Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Guru Besar Udhayana: Jumlah Kasus Covid-19 belum Mengkhawatirkan

Arnoldus Dhae
22/5/2020 09:50
Guru Besar Udhayana: Jumlah Kasus Covid-19 belum Mengkhawatirkan
Petugas medis Rumah Sakit BIMC Siloam, Nusa Dua, mengambil sampel darah pengguna kendaraan saat tes cepat atau 'rapid test' COVID-19.(ANTARA/FIKRI YUSUF)

DOSEN Universitas Udayana Bali Prof. GN Mahardika mengatakan, Indonesia tidak perlu khawatir dengan lonjakan kasus atau data harian jumlah yang terkonfirmasi positif. Lonjakan kasus terkonfimasi Covid-19 harian yang mencapai 1.000 orang mestinya tidak membuat masyarakat cemas berlebihan. Kecendrungan kasus fatal yang meningkat yang mesti segera diintervensi. 

Walau lonjakan kasus mendekati 1.000 orang per hari itu namun secara virologi ini bukan masalah besar. 

"Jika kemampuan deteksi tinggi, kita bahkan bisa mengklaim keberhasilan pembatasan sosial. Kalau dibiarkan alami, per 20 Mei jumlahnya minimum 1,7 juta orang. Ini jika kita hitung dari 1 April. Saat itu (1April lalu) kasus terkonfirmasi 1677 kasus. Rentang waktu sejak saat itu sampai 20 Mei adalah 50 hari. Dengan masa inkubasi kita anggap rata-rata 5 hari, rentang waktu itu sudah terjadi 10 kali penularan baru," katanya di Denpasar, Bali, Jumat (22/5). 

"Basic reproduction number, yaitu kemampuan satu pasien menginfeksi sejumlah pasien baru, istilahnya R0, kita anggap saja hanya satu (1). Tanpa intervensi, per 20 Mei harusnya berjumlah  1,717,248 orang. Angka R0 kasus di luar negeri bahkan dianggap lebih besar dari tiga. Data resmi jumlah kasus terkonfirmasi saat kemarin adalah 20.162 orang," urainya.

Secara epidemiologi, Indonesia masih berstatus under-detected. Kemampuan negara dalam pengujian Covid-19 memang harus dibenahi segera. Berdasarkan data dari berbagai sumber, jumlah pengujian di Indonesia hanya 65 orang per satu juta penduduk. Jika dibandingkan dengan Jepang, misalnya, yang mempunyai rasio 509 per juta penduduk. Rasio Indonesia hanya 10% dari Jepang. 

"Jika angka ini dijadikan patokan, bahwa kita baru mendeteksi 10% dari kasus yang sebenarnya, jumlah kasus terkonfirmasi saat ini mestinya minimum 200.000 dan ternyata belum memenuhi angka tersebut," jelasnya.

Angka kasus terkonfimasi mestinya tidak membuat kita begitu cemas. Secara alami, virus Covid-19 diketahui tidak selalu menyebabkan kasus berat, apalagi sampai meninggal. Sebagian besar orang yang terpapar tidak menjadi sakit. Yang mengembangkan gejala klinispun lebih banyak klinis ringan.

Informasi dari WHO, 80% pasien yang sakit dapat sembuh tanpa pengobatan khusus. Data dari karantina kapal pesiar Diamond Princess di Jepang yang dimuat pada Journal Eurosurveillance bisa kita jadikan patokan. Persentase orang terpapar tapi tak terinfeksi sekitar 75%. Proporsi yang positif tanpa gejala adalah 8%, dan yang simptomatik adalah 17%. 

Data dari Wuhan, Tiongkok, menyebutkan pasien yang kritis hanya 5% dari yang mengeluh ringan sampai berat. Itu berarti 5% dari 17%. Itu hanya 0.85%. Di alam yang sebenarnya, bukan kapal pesiar, angkanya dapat jauh lebih kecil.

"Data kasus Covid-19 harian yang fatal yang mestinya membuat kita khawatir. Akar masalahnya harus segera diinvestigasi. Intervensi terbaik harus segera dilakukan," ujarnya.

Jumlah rata-rata setiap 10 hari (moving average 10/MA10) kasus dan fatalitas baru dapat kita lihat pada ilustrasi di bawah. MA10 ditampilkan untuk mengurangi 'kebisingan' data. Tren angka kasus harian memang meningkat. Ini sejalan dengan peningkatan kapasitas lab. Jumlah lab yang terlibat bahkan lebih dari 30. Beberapa lab dikabarkan sedang menggenjot kapasitas harian lab itu.

Baca juga: Kepariwisataan DIY Bersiap Menuju New Normal

Menurutnya, hal yang mengkhawatirkan ialah tren angka kasus fatal yang kembali mendekati puncak sekitar hari ke-50 sejak konfirmasi Covid-19 di Indonesia yang pertama. Ada kesulitan besar dalam mengidentifikasi berbagai faktor yang berkontribusi pada statistik itu. 

Penyebabnya bisa saja keterlambatan pelaporan atau letupan kasus satu bulan yang lalu. Data umur pasien yang sedang dalam perawatan intensif juga sulit diakses. Itu tantangan utama Indonesia saat ini.

Pemerintah mesti segera menyediakan kamar perawatan rumah sakit untuk kasus berat yang memadai. Indonesia dengan 280 juta penduduk, jumlah kamar rumah sakit dengan ventilator minimum 11.200 unit.

Untuk diketahui, Jerman konon punya 36.000 kamar seperti itu. Pasien berat dari negara lain bahkan sampai diterbangkan ke sana.

Setelah rumah sakit tersedia, pembatasan sosial dapat dilonggarkan dengan syarat warga bertingkah laku aman Covid-19 seperti memakai masker, membiasakan cuci tangan, menjaga jarak jika harus keluar rumah.

Tempat-tempat umum juga aman Covid-19. Meja restoran, misalnya, dikelilingi pelindung plastik. Sekolah menerapkan standar biosekuriti ketat. Pusat belanja membatasi jumlah pembeli. 

"Untuk wisata, kita mesti buat prosedur hotel aman covid. Kamar diisi berselang seling misalnya. Restauran dengan jarak kursi 1-2 meter. Banyak tempat cuci tangan tersedia. Kolam renang disarankan hanya maks 4 orang. Karpet dibasahi desinfektan. Kaporit saja

baik. Obyek wisata terbuka seperti pantai aman covid-19 jika tak terjadi kerumunan. Jarak antar wisatawan 2 meter, kecuali dengan anggota keluarga. Itu yang disebut "berdamai dengan Covid-19," ujarnya. (A-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani
Berita Lainnya