Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Masalah THR, Pekerja Produksi, dan Pekerja Manajemen

Andy Ahmad Zaelany Peneliti Puslit Kependudukan LIPI
29/4/2021 05:00
Masalah THR, Pekerja Produksi, dan Pekerja Manajemen
Ilustrasi MI(MI/Seno)

PERNAH muncul di salah satu channel televisi, gambaran sebuah bangunan pabrik bertingkat dua. Di lantai atas ialah ruangan para pekerja manajemen yang hanya beberapa orang. Ruangan yang ber-AC, lantainya karpet dipenuhi dengan komputer dan berkas-berkas, serta sejumlah fasilitas lainnya. Mereka bekerja dengan sesekali diselingi mengobrol sambil tertawa-tawa.

Pemandangan yang kontras terlihat di lantai bawah. Para pekerja produksi sedang bekerja keras untuk menghasilkan produk-produk yang akan dijual. Tidak terdengar adanya pembicaraan. Sesekali ada, memang, bisik-bisik antarpekerja. Selebihnya, hanya suara riuhnya mesin-mesin memenuhi ruangan. Jumlah pekerjanya begitu banyak, berdesakan dalam suatu ruang yang tidak begitu luas. Kesannya menyesakkan dada, udaranya panas, tapi tidak ber-AC sebagaimana di lantai ruang manajemen.

Selama masa pandemi ini, masalah perburuhan semakin menajam dan rumit karena memburuknya perekonomian Indonesia. Masalah pembayaran upah, pemberian pesangon, dan penyelesaian tunjangan hari raya (THR) merupakan masalah kompleks yang menimbulkan perselisihan dalam perusahaan dan melahirkan demonstrasi. Tentu saja, pandemi covid-19 sering menjadi variabel mengapa hak-hak buruh tersebut tidak dipenuhi perusahaan. Hal itu, secara legislasi betapa pun, merupakan industrial abuse karena melanggar UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

 

Memacu kinerja

Kalau mencermati kasus Singapura dan Malaysia, sebagai lesson learnt, pekerja produksi di sana memperoleh perhatian yang lebih baik. Negara-negara tersebut meyakini peran penting dari pekerja produksi dalam keberlangsungan usaha. Ketika ada keuntungan yang lebih (profit), bonus akan diutamakan diberikan kepada pekerja produksi, dengan memberikan persentase yang lebih besar jika dibandingkan dengan persentase bonus untuk pekerja manajemen. Bonus atau pembagian profit itu sayangnya belum ada di Indonesia.

Perlakuan yang baik kepada pekerja produksi akan memacu kinerja para pekerja untuk lebih giat. Produktivitas yang tinggi dari pekerja produksi akan menghasilkan produksi yang banyak dan memberikan keuntungan yang besar bagi perusahaan. Perlakuan yang baik di sini ialah memberikan segera apa yang menjadi hak pekerja, seperti THR, upah, pesangon, bonus, dan cuti. Relasi kerja co-determination, yang terbentuk pada akhirnya akan menguntungkan perusahaan.

Sebaliknya, bila relasi kerja eksploitatif yang diterapkan, awalnya terlihat menguntungkan perusahaan dengan menghemat pembiayaan, tetapi dengan produktivitas yang rendah dan kinerja yang buruk dari pekerja produksi, malah akan menyebabkan profit yang rendah dan bisa-bisa merugikan perusahaan.

 

Masalah THR

Sebagaimana biasa terjadi tiap tahunnya, memasuki Ramadan pengeluaran rata-rata rumah tangga meningkat. Harga-harga kebutuhan pokok juga cenderung meningkat, khususnya mendekati Hari Raya Idul Fitri 1442 H. Di satu sisi, itu menjadi berkah bagi UMKM dan sektor informal, bahkan beberapa usaha lainnya yang pelan-pelan menggeliat kembali setelah setahun ini terpuruk gegara pandemi covid-19. Namun, di sisi lain, itu menerbitkan kembali gejolak tahunan terkait dengan masalah pembayaran tunjangan hari raya (THR).

Tercatat, setidaknya ada 103 perusahaan yang masih menunda pembayaran THR pada 2020. Pada 2020, perusahaan masih boleh melakukan pembayaran dengan cara cicilan didasarkan kondisi perekonomian bangsa yang sangat terpuruk. Itu pun masih banyak perusahaan yang belum menyelesaikan cicilan mereka sampai sekarang.

Pada 2021 pihak Kemenaker menegaskan melalui Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan agar tidak ada lagi perusahaan yang membayar THR dengan cara mencicil. Imbauan dan pendirian posko THR merupakan wujud upaya pemerintah untuk mendorong perusahaan-perusahaan agar memenuhi kewajiban mereka.

Dalam kebijakan tersebut, disertakan pula sanksi mulai peringatan, sanksi administratif, denda 5% dari total THR sejak batas akhir pembayaran, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, pembatasan kegiatan usaha, sampai pembekuan sementara kegiatan usaha.

Pengawasan pembayaran THR pun diperketat melalui penyelenggaraan posko THR 2021. Di daerah-daerah, juga didirikan posko THR daerah. Selain itu, ada website dan call centre, untuk memaksimalkan pengawasan pembayaran THR itu sampai ke daerah-daerah. Ada kewajiban tiap perusahaan untuk melaporkan pelaksanaan pembayaran THR ke Kemenaker. Tahap terakhir, tentunya, menegakkan aturan pembayaran THR ini bagi perusahaan yang tidak mematuhinya.

Namun, dikhawatirkan, kebijakan itu akan tumpul dan menjadi kebijakan semata. Variabel pandemi dan masih terpuruknya perekonomian akan menjadi alasan tidak dijalankannya kebijakan pembayaran THR. Kesadaran akan pentingnya memenuhi hak-hak pekerja seharusnya berkembang di dalam suatu perusahaan dan menjadi corporate culture (budaya perusahaan). Namun, dari pihak Kemenaker pun juga mengajukan jalan tengah bagi perusahaan yang terdampak oleh pandemi dengan melakukan dialog dua arah dengan para pekerja.

Pengarusutamaan dialog itu juga belum berkembang dengan baik di kalangan perusahaan. Kejujuran tentang kondisi keuangan perusahaan, perasaan bersama memiliki perusahaan (sense of belonging) , sikap saling menguntungkan, dan membesarkan antara pekerja dan pemilik perusahaan, sikap untuk memenuhi kewajiban, yakni memenuhi hak-hak pekerja seyogianya menjadi sendi-sendi dasar dari dialog itu.

Belajar dari kasus Singapura dan Malaysia di atas, seyogianya hak-hak pekerja produksi, seperti pembayaran THR 2021, diutamakan segera diselesaikan jika dibandingkan dengan para pekerja manajemen maupun para pejabat perusahaan. Pemenuhan hak-hak pekerja produksi sebaiknya diupayakan dengan berbagai cara untuk menjaga semangat dan produktivitas mereka.

Seandainya keputusan dialog bipartit, ataupun tripartit, bahwa THR terpaksa dicicil, persentase cicilan pembayaran THR untuk pekerja produksi seyogianya lebih besar jika dibandingkan dengan pekerja manajemen maupun pemilik perusahaan. Prioritas pemenuhan hak pekerja produksi dalam segala keputusan yang dibuat dalam perusahaan seyogianya menjadi corporate culture. Semoga!



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya