Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
KABUL akhirnya jatuh ke tangan kekuasaan Taliban. Meski sempat diprediksi bahwa Taliban baru akan mampu mendudukinya pada akhir Agustus 2021, ternyata perhitungan tersebut meleset. Sama melesetnya dengan semua perkiraan yang pernah dilakukan, mulai dari perkiraan bahwa perang akan berlangsung singkat saat Operation Enduring Freedom yang dipimpin Ameriksa Serikat pada 2001, hingga pada perkiraan bahwa transisi politik akan berlangsung damai menyusul dialog yang terjadi antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban di Doha, Qatar, September 2020.
Amerika Serikat telah gagal di Afghanistan. Negara adidaya ini, selain harus gigit jari karena telah mengucurkan dana luar biasa besar dan mengorbankan nyawa warganya, akhirnya juga harus angkat kaki. Setidaknya ada lima pelajaran penting yang dapat dipetik oleh semua pihak dari perang di Afghanistan dan kegagalan Amerika Serikat; pertama, jangan pernah memulai perang apabila tidak mampu mengakhirinya dengan baik. Perang adalah tindakan terukur untuk menaklukkan lawan.
Memulai perang berarti sudah melakukan perkiraan akan konsekuensinya dan prediksi akan hasil akhirnya. Singkatnya, perang hanya akan berhasil apabila tujuan yang hendak dicapai dan hasil akhirnya sudah melalui kalkulasi yang akurat.
Mendorong perang tanpa kemampuan mengakhirinya dengan baik sama saja dengan melakukan petualangan politik menggunakan kekuatan dengan mengorbankan pasukan sendiri dan masyarakat di negara target. Amerika Serikat tampaknya telah melakukan kekeliruan ini sejak awal memasuki Afghanistan. Pertanyaannya, mengapa Amerika Serikat sebagai negara besar dengan kapabilitas militer yang hebat bisa terjebak dalam kekeliruan ini? Pelajaran berikut ini akan menjelaskannya.
Kedua, jangan pernah memulai perang dalam situasi emosional, sekadar memenuhi ekspektasi publik, atau untuk mencapai tujuan jangka pendek dalam politik domestik. Apabila perang dimulai dalam situasi emosional atau untuk tujuan memenuhi ekspektasi publik, politisasi atas perang akan menjauhkannya dari kalkulasi rasional dan tujuan objektif penggunaan kekuatan militer di medan pertempuran.
Salah dari awal adalah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan kegagalan Amerika Serikat di Afghanistan. Serbuan militer Amerika Serikat ke Afghanistan lebih karena dorongan emosional publik dan elite politik menyusul tragedi 9/11 dan telah mengesampingkan kalkulasi rasional yang seharusnya dilakukan sebelum memulai perang.
Ketiga, perang di Afghanistan membuktikan bahwa tidak satupun negara besar sanggup bertahan dalam perang yang berkepanjangan. Perang yang lama memakan biaya ekonomi besar, mengorbankan pasukan dalam jumlah banyak, dan perlahan menggerus dukungan maupun kepercayaan publik di dalam negeri.
Kebanyakan perang yang dimenangkan negara-negara besar adalah perang yang berlangsung singkat. Dua kali perang dunia di abad ke-20 semuanya berlangsung dalam waktu pendek. Perang Teluk untuk membebaskan Kuwait dari Irak 1991, yang diklaim Amerika Serikat dimenangkan secara gemilang, hanya berlangsung singkat selama 42 hari. Perang Irak, yang berlangsung sejak serbuan Amerika Serikat dan sekutunya 2003 hingga 2011, jauh dari hasil mengesankan. Amerika Serikat sendiri tidak pernah mengklaim secara resmi kemenangannya dalam perang ini. Selepas pendudukan Amerika Serikat, kekacauan lebih terlihat di Irak ketimbang stabilitas.
Jauh sebelumnya, Amerika Serikat hengkang dari Vietnam setelah terlibat langsung dalam perang selama 10 tahun (1965-1975). Uni Sovyet menghentikan perang dan harus angkat kaki dari Afghanistan karena tidak sanggup melanjutkannya setelah bercokol dari 1979 hingga 1989. Kini, Amerika Serikat mengulang pengalamannya di Vietnam dan mengulang pengalaman Uni Soviet di negara yang sama, yaitu Afghanistan. Amerika Serikat meninggalkan gelanggang perang setelah kurang lebih 20 tahun berada di dalam perang yang dimulainya.
Keempat, menggunakan perang untuk tujuan perubahan politik di negara target tidak akan efektif tanpa dukungan dan kemauan masyarakat di negara tersebut. Perang memiliki keterbatasan sebagai instrumen untuk menciptakan perubahan politik. Operasi militer dalam perang sangat sulit untuk mengelakkan diri dari timbulnya korban di tengah masyarakat sipil.
Apalagi bila pertempuran-pertempuran dilakukan di medan yang tidak dikenali. Banyaknya korban sipil berjatuhan selama perang, menyebabkan masyarakat sipil cenderung antipati dengan kekuatan asing dan menolak perubahan politik yang diperkenalkan. Tampaknya, Amerika serikat terjebak dalam situasi seperti ini dan sayangnya tidak memiliki exit strategy yang tepat untuk segera mencegah keberhasilan dalam peperangan berubah menjadi kegagalan akibat ambisi melakukan perubahan politik.
Kelima, jangan pernah bergantung kepada negara besar untuk melakukan perubahan mendasar di dalam negeri. Dinamika politik dan ekonomi di negara-negara besar selalu berdampak terhadap dukungan mereka kepada kekuatan-kekuatan politik di negara yang menginginkan perubahan. Tidak pernah ada komitmen yang abadi.
Komitmen negara besar terhadap sekutunya selalu bergantung pada siapa yang memerintah di negara tersebut dan bagaimana mereka menguasai pemerintahannya. Tidak tuntasnya perubahan politik yang diharapkan sebagian rakyat Afghanistan, tidak terlepas dari pasang surut komitmen Amerika Serikat sehubungan dengan perubahan-perubahan drastis di negara adidaya tersebut.
Pelajaran terakhir ini, yaitu tidak terlalu bergantung kepada negara-negara besar, sangat perlu disadari oleh negara manapun, termasuk Indonesia. Perubahan politik, perubahan ekonomi, atau perubahan domestik apapun berpotensi gagal apabila terlalu bergantung pada negara besar. Perubahan yang sejati akan berkelanjutan apabila mayoritas masyarakat memang menginginkannya dan tidak terganggu dengan ada tidaknya dukungan negara besar.
Amerika Serikat telah kalah perang dan pulang meninggalkan gelanggang. Bagi rakyat Amerika Serikat kegagalan di Afghanistan tampaknya berlangsung dalam saat yang sama sekali tidak tepat.
Amerika Serikat harus menanggung pilu kembali akibat kegagalannya di Afghanistan di saat glorifikasi kejayaan negara seharusnya menjadi latar dari peringatan 20 tahun tragedi 9/11. Dua dekade lalu alasan yang digembar-gemborkan untuk membenarkan kehadiran pasukan Amerika Serikat di Afghanistan adalah untuk menghancurkan pemerintah yang mendukung aksi terorisme 9/11 dan melindungi pelakunya.
Semoga masyarakat internasional mampu mengambil alih tanggung jawab pemulihan stabilitas di Afghanistan, untuk menghindarkan tragedi kemanusiaan kembali terulang di negara ini.
Komandan Pasukan Quds dari Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), Brigadir Jenderal Iran Esmail Qaani, terlihat dalam keadaan hidup dan sehat saat menghadiri perayaan kemenangan.
Pemerintahan federal AS tetap siaga terhadap potensi ancaman yang muncul akibat konflik di Timur Tengah.
Penutupan jalur penting pengiriman minyak itu telah beberapa kali disuarakan oleh otoritas Iran sebagai tanggapan terhadap serangan Israel.
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, membantah klaim Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bahwa telah terjadi kesepakatan gencatan senjata antara kedua belah pihak.
HONDA akan menampilkan kendaraan listrik bertenaga hidrogen Honda CRV e:FCEV dalam ajang balap ikonik Broadmoor Pikes Peak International Hill Climb 2025 di Amerika Serikat.
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara resmi mengumumkan pada Selasa (24/6) pagi bahwa perjanjian gencatan senjata antara Iran dan Israel mulai diberlakukan.
KONDISI geopolitik global, khususnya perang Iran-Israel, bisa berdampak negatif pada persepsi keamanan kawasan Asia, termasuk Indonesia. Hal itu disorot dala Rakernas ASITA 2025
Seluruh negara di dunia diminta untuk mengambil langkah nyata guna menekan Israel.
PRESIDEN ASPEK Indonesia, Muhammad Rusdi, menyatakan gerakan dan perjuangan buruh Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari gerakan, dan perjuangan buruh dan rakyat dunia.
Eropa sedang bergegas mempersiapkan warganya untuk menghadapi ancaman konflik yang semakin meningkat dan berada di ambang pintu.
PEMERINTAH Tiongkok mengimbau warganya menghindari zona konflik dan tidak terlibat dalam perang di Ukraina dalam bentuk apa pun.
Hampir semua 2,4 juta anak yang tinggal di Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur dan Jalur Gaza terkena imbas perang.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved