Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
DI kepingan sore yang teduh, pada pertengahan musim panas beberapa hari lalu, seorang pemuda Afghanistan sumringah ketika saya menyapanya melalui telepon. Namun, tiba-tiba suaranya lirih meredup, saat saya menanyakan tanggapannya mengenai Taliban yang kembali berkuasa di Afghanistan. Dia tidak segera menjawab pertanyaan saya. Ada jeda dari balik telepon. Nadanya berubah parau dan agak terbata-bata. "Man omidi nadaram bargardam. Saya tidak punya harapan lagi untuk pulang," ucapnya sambil menghela napas panjang setengah putus asa.
Dari intonasi irama suaranya, saya bisa merasakan ada beban besar menghimpit dadanya. Ia menyimpan memori sejarah luka panjang sebagai pengungsi yang terusir dari tanah kelahirannya sendiri ketika pertama kali Taliban berkuasa.
Masalah kemanusiaan yang terlupakan
Mohammadi, begitu namanya dipanggil, semester lalu termasuk salah satu mahasiswa saya. Dia begitu antusias mendalami kajian Indonesia, termasuk bahasanya. Maret lalu, dia mengirim sebuah tulisan terbaru dalam bahasa Farsi mengenai proses perdamaian di Indonesia, sebagai model untuk negaranya, terutama pola rekonsiliasi konflik ala Gus Dur. Ia juga mengabarkan tulisannya akan diterbitkan salah satu media di Afghanistan.
Ketika itu, ada secercah harapan dan optimisme menyembul kuat untuk pulang ke Afghanistan setelah menyelesaikan seluruh jenjang studinya nanti. Ia saat ini sedang menempuh jenjang pascasarjana di Fakultas Ilmu Politik Universitas Tehran. Mohammadi sangat antusias untuk menekuni studi Asia Tenggara. Bahkan ia begitu optimistis untuk melanjutkan program strata tiga di Indonesia atau negara lain. Namun, beberapa hari lalu, ia terlihat pesimistis. Nama Taliban seolah menggoreskan luka baru dalam tubuhnya yang pernah tersayat oleh kata itu. Kemenangan Taliban menjadi mimpi buruk di siang bolong, yang mengubur mimpinya untuk pulang.
Selain Mohammadi, ada sekitar tiga juta orang Afghanistan yang tercatat resmi sebagai pengungsi di Iran. Selain itu, diperkirakan hampir satu juta orang pengungsi Afghanistan yang tidak tercatat secara resmi dengan dokumen. Mereka datang ke Iran ketika Taliban menguasai Afghanistan antara tahun 1996 hingga 2001. Data statistik ini, belum termasuk jumlah pengungsi baru yang saat ini berada di kamp-kamp penampungan di perbatasan Taybad di Provinsi Khorasan Razavi, dan tempat lainnya, yang diperkirakan berjumlah ratusan ribu orang. Hampir semuanya dari etnik Hazara.
Siang itu, ketika televisi Iran mengabarkan Taliban menguasai Kabul lebih dari sepekan lalu, beberapa pemuda Afghanistan berusia sekitar dua puluh tahunan yang bekerja di toko kelontong tidak jauh dari rumah saya, menatap layar TV dengan raut muka sedih dan kecewa. Salah satu dari mereka menukas, "Pupus sudah harapan kita untuk pulang."
Seorang lelaki tua penjual sayur mentah dengan gerobak yang saya temui, juga terlihat kecewa ketika mendengar Taliban berkuasa kembali di Afghanistan. Di hari itu, sebagian orang Afghanistan berunjuk rasa di depan salah satu kantor PBB di Teheran, mereaksi naiknya Taliban menguasai Kabul, sebagian besar perempuan muda.
Tampaknya, mereka pesimistis terjadi perubahan Taliban menjadi moderat. Mungkin terlalu besar luka sejarah yang digoreskan Taliban di tubuh mereka, hingga sulit dihapus. Ada darah yang tumpah, dan linangan air mata yang mengalir mengisi relung-relung memori mereka bertahun-tahun berada di negara lain sebagai pengungsi.
Tidak hitam-putih
Isu pengungsi dan penderitaan orang-orang Afghanistan, yang terpaksa meninggalkan negaranya, demi menyelamatkan diri selama ini kurang mendapat perhatian dalam pemberitaan media mengenai Afghanistan di Tanah Air. Salah satunya, dipicu oleh pola pemberitaan hitam putih, yang menentukan realitas melalui pemilahan dan pemilihan. Mana yang boleh dan tidak boleh ditampilkan sebagai berita. Dari titik ini, Stuart Hall (1982:64), secara kritik menyoroti realitas, tidaklah secara sederhana dapat dilihat sebagai satu set fakta, tetapi hasil dari ideologi atau pandangan tertentu.
Dalam kasus krisis Afghanistan, pemberitaan yang kerap muncul berbentuk pola hitam atau putih, Taliban, atau bukan Taliban. Aktor ditampilkan dalam bentuk dua kubu yang berhadap-hadapan. Oleh karena itu, narasi yang muncul berbentuk berita kemenangan Taliban dan kekalahan pasukan AS, atau, Taliban versus Aliansi Utara di Pansjshir.
Cara pandang ini meneruskan persaingan, rivaltry, antaraktor yang berseteru secara berhadap-hadapan. Namun, melupakan pemetaan yang lebih luas mengenai masalah utama di Afghanistan, seperti pragmentasi etnik dan kuasa. Akibatnya, berita yang muncul tidak jauh dari masalah pembelaan atau penyerangan terhadap salah satu ataupun kubu lainnya. Padahal, jika digali lebih dalam pemetaan masalahnya, ada pihak ketiga yang justru lebih penting, yaitu rakyat Afghanistan, yang bukan memihak Taliban, atau AS, maupun lawannya.
Narasi mengenai pengungsi kerap hilang karena pola hitam atau putih tidak pernah menempatkan rakyat dalam pola pemberitaan sebagai aktor penting untuk meretas solusi damai. Dari sini, aspek kemanusiaan ditinggalkan karena media cenderung mengedepankan pola hitam atau putih. Padahal, kemanusiaan tidak pernah hitam atau putih karena tidak mengenal warna kepentingan apa pun, apalagi aroma politik. Dari titik inilah pesan Gus Dur sangat relevan, "Yang lebih penting dari politik ialah kemanusiaan."
Bukan menang-kalah
Masalah pemberitaan Afghanistan di Tanah Air, lebih cenderung dilihat dari perspektif pihak penguasa. Posisi Taliban sebagai kubu yang mengusai Kabul dan sebagian besar wilayah Afghanistan ditampilkan sebagai pemenang. Pola pemberitaan menang atau kalah, memicu munculnya polemik mengenai pro atau kontra terhadap Taliban, terutama setelah sebagian kalangan mendorong pemerintah Indonesia segera mengakui pemerintahan Taliban secara resmi. Padahal, hingga kini pemerintahan Taliban belum terbentuk secara resmi. Meskipun pos-pos jabatan penting sudah dilakukan penunjukan yang didominasi etnik Pashtun.
Derasnya komentar para tokoh dan pengamat, yang mengarah pada pro maupun kontra terhadap Taliban menyebabkan isu paling penting mengenai kemanusiaan terpinggirkan. Nasib rakyat Afghanistan, termasuk pengungsinya luput dari pemberitaan di Tanah Air.
Masalah lebih serius, mengenai terjadinya pola menyalahkan pihak korban, blaming the victim dalam pemberitaan. Salah satu contohnya, mengenai pelabelan moderat dari Taliban dengan definisi yang menyampingkan posisi minoritas, dan isu-isu sentral seperti hak asasi manusia, perempuan dan anak-anak. Berbagai riset, termasuk yang dilakukan William Ryan (1971), menunjukkan pengaruh signifikan pola pikir (mindset) terhadap terjadinya blaming the victim.
Dalam kasus Afghanistan, muncul mindset pembelaan sebagian kalangan media terhadap Taliban dengan menyalahkan pengungsi karena, tidak pulang, atau yang keluar dari Afghanistan. Padahal, Taliban dianggap sudah berubah menjadi lebih moderat. Hingga kini, Taliban belum pernah menyampaikan permintaan maaf atas perbuatan mereka sebelumnya, yang telah menumpahkan darah kalangan minoritas ataupun pengekangan terhadap perempuan di masa lalu.
Meretas perdamaian, jurnalisme damai
Selain berbagai langkah di tingkat lokal, regional dan internasional untuk mewujudkan perdamaian di Afghanistan, tampaknya diperlukan terobosan lain dalam pemberitaan berbentuk jurnalisme damai. Jake Lynch dan Annabel Mc Goldrick (2007: 251) memandang Jurnalisme Damai tidak sekadar laporan tentang perdamaian, tapi kerangka pikir jurnalistik yang berpijak pada perdamaian.
Setidaknya, ada empat langkah yang bisa dilakukan dalam konteks meretas solusi krisis Afghanistan. Pertama, media harus mendorong upaya untuk mengeksplorasi peta dan formasi konflik demi mendorong pihak-pihak terkait menemukan pemecahan jalan rekonsiliasi komprehensif.
Pasalnya, media selama ini fokus pada pemberitaan yang hanya menyoroti arena konflik dengan membagi kubu yang berseteru; pemenang dan pecundang. Akibatnya, pemberitaan yang kerap muncul diwarnai statement salah satu pihak sebagai pemenang, dan, menjatuhkan pihak lain sebagai pecundang. Perlunya mengedepankan pemain ketiga, yaitu rakyat sendiri, termasuk di dalamnya pengungsi yang memiliki hak untuk pulang. Keterlibatan kaum perempuan juga menjadi bagian lain dari upaya meretas solusi damai.
Kedua, media harus membuka ruang, waktu, dan akar penyebab utama konflik terjadi dengan menelaah sejarah konflik, serta aspek kultur yang melingkupinya. Media harus mencari para narasumber yang memiliki kapasitas untuk melihat akar penyelesaian masalah secara menyeluruh, dan memiliki komitmen perdamaian, bukan dari satu pihak saja. Dengan demikian, langkah sebagian pihak, untuk mendorong supaya pemerintah Indonesia segera mengakui Taliban secara resmi, sebagai sikap tergesa-gesa yang berpotensi memperkeruh masalah.
Ketiga, media harus melakukan pendekatan proaktif dengan mencegah kekerasan meluas. Selama ini wartawan cenderung reaktif dan menunggu kekerasan semakin meluas baru melaporkan. Media harus menjadi corong perdamaian. Oleh karena itu, apa yang diberitakannya berupaya mencari sumber–sumber yang serius membawa perdamaian permanen, dan bukan sebaliknya.
Keempat, media harus berorientasi solusi permanen, yang menjunjung tinggi keadilan. Selama ini, perdamaian cenderung dipandang sebagai kemenangan salah satu pihak ditambah dengan gencatan senjata. Padahal, perdamaian ialah akumulasi dari perjuangan antikekerasan ditambah kreativitas untuk mewujudkan perdamaian permanen.
Oleh karena itu, wartawan harus fokus terhadap inisiatif perdamaian dan mencegah lebih banyak perang serta mewujudkan perdamaian, termasuk menelaah struktur, budaya, sosial dalam menciptakan perdamaian masyarakat.
Dalam konteks krisis Afghanistan, pemberitaan terhadap warisan budaya, termasuk keberadaan para ulama, tokoh dan sufi besar yang memiliki akar kuat toleransi di negara ini, bisa menjadi salah satu pola mendorong ditemukannya solusi damai yang mengakar. Balkh, tempat lahirnya Sufi besar Jalaluddin Rumi. Dari sana pula dimakamkan tokoh besar, Khawajah Abdullah Ansari, dan Abdul Rahman Jami di Herat, Sanai Ghaznavi di Ghazni, dan lainnya.
Jika Taliban mengaku moderat demi mendapat pengakuan publik internasional, mereka perlu diuji, termasuk keseriusannya menyerap aspirasi rakyat Afghanistan sendiri di dalam dan luar negeri. Para pengungsi yang sekarang tersebar di berbagai negara, juga memiliki hak atas negara mereka sendiri.
Akankah Taliban menawarkan perdamaian, dengan mempertimbangkan keadilan untuk para pengungsi, terutama anak-anak dan perempuan. Sebab, seperti yang dikatakan Gus Dur, Perdamaian tanpa Keadilan adalah Ilusi. Para pengungsi itu menunggu keadilan dari Taliban baru. Mungkin bisa dimulai dari setetes keadilan di kemarau politik Afghanistan, melalui permohonan maaf kepada mereka, atas kekerasan beberapa tahun silam. Dari sana, rekonsiliasi bisa dimulai.
AKTIVIS pendidikan Malala Yousafzai meminta para pemimpin Muslim untuk menentang kebijakan represif Taliban di Afghanistan.
MALAYSIA, Indonesia, India, Afghanistan, dan Jepang dengan keras mengutuk serangan Israel terhadap Iran pada Sabtu (26/10). Mereka mengatakan itu sebagai pelanggaran hukum internasional.
PM Malaysia Anwar Ibrahim pada Sabtu (19/10) mengutuk keras pembunuhan pemimpin Hamas Yahya Sinwar oleh pasukan Israel. Begitu pun pemerintahan sementara Taliban di Afghanistan.
KELOMPOK ISIS mengaku bertanggung jawab atas bom bunuh diri mematikan di Kabul yang menewaskan sedikitnya enam orang.
Secara singkat, syariah merupakan sistem hukum agama yang diambil dari Al-Qur'an sebagai kalam Allah dan Hadis atau perkataan atau tindakan Nabi Muhammad SAW.
Untuk pertama kalinya, di pertemuan Doha III ini, hadir otoritas de facto atau de facto authority (DFA) di Afghanistan, yaitu Taliban.
Pemerintahan federal AS tetap siaga terhadap potensi ancaman yang muncul akibat konflik di Timur Tengah.
Pentingnya mengikuti perkembangan situasi keamanan, mematuhi arahan dari otoritas setempat, serta menghindari wilayah yang menjadi target strategis dalam konflik antarnegara.
Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali mencuat seiring dengan meningkatnya kemungkinan Iran menutup Selat Hormuz, jalur strategis yang menjadi urat nadi ekspor minyak dunia.
Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan peringatan keamanan global ke warganya menyusul ketegangan di Timur Tengah.
USS Nimitz terlihat berlayar dari Laut China Selatan, masuk ke Laut Natuna Utara, lalu melintasi perairan utara Belawan, hingga ke Selat Malaka dan Samudera Hindia.
PRESIDEN Prabowo Subianto melakukan kunjungan kenegaraan ke Rusia di tengah meningkatnya ketegangan di Timur Tengah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved