Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Sikap Aisyiyah–Muhammadiyah terhadap RUU P-KS

Yulianti Muthmainnah Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta, anggota Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Aisyiyah
14/7/2020 04:20
Sikap Aisyiyah–Muhammadiyah terhadap RUU P-KS
(Dok. Pribadi)

PEMBAHASAN RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) terhenti, bahkan dikeluarkan dari daftar prolegnas. Ada dua alasan yang muncul, pertama, konon kabarnya RUU P-KS tidak mendapat dukungan dari organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Kedua, karena DPR tidak mendapatkan aspirasi dukungan moril dari rakyat, benarkah?

Terkait aspirasi rakyat, sudah disampaikan surat nomor 195/PPA/A/IX/2019 tertanggal 25/9/2019 (25 Muharram 1441) dari Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah untuk pimpinan DPR, yang berisikan, meminta DPR agar pembahasan RUU P-KS di-carry over dan menjadi agenda prioritas DPR 2019-2024.

Dukungan moril ‘Aisyiyah ini sama dengan ratusan organisasi perempuan lainnya yang mendukung. Sayangnya, diabaikan DPR, bahkan, di saat korban pemerkosaan terus meningkat, ada yang berakhir dengan kematian.

Kasus terbaru, Juli 2020, S, warga Bangkalan, Jatim, menjadi korban pemerkosaan berkelompok (genk rape) semalam suntuk oleh delapan laki-laki biadab. S meregang nyawa dengan bunuh diri (2/7/2020) karena stres mendapatkan teror dan ancaman dari pelaku setelah S melaporkan kasusnya.

Di Lampung Timur, AS, 20, narapidana kasus pemerkosaan yang dibebaskan karena pandemi korona, kembali ditangkap Satreskrim Polres (30/4/2020) atas kasus pemerkosaan dengan korban yang berbeda, AS tidaklah jera.

Pemerkosaan juga menembus pesantren yang dianggap suci. Para santriwati di pondok pesantren mengalami pemerkosaan dari pimpinan pesantren yang dihormati warga. Mohammad Nukan (pesantren di Kecamatan Plemahan-Kediri), Ir alias H Gfn (pesantren di Pulau Giliyang), atau AI dan MY (pesantren di Kecamatan Muara Dua-Lhokseumawe), adalah nama-nama pelaku.

Para putra altar juga tidak lepas dari kekerasan seksual. Syahril Parlidungan Marbun adalah pelaku kekerasan seksual di Gereja Paroki Herkulanus, Depok, Jawa Barat.

Indonesia pada situasi mencemaskan kekerasan seksual. Pelakunya mulai rakyat biasa, pejabat, bahkan pemuka agama. Organisasi keagamaan harus bersikap. Negara (DPR dan pemerintah) harus segera mengesahkan RUU. Jika tidak, korban semakin berjatuhan, menyebabkan kematian, tidak ada perlindungan korban, impunitas, dan membuat pelaku semacam AS mengulang lagi perbuatan biadabnya.


Sikap Aisyiyah–Muhammadiyah

Melalui Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu, 2019, Muhammadiyah sudah mengeluarkan sikap berislam yang mencerahkan. Harus menampilkan sikap akhlak mulia (al-akhlaq al-karimah), menebar kebaikan (ihsan) Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin, rahmat bagi semesta alam (QS al-Anbiya: 107).

Menjauhkan diri dan masyarakatnya dari akhlak yang tercela (al-akhlaq al-madzmumah), menimbulkan kerusakan di muka bumi (fasad fi al-ardl), praktik keagamaan yang berwatak tengahan (wasathiyah). Membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat martabat kemanusiaan--laki-laki maupun perempuan. Gerakan pencerahan berkomitmen untuk memuliakan martabat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan yang berkeadilan dan tanpa diskriminasi.

Pimpinan Pusat Aisyiyah melalui surat 195/PPA/A/IX/2019 juga menyampaikan sikap memastikan tidak ada tumpang tindih kebijakan, definisi kekerasan seksual harus jelas mengakomodasi perlindungan korban, hukum acara, dan prosedur hukum harus memberikan kepastian penegakan hukum, dan sinkronisasi perundang- undangan lainnya.

Para pimpinan di lingkungan Aisyiyah–Muhammadiyah juga bersikap terhadap RUU P-KS. Mulai dari tingkatan komisariat (setara ranting) hingga pusat. Misalnya, Pimpinan Komisariat Ushuludin Ikatan Mahasiswa Muhamamdiyah/ IMM Cabang Ciputat, Ananul Nahari Hayunah, dalam pernyataan sikap mengatakan, kekerasan seksual sebagai pelanggaran HAM, negara harus mengesahkan RUU P-KS (16/6/2020).

Pada 14/5/2017, Ketua Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah (PDNA) Kendal, Dian Rahmawati, bersama sekretaris dan bendahara, bahwa PDNA Kendal menyatakan sikap agar RUU P-KS segera disahkan. Sikap ini sebagai salah satu bentuk positive emphasis, penekanan positif terhadap pemerintah agar undang-undang segera disahkan.

Ketua IMM DKI Jakarta, Suparman, dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat IMM, Robby Rodliyya Karman menegaskan dukungan dan komitmen pada perlindungan perempuan korban dan pengesahan RUU P-KS (webinar PSIPP, 11/5/2020).

Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Hamim Ilyas, mengatakan jumlah korban kekerasan seksual seperti gunung es, jika RUU P-KS tidak segera disahkan, kita zolim pada korban (FGD, 11/3/2019).

Bahkan, Ketua Umum Muhammadiyah, Haedar Nashir, sejak jauh-jauh hari mengungkapkan Muhammadiyah sejak awal sudah jelas ingin menjadikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan sebagai kasus nasional. Jika negara tidak tegas dalam bersikap, akan menjadi alarm nasional (8/5/2016). Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan kejahatan yang luar biasa, setara korupsi dan narkoba yang tidak berhak atas remisi (19/8/2016).

Sikap Ketua Umum Muhammadiyah sebelumnya, Syafii Maarif, dalam buku Mencari Autentisitas menarasikan ‘jika ada kaum laki-laki yang merendahkan dan menghina perempuan, jelas mereka adalah jenis manusia yang berada di luar wilayah peradaban’.

Merujuk pada sikap para pimpinan, dapat ditarik kesimpulan, Muhammadiyah mendukung perlindungan korban dan kebutuhan RUU P-KS menjadi UU. Apalagi 25 Posbakum ‘Aisyiyah (5 terakreditasi), yang day to day mendampingi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Inilah yang disebutkan Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Siti Noordjannah Djohantini, ‘salah satu persoalan Indonesia ialah kekerasan terhadap perempuan.

‘Aisyiyah ingin mengukuhkan diri sebagai gerakan perempuan Islam berkemajuan, dengan memperkukuh gerakan di akar rumput, langsung ke denyut kehidupan. Sehingga, memberi manfaat bagi kepentingan keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan di lingkup universal’, pada Tanwir II ‘Aisyiyah, 2019.

Bila saja remisi pandemi tidak berlaku pada pelaku kekerasan seksual, sebagaimana usulan Haedar Nashir tahun 2016, maka tidak ada korban baru dari AS, pelaku biadab. Jika saja RUU ini dibahas secara saksama, mungkin kematian S bisa dicegah.

Lalu, jika organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, yang sudah melakukan kajian dan pendampingan kasus, sedia mendukung pengesahan RUU P-KS, alasan apalagi untuk menolak RUU?

Apakah mereka yang menolak, baru bisa berempati dan mendukung RUU P-KS bila mendapati korban kekerasan seksual adalah orang terdekat yang mereka kenal? Semoga, mata hati mereka dibukakan Allah SWT, diberikan hidayah, Aamiin.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya