Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Kemajemukan dan Edukasi

Mudji Sutrisno SJ Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
08/8/2020 03:58
Kemajemukan dan Edukasi
Ilustrasi(Dok.MI)

KERAGAMAN suku, identitas budaya lokal religi yang aneka merupakan sumber mata air daya hidup bangsa Indonesia. Kemajemukan itu bahkan secara proses kebudayaan diberi kata kunci kebinekaan dalam antagonismenya dengan keikaan. Maka dari itu, sejarah peradaban kita (baca: proses-proses merajut kebudayaan agar menjadi proses transformasi agar orang- orang menjadi semakin manusiawi dalam proses yang secara sadar dihayati sebagai humanisasi) merajut diri dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Apa artinya? Indonesia yang secara politis menegaskan diri sebagai kami bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, secara kultural hanya akan terus ada dan eksis bila terus menenun keragamannya sebagai bangsa menjadi negara Republik Indonesia yang bersatu dan berdaulat seperti tertulis dalam mukadimah Konstitusi 1945.

Para pemikir sosialitas hidup bersama manusia dari religi (wujud sosial dari religiositas: keimanan) memberi acuan sumber keunikan manusia dari tafsir kitab suci. Manusia ialah citra (gambar) unik dari Allah. Yang pria ialah citra agung Allah, sedang yang perempuan ialah citra ayu Allah. Ini pandangan kristiani.

Sementara itu, saudara-saudari muslim menegaskan manusia ialah khalifatullah di dunia ini. Pokok renung ini berpendapat bahwa perbedaan dan keunikan manusia merupakan jati dirinya. Lihat saja dalam unit kelompok yang paling dekat, yaitu keluarga. Tiap-tiap anak itu unik dan perbedaan watak merupakan kenyataan hakiki sehingga orangtua berusaha memahami dan memperlakukan mereka secara unik dan tidak menyeragamkan.

Kitab mazmur mencatat kekaguman penyairnya untuk merayakan keragaman warna-warni ciptaan sebagai anugerah hidup dari Sang Pencipta yang disyukuri kerena perbedaan dan keragaman keunikan ciptaan. Contoh-contoh sahaja di atas menampilkan betapa keragaman yang disyairkan serta dikidungkan yang mana Ibu Sud (alm) mengubah lagu bunga di taman dengan warna-warni merah, putih, kuning, dan ungu menjadi salah satu ungkapan ‘jalan seni’ dalam bahasa lagu anak-anak untuk menanamkan ke batin anak-anak bahwa kemajemukan ialah hakikat (yang inti) dalam hidup bersama.

Maka, lagu Desaku yang Permai dan pendidikan melalui nyanyian yang didendangkan tidak hanya memberi pemahaman pada anak Indonesia mengenai keragaman, tetapi juga menyanyi menjadikan pemahaman itu masuk ke rasa hati, ke ranah afeksi mereka. Harmoni yang menjadi simponi aneka keunikan bunyi gamelan yang masing-masing berfungsi dan menyumbangkan nada suara mulai ‘gender’; ‘kenong’, tabuhan gong dalam panduan kendang berdetak-detak bagai jantung orkestra, tidak bisa tampil sendiri-sendiri tanpa kebersamaan dengan alat-alat gamelan yang lain.

Ada ekspresi historis lukisan setelah peristiwa 1998, di gambarnya tokoh-tokoh reformasi waktu itu, yaitu Gus Dur, Megawati, Nurcholish Madjid, Syafi i Maarif sedang memainkan gamelan! Simbolisnya jelas agar mereka menyatu perjuangan menuju Indonesia Baru (waktu itu) justru dengan unsur-unsur perbedaan yang ada. Sejak kapan pelajaran kesenian yang praktik langsung tidak hanya menabuh gamelan, tetapi pula orkes klasik ataupun musik-musik lokal melalui dari tanah Minang atau keroncong Betawi Toegoe maupun keroncong Jawa tidak lagi menjadi ranah pendidikan anak-anak kita? Sejak pretensi ekstrem teknokrasi dan pragmatisme tanpa karakter membuat pendidikan imbang otak kanan dan otak kiri hanya dimuati kurikulumnya secara sepihak.

Kemajemukan dan keikaan ketika diformat menjadi jalan politik, maka praktik menomorsatukan politik macam apa dan politik makna apa
akan menjadi ujiannya. Politik sebagai usaha dan ikhtiar untuk membuat tata hidup bersama lebih berharkat dalam anggota-anggota masyarakatnya pasti akan memuat etika sebagai acuan yang baik, benar, suci, serta indah dari kehidupan ini untuk menjadi rambu-rambu pelaksanaan atau laku politik itu. Inilah politik yang beretika yang sebenarnya kita pantas bersyukur atau berbahagia karena para pendiri bangsa sudah memberikan dasar-dasarnya dalam proses dari bangsa majemuk ke negara kesatuan.

Politik etis religiusnya jelas, yaitu sila pertama 5 sila: yang rumusan konsensus akhir di alinea 4 Pembukaan UUD 1945 menekankan keesaan atau tauhid penghayatan religiositas kita dalam ketuhanan Yang Maha Esa.

Padahal, bila politik etis dalam dasar bernegara sila pertama ini dilihat dalam sejarah pengolahannya oleh Bung Karno di Ende 1930-an saat dibuang pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Soekarno merumuskan setelah menghayati dari pengalaman beragamnya para misionaris kristiani di Ende, para muslim setempat, serta mereka yang menghayati religi-religi bumi, dan kepercayaan masing- masing. Sila pertama ini sebagai ketuhanan yang berkebudayaan dan berbudi pekerti.

Artinya, praksis atau laku agamais yang sudah dihayati dalam konteks budaya dari agama-agama itulah akhirnya memiliki acuan sama yang melintasi religi-religi dan yang dipraktikkan dalam budi pekerti (yang baik, benar, dan suci) sebagai manusia saat keragaman agama-agama sudah tampil dalam wajah budayanya.

Selain itu, juga ketika keragaman pikiran, identitas sosial, beda kepen- tingan antarorang-orang Indonesia yang majemuk sekali, ingin bisa
menghormati beda pendapat dan mencoba toleransi berpikir di pihak yang jadi lawan bicara, di sanalah dirangkumkan ‘asas permusyawaratan perwakilan, tetapi dalam cara mufakat untuk mengambil putusan bersama’.

Jalan budaya berbincang dan berdebat dalam keragaman cara mengambil keputusan ialah mufakat. Para pendiri bangsa sudah bijaksana sekali mengelola di satu pihak kemajemukan tiap orang kita dan di lain pihak harus ada keputusan yang melegakan kebenaran bersama dari kebenaran masing-masing yang beda kepentingan. Mereka bijaksana karena ‘inti kebenaran’ itu tidak bisa divoting.

Epilog; ketika jalan politik pada titik ekstremnya sudah membuat sesama warga dipecah belah sebagai kerumunan musuh atau lawan di kelompok ‘mereka’ dan sebagai kawan di kelompok ‘kami’, jalan budaya menjadi renung jalan rekonsiliasinya apabila keragaman dijaga dan dihormati. Namun, zaman rezim penyeragaman ekstrem pun kita alami kerena politik penyeragaman meniadakan kerja sama hingga bineka dilupakan.

Ketika jalan kalkulasi untung-rugi atau manfaat dipakai sebagai ukuran pokok dalam ekonomisasi hingga tidak menguntungkan secara ekonomis ditendang keluar, tibalah mengingat kembali jalan budaya kita. Apalagi, saat-saat ini reduksi atau pengerdilan hormat ke sesama dan karyanya hanya dihitung dari uang dan uang, di sinilah pertanyaan hakiki untuk apa kita berbangsa dan ke manakah bernegara kita harus ditoreh dengan mempelajari lagi jalan budaya alinea 4 Pembukaan UUD 1945.

Membiarkan keragaman berteriak-teriak dan bergerak sendiri secara tata politis akan menyebabkan situasi anarkistis. Menindas kebe- basan ekspresi untuk pengalaman lalu kita sudah jelas-jelas membuat mati lemas kreativitas manusia Indonesia dan otoriternya rezim politik. Maka, menengok kembali tata kelola masyarakat majemuk dalam bernegara yang saat ini masih terbukti paling baik sudah pula diwariskan para pendiri RI, yaitu sistem demokrasi untuk keragaman dan kepastian hukum untuk menghukum yang anarkistis.

Saat jalan ekonomisasi terlalu mengambil nilai untung dan rugi material yang dihitung-hitung tanpa nilai-nilai immaterial sehingga harga manusia dihitung dengan uang. Sementara itu, jalan politik memecah-mecah kubu kawan versus lawan dan kepentingan kelompok nomor satu, jalan pendidikanlah merupakan jalan panjang dengan nilai proses dan proses! Inilah jalan kebudayaan yang ditanamkan sejak awal dalam life wisdom.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya