Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
JAKSA Agung RI ST Burhanuddin menekankan bahwa Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) harus menjadi instrumen hukum yang progresif dan menjunjung tinggi perlindungan hak asasi manusia (HAM).
“KUHAP yang sekarang, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, sudah tidak lagi relevan untuk menjawab perkembangan sosial, kemajuan teknologi, serta semakin kompleksnya modus kejahatan,” kata Burhanuddin yang hadir secara daring saat menjadi pembicara kunci dalam seminar nasional bertajuk “RUU KUHAP: Solusi atau Masalah Baru dalam Penegakan Hukum di Indonesia” yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Banyumas, Senin (16/6).
Ia mengutip pandangan almarhum Satjipto Rahardjo, tokoh hukum progresif Indonesia, yang menyatakan bahwa Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Burhanuddin menilai, pembaruan KUHAP perlu segera dilakukan agar sistem peradilan pidana nasional menjadi lebih modern, menyeluruh, dan berorientasi pada perlindungan hak-hak warga.
Ia menegaskan pentingnya prinsip partisipasi publik dalam proses legislasi RUU KUHAP, yang mencakup hak masyarakat untuk memberikan masukan, memperoleh penjelasan, serta mendapat tanggapan atas pendapat yang disampaikan.
Pembaruan KUHAP juga harus memastikan tegaknya prinsip-prinsip peradilan yang adil, antara lain penghormatan terhadap hak-hak tersangka, pengawasan terhadap tindakan aparat penegak hukum, pemberian akses terhadap bantuan hukum, serta independensi peradilan dan efektivitas mekanisme pemulihan hukum.
“KUHAP saat ini masih bersifat represif dan belum sepenuhnya mengakomodasi perlindungan HAM, khususnya dalam memperlakukan tersangka atau terdakwa,” ujarnya.
KEADILAN RESTORATIF
Burhanuddin juga menyoroti pentingnya pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) sebagai alternatif atas paradigma hukum pidana yang selama ini cenderung punitif. Menurutnya, pendekatan ini sudah masuk dalam KUHP 2023 dan mulai dipraktikkan aparat penegak hukum, namun masih belum memiliki dasar hukum yang kuat.
Ia menambahkan, perlu ada penguatan dalam hal mekanisme pemeriksaan, pengawasan internal aparat penegak hukum, serta pengaturan yang menyeimbangkan kekuasaan dalam proses penegakan hukum.
“RUU KUHAP ke depan harus memberikan kejelasan peran bagi aparat hukum, namun tetap menjamin perlindungan hak asasi semua pihak yang terlibat dalam proses peradilan,” katanya menutup.
LANGKAH STRATEGIS
Senada dengan itu, Anggota Komisi III DPR RI, Rikwanto, menyampaikan bahwa revisi KUHAP merupakan langkah strategis untuk memperbarui sistem peradilan pidana agar lebih sesuai dengan prinsip keadilan, HAM, dan dinamika hukum modern.
“RUU KUHAP dirancang sebagai kebijakan hukum yang menjamin kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan,” ujar Rikwanto yang datang di Kampus Unsoed.
Ia menjelaskan, tujuan utama penyusunan RUU ini mencakup perlindungan hak-hak tersangka, penegasan kewajiban aparat hukum untuk menaati prosedur yang adil, serta peningkatan efisiensi dan efektivitas sistem peradilan pidana secara keseluruhan.
Menurutnya, prinsip-prinsip yang menjadi landasan RUU KUHAP meliputi asas praduga tak bersalah, due process of law, kepastian hukum, serta proporsionalitas dalam penjatuhan sanksi pidana.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya pengaturan yang ketat terhadap penggunaan alat bukti elektronik dan penyadapan, serta perlindungan yang memadai bagi saksi dan korban.
RUU ini juga membuka ruang bagi penyederhanaan proses hukum dan pengembangan alternatif penyelesaian perkara, salah satunya melalui pendekatan keadilan restoratif.
“Keadilan restoratif sangat relevan untuk menangani perkara ringan secara lebih efisien, tanpa harus selalu melalui proses pengadilan,” tegasnya. (E-2)
KOMISI III DPR RI segera menyusun dan membahas revisi Rancangan Kitab UU Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP.
Pada pasal 111 ayat 2 misalnya, RUU KUHP memberikan kewenangan jaksa untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang dilakukan kepolisian.
KETUA Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai NasDem Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, mengungkapkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku saat ini sudah tidak relevan
REVISI Undang-Undang (UU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disepakati menjadi usul inisiatif DPR. Kesepakatan itu diambil dalam Rapat Paripurna ke-13 DPR
"Kewenangan jaksa yang meluas ke ranah penyidikan bisa menimbulkan tumpang tindih kewenangan," tegas Pakar Hukum Pidana UISU Indra Gunawan Purba.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved