Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Mengkomunikasikan Vaksin di Garda Terdepan

Sri Yuliani Umasugi, Master of Public Health Candidate, The University of Melbourne
03/2/2021 20:05
Mengkomunikasikan Vaksin di Garda Terdepan
Sri Yuliani Umasugi(Dok pribadi)

SEBAGAI garda terdepan sistem kesehatan, vaksinasi bagi tenaga kesehatan bersifat krusial. Angka positivity rate yang mencapai 32,82% beberapa waktu lalu mengindikasikan dari 100 orang yang dites ada 32 positif terinfeksi covid-19. Hal ini tentu semakin meningkatkan risiko tertular di kalangan tenaga kesehatan (nakes), ditambah lagi risiko tinggi terinfeksi ini disertai potensi mereka dapat menginfeksi pasien, kolega dan keluarga. Sehingga menjadi lumrah apabila nakes menjadi prioritas penerima vaksin covid-19. 

Akan tetapi menjadi populasi prioritas program vaksinasi tidak berarti semua tenaga kesehatan akan dengan mudah mau divaksinasi. Meskipun antusiasme mereka tinggi untuk menjadi penerima pertama vaksin, perlu diperhatikan juga adanya populasi nakes yang tidak bisa divaksinasi karena kondisi kesehatan dan yang ragu akan vaksin ini.

Dalam survei nakes di Amerika, ditemukan bahwa 29% ragu akan program vaksinasi covid-19 dengan berbagai alasan berbeda. Data ini dapat kita jadikan gambaran bahwa ada potensi keraguan atau penolakan nakes terhadap program vaksinasi di Indonesia. Meyakinkan nakes mendukung vaksinasi penting untuk setidaknya tiga alasan; pertama, mereka memiliki risiko tinggi terpapar, menvaksinasi nakes menurunkan risiko mengalami covid-19 bergejala dan memastikan krisis sumber daya manusia yang penting dalam penanganan pandemi tidak terjadi. Kedua, nakes adalah sumber utama informasi kesehatan bagi masyarakat yang dipercaya dan dapat memengaruhi masyarakat secara luas. 

Rasio dokter-pasien Indonesia saat ini terasa berpengaruh karena satu dokter bisa melayani hingga 1.400 masyarakat. Mengimplikasikan bahwa kepercayaan atau keraguan satu dokter pada efikasi dan program vaksinasi, bisa berpengaruh pada kesediaannya untuk mengedukasi ribuan masyarakat untuk ikut divaksinasi. Ketiga, tenaga kesehatan bersama dengan pemerhati kesehatan masyarakat dan akademisi juga berperan dalam proses monitoring dan advokasi program vaksinasi. Memastikan cakupan vaksinasi sampai pada target populasi yang membutuhkan dan vaksinasi mencapai angka yang dibutuhkan. 

Ketika terjadi perubahan atau adanya implementasi program baru, secara alami akan ada kelompok yang pada awalnya menolak perubahan yang terjadi terlepas dari apakah efek dari perubahan itu menguntungkan atau merugikan. Dalam teori psikologi perubahan, Everett Rogers menjelaskan persepsi individual terhadap suatu perubahan bergantung pada motivasi dan keuntungan serta seberapa sulit usaha yang dibutuhkan untuk menerapkan perubahan tersebut. 

Rogers membagi kelompok masyarakat menjadi lima kategori tergantung seberapa mudah perubahan bisa diadaptasi. Kelima kelompok ini adalah innovator, early adaptor, early majority, late majority dan late adaptor. Ia menjelaskan titik kritis perubahan berada pada ambang di mana ide atau perilaku baru bergerak dari tidak biasa menjadi umum. Banyak contoh yang bisa kita lihat di keseharian misalnya penggunaan ponsel, pakaian bahkan hobi baru.

Perlu untuk dipahami bahwa program vaksinasi sebagai usaha kesehatan masyarakat bukanlah semata menerjemahkan mentah-mentah ilmu pengetahuan dan hasil penelitian menjadi sebuah program. Ada faktor ekonomi, budaya, politik dan psikososial yang perlu dipertimbangkan dan mempengaruhi keberhasilan cakupan vaksinasi baik di kalangan nakes maupun masyarakat umum. 

Sehingga berdasarkan teori tersebut, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan angka inokulasi vaksin pada nakes. Pertama, dengan mengidentifikasi early adopters atau mereka yang bersedia divaksinasi pada awal dilaksanakannya program. Ini berarti mengagendakan vaksin untuk para pemimpin dan tokoh di kalangan nakes. Hal ini sudah dicontohkan oleh ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) nasional dr. Daeng M Faqih yang turut menjadi penerima vaksinasi perdana. Pendekatan serupa juga perlu diadaptasi oleh pemimpin IDI dan organisasi kesehatan lainnya di tingkat daerah masing-masing. 

Diadaptasinya vaksin covid-19 oleh para tokoh ini akan mampu meningkatkan kepercayaan dan mendorong nakes untuk divaksinasi. Kedua, mengidentifikasi isu-isu yang menghalangi nakes untuk divaksinasi, termasuk membantu mereka yang ragu atau berkemungkinan menolak vaksinasi karena meskipun nakes mengerti tentang pentingnya vaksinasi, beredarnya misinformasi bisa menimbulkan kesangsian dan menurunkan kepercayaan pada program vaksinasi. Strategi ini penting untuk mencegah misinfomasi dan rendahnya angka inokulasi, serta mencegah meluasnya informasi yang tidak tepat yang diedukasikan kepada masyarakat umum.

Vaksinasi memang bukan satu-satunya cara kita bisa keluar dari pandemi ini. Namun vaksin adalah salah satu upaya penting dalam menekan angka infeksi dan kegawatan akibat covid-19 terutama untuk garda terdepan sistem Kesehatan kita. Angka cakupan vaksinasi pada nakes akan menjadi gambaran dan menentukan keberhasilan program vaksinasi covid-19 di Indonesia dan untuk itu kita perlu berstrategi pada semua lini.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya