Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Solusi Hadapi Resesi Ekonomi

Fatih Putra Nelly, Pemerhati Kebijakkan Publik
20/8/2020 15:15
 Solusi Hadapi Resesi Ekonomi
Fatih Putra Nelly(Dok.pribadi)

PEREKONOMIAN dunia berada di ambang ketidakpastian akibat pandemi virus korona (covid-19). Begitu juga dengan perekonomian Indonesia yang diprediksi pada kuartal II-2020 ini mengalami kontraksi. 

Belum lagi isu resesi yang berada di depan mata, melihat negara tetangga seperti Singapura sudah menelan pil pahit akibat pandemi. Bahkan, dalam peluncuran laporan Bank Dunia untuk ekonomi Indonesia edisi Juli 2020, tak ada jaminan bagi ekonomi Indonesia terbebas dari resesi. 

Ekonomi Indonesia bisa mengalami resesi jika infeksi covid-19 terus bertambah banyak. Terlebih lagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa kali mengingatkan para menterinya soal ancaman tersebut. Resesi adalah kondisi ketika produk domestik bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi suatu negara negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. 

Hal itu juga pernah dijelaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Sedangkan Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menjelaskan, resesi dapat dilihat masyarakat dari beberapa tanda antara lain; pendapatan yang menurun, kemiskinan bertambah, penjualan khususnya motor dan mobil anjlok, mal-mal masih sepi, dan masyarakat terlihat jelas mulai banyak yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. (18/7). 

Bagi dunia perbankan, bukti resesi adalah meningkatnya angka kredit macet alias non perfoming loan (NPL). Resesi sebenarnya adalah hal yang biasa dan kerap terjadi dalam sebuah siklus perekonomian, tetapi dampak yang diberikan cukup buruk.

Negara sekelas Amerika saja sudah mengalami puluhan kali resesi. Melansir Investopedia, AS (negara dengan nilai ekonomi terbesar di muka bumi ini) sudah mengalami 33 kali resesi sejak 1854. Sementara jika dilihat sejak 1980, negeri Paman Sam mengalami 4 kali resesi termasuk saat krisis finansial global 2008.

Indonesia? Kali terakhir Tanah Air tercinta pernah mengalami resesi pada 1998, bahkan sangat dalam, dan ada risiko akan terjadi lagi di tahun ini. Sebabnya, tentu saja pandemi covid-19 yang membuat roda perekonomian melambat bahkan nyaris terhenti. Tidak hanya resesi, bahkan saat itu Indonesia dikatakan mengalami depresi akibat PDB yang minus dalam 5 kuartal beruntun. 

Sepanjang 1998, PDB Indonesia mengalami kontraksi 13,02%. Di kuartal ke II, perekonomian berisiko semakin nyungsep. Penyebabnya, penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mulai berlaku efektif di beberapa daerah beberapa waktu lalu. Akibatnya, roda perekonomian di kuartal II mengalami perlambatan signifikan, sehingga pertumbuhan ekonomi terancam merosot.

Data pengangguran, aktivitas manufaktur, serta penjualan ritel Indonesia sudah mengirim sinyal potensi terjadinya resesi. Pandemi covid-19 membuat pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana. Data terakhir, total pekerja yang dirumahkan dan di-PHK sebanyak 1.727.913 orang. Sektor manufaktur Indonesia juga merosot tajam, meski sedikit membaik pada Mei. Begitu juga dengan penjualan ritel atau eceran yang tak kalah memprihatinkan. Dalam rilis terbaru Survei Penjualan Eceran (SPE) Bank Indonesia, penjualan ritel April 2020 tercatat -16,9% YoY.

Ini merupakan kontraksi paling dalam sejak Desember 2008. Hampir seluruh pos penjualan ritel mengalami kontraksi. Pos yang paling dalam kontraksinya adalah penjualan bahan bakar -39% YoY, barang budaya dan rekreasi sebesar -48,5% YoY dan barang lainnya seperti sandang sebesar -68,5% YoY. Maklum saja, saat PSBB diterapkan masyarakat diminta untuk tetap di rumah, sehingga konsumsi pun menurun drastis.

Sementara, di tubuh Pemerintah bukti resesi juga dapat dilihat dengan meningkatnya angka utang luar negeri. Ancaman resesi di Indonesia kian nyata setelah negara jiran Singapura baru-baru ini mengalaminya. Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah mengingatkan para menterinya beberapa kali soal ancaman tersebut.

Kesiapan masyarakat 

Resesi ekonomi sudah di depan mata. Para ahli mendorong masyarakat mengantisipasi dengan gaya hidup hemat dan menyiapkan alternatif pekerjaan. Menurut ekonom Indef, Bhima Yudhistira masyarakat harus berhemat mulai dari sekarang untuk menyiapkan dana darurat selama resesi.  Kurangi belanja yang tidak sesuai kebutuhan dan fokus pada pangan serta kebutuhan kesehatan. Jadi jangan latah ikut gaya hidup yang boros. Pandemi mengajarkan kita apa yang bisa dihemat ternyata membuat daya tahan keuangan personal lebih kuat. 

Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah. Menurutnya, di saat seperti ini masyarakat jangan boros dan harus mempersiapkan kondisi terburuk untuk mencukupi keuangan. Tetap harus berjaga-jaga mempersiapkan kondisi terburuk yaitu apabila resesi ini berkepanjangan. Ini perlu stamina yang kuat termasuk juga tabungan yang cukup, jangan boros. Selain mempersiapkan tabungan yang banyak, masyarakat juga disarankan agar menjaga kesehatan agar resesi tidak berkepanjangan.

Sebab resesi salah satunya terjadi disebabkan oleh virus mematikan korona, dan yang utama tetap menjaga kesehatan. Resesi disebabkan oleh wabah, oleh karena itu solusi utama menghadapi resesi adalah mengakhiri wabah. Apabila wabah berakhir resesi pun akan usai, sebutnya. Sementara menurut Wakil Direktur Iindef, Eko Listiyanto ketika resesi terjadi maka akan ada ledakan gelombang pengangguran dan kemiskinan. 

Resesi dan krisis ekonomi selalu saja berulang yang dialami dunia dan negeri ini. Jika ditelaah dengan seksama adanya penerapan sistem ekonomi kapitalislah penyebab utama problem ini. Kerapuhan kapitalisme menyebabkan mudahnya perekonomian dalam negeri maupun skala dunia goncang. Sebab, ekonomi kapitalisme berdiri di atas sektor non riil dan sistem ribawi. Sehingga rentan terjadi krisis ekonomi. 

Hal ini semakin diperparah karena resesi ekonomi yang terjadi akibat pandemi. Oleh karena itu, sebenarnya tidak cukup hanya mengantisipasi dan mendorong rakyat untuk mengatasi dampak resesi dan krisis ekonomi ini. Perlu solusi tuntas atas resesi akibat berlakunya ekonomi kapitalisme.

Perlu mendorong masyarakat memahami cacat bawaan sistem kapitalisme yang menghasilkan krisis termasuk resesi, dan bagaimana sistem ekonomi Islam menciptakan ekonomi yang stabil dan tidak rentan resesi. Jika belajar dari sejarah peradaban manusia, baik dalam sistem ekonomi sosialis dan kapitalis sangat rentan dengan yang namanya krisis ekonomi. Krisis yang berulang, bahkan sampai resesi dan depresi merupakan wajah asli dari sistem kapitalisme.

Jelas saja ini akan terjadi sebab, fondasi ekonomi kapitalis itu rapuh, dibangun dari struktur ekonomi yang semu, yakni ekonomi sektor nonriil. Bukan ekonomi yang sesungguhnya, yaitu ekonomi sektor riil. Sistem ekonomi seperti ini, hanya dengan isu kecil saja, balon ekonomi ini bisa meledak sewaktu-waktu. Apalagi jika dilanda isu besar seperti wabah virus korona seperti saat ini.

Maka solusi resesi bukan sekadar terletak pada masyarakat semata dengan mendorong mereka untuk berhemat, menabung dan sebagainya. Namun resesi dan krisis ekonomi ini merupakan masalah sistemik, jadi untuk mengakhirinya juga dengan solusi secara sistemik bahkan fundamental. 

Sebelum pandemi saja Indonesia adalah negara dengan banyak penduduk miskin. Tentu makin meningkat bila ditambah lagi pandemi yang tak kunjung usai dan menyebabkan pengangguran meningkat, PHK massal. Kondisi tersebut secara otomatis mengerek peningkatan angka kemiskinan.

Bagaimana mungkin bisa hidup menabung kalau untuk hidup saja sudah pas-pasan. Jadi sistemnya yang mesti diubah. Sistem kapitalisme menjadi sistem ekonomi Islam yang anti krisis dan tanpa ada unsur riba.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya