juga menderita gejala yang lebih buruk.

Kesimpulannya sudah jelas. Tempat tinggal pasien covid-19 yang berada di lingkungan dengan tingkat polusi udara yang tinggi, turut mendukung pasien selangkah-dua langkah lebih maju menuju gerbang kematian. Di tengah pandemi covid-19 ini, apakah kita akan membiarkan kualitas udara buruk terus meracuni kita, dan membuat kita kian rentan? Padahal, udara bersih, lingkungan sehat, dan jaminan atas kesehatan adalah hak kita sebagai warga negara.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya