Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
PAKAR komunikasi yang tergabung dalam Aliansi Akademisi Komunikasi untuk Pengendalian Tembakau (AAKPT) mendorong adanya kebijakan terkait pengendalian iklan rokok di Indonesia. Pemerintah seharusnya menempatan produk tembakau dalam kelompok dampak negatif media sama seperti narkotika.
Hal ini menjadi pokok bahasan dalam webinar bertajuk Kebijakan Iklan, Promosi, Sponsor Rokok, dan Kontribusi Akademisi Komunikasi"
kemarin. Webinar sendiri dilaksanakan dalam rangka peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2021 yang digelar oleh AAKPT.
Ketua Prodi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin, Marhaeni Fajar
Kurniawati, Selasa (15/6) mengatakan sesuai Peraturan Pemerintah RI Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dalam Pasal 39 disebutkan setiap orang dilarang menyiarkan dan menggambarkan dalam bentuk gambar atau foto yang berhubungan dengan kegiatan komersial atau membuat orang ingin merokok.
"Berangkat dari itu maka pihak yang berwenang (pemerintah) hendaknya menempatan produk tembakau dalam kelompok dampak negatif media. Yaitu di tempat yang sama seperti narkotika karena sama-sama akan memberikan dampak buruk bagi masyarakat," tegas Marhaeni yang juga pengurus AAKPT.
Sementara itu Ketua AAKPT, Eni Maryani mengungkapkan saat ini perlu adanya sinergi dari berbagai kalangan untuk melakukan advokasi
kebijakan terkait pengendalian tembakau. "Juga dibutuhkan upaya pemberian edukasi kepada masyarakat terkait dengan kesadaran mereka dalam hal bahaya rokok terutama di kalangan remaja," ungkapnya.
baca juga: bahaya rokok
Hal ini perlu menjadi perhatian karena data fakta tembakau menyebutkan bahwa Indonesia merupakan pasar rokok tertinggi ketiga di
dunia, setelah Tiongkok dan India. Selain itu berdasarkan laporan WHO pada 2013 tercatat Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak memiliki kebijakan pelarangan iklan rokok di berbagai media.
Aliansi Akademisi Komunikasi untuk Pengendalian Tembakau beranggotakan para akademisi Komunikasi dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia yang peduli pada isu pengendalian tembakau. (N-1)
Pemerintah kembali menuai kritik tajam atas implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Pemerintah didorong melakukan reformasi menyeluruh terhadap struktur tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT).
SEJUMLAH pasal yang mengatur berbagai aspek terkait tembakau pada PP Nomor 28 Tahun 2024 menuai kritik. Aturan ini dinilai berdampak negatif terhadap industri dan petani dalam negeri,
Strategi ini dinilai mampu melengkapi kebijakan pengendalian tembakau dengan menawarkan alternatif yang lebih rendah risiko bagi perokok dewasa yang belum siap berhenti dari kebiasaannya.
Ia juga menyoroti pentingnya partisipasi publik yang bermakna dalam proses penyusunan regulasi.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 memicu kekhawatiran serius di kalangan legislatif dan pelaku ekonomi nasional.
tidak ada bukti yang mendukung secara jelas bahwa produk rokok bebas asap merupakan alternatif yang lebih baik, bahkan terhadap rokok konvensional.
Produk seperti rokok elektronik atau tembakau yang dipanaskan memiliki profil risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional.
Pelatihan ini dilaksanakan untuk menegakkan Keputusan Wali Kota Padang Nomor 560 Tahun 2024 tentang Satgas Pengawasan KTR.
Kemenkes mengimbau masyarakat untuk mulai berhenti kebiasaan merokok konvensional maupun elektrik, karena rokok dapat meningkatkan risiko penyakit tidak menular.
Penelitian terbaru dari University College London mengungkapkan setiap batang rokok dapat mengurangi harapan hidup sekitar 20 menit.
KETUA Centre for ASEAN Autism Studies (CAAS), Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR Hersinta mengungkapkan ada kelompok disabilitas yang sangat rentan terkena paparan rokok.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved