Mahasiswa Bisa Cegah Hoaks

Micom
01/3/2019 17:05
Mahasiswa Bisa Cegah Hoaks
(Ist)

PEMILIHAN Umum 2019 merupakan kontestasi yang luar biasa, yang bisa dinikmati bersama, tetapi fenomena yang ada hari ini justru banyak dicederai oleh oknum yang tidak mengikuti aturan, oknum yang melakukan penyimpangan besar-besaran, menyebarkan hoaks sebagai alat politik untuk pemenangan dan fitnah di mana-mana, sehingga masyarakat Indonesia yang hendak mengikuti pemilu menjadi bosan dan acuh, serta tidak percaya lagi dengan Pemilihan Presiden 2019.

Masyarakat menjadi kurang antusias. Pandangan ini disampaikan oleh Muhammad Iqbal Harafa, Presiden Presma Universitas Sumatera Utara (USU).

Menurutnya, hoaks sebenarnya sejak dulu sudah ada tapi uniknya ketika Pilpres 2019 seperti ada suatu kekuatan luar biasa yang membuat perkembangan hoaks luar biasa pada kali ini.

Kepentingan elite dan perkembangan teknologi informasi, baik itu media sosial internet maupun media massa dijadikan sebagai media pendukung untuk menyebarkan hoaks di masyarakat.

Untuk menghindari hoaks, sebenarnya kembali pada diri pribadi masing-masing karena jika di Kementerian BEM USU, justru berinisiatif membuat Satgas Anti-hoaks.

"Kami sebagai kalangan mahasiswa mencoba menjalankan tugas sebagai mahasiswa yang mempunyai fungsi terhadap masyarakat dan bangsa, kita sedang menyusun program kerja ke depan," ujar Iqbal di sela-sela kegiatan Musyawarah Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seluruh Indonesia di Yogyakarta, Jumat (1/3).

Dari satgas ini nantinya akan membuat jaringan komunikasi (jarkom) antarkampus, yang kegiatannya antara lain dengan mendiskusikan sebuah berita hoaks, misalnya isu perihal surat suara yang dicoblos akan dibahas dan ditelusuri kebenarannya.

Ia menambahkan bahwa lembaga-lembaga mahasiswa umumnya ingin turut ambil bagian dalam memerangi hoaks dengan cara masing-masing.

Karena itu juga bisa jadi ke depan Satgas Anti-hoaks BEM USU akan bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi maupun kepolisian.

"Kalau saja semua mahasiswa berkomitmen membuat program untuk memerangi hoaks yang merupakan bagian dari pesan untuk pemilu damai, tentu merupakan gerakan yang luar biasa dan menolong masyarakat dari pengaruh-pengaruh negatif akibat hoaks," ungkapnya.

Mahasiswa berharap penyelenggara pemilu (Komisi Pemilihan Umum), mampu menjadikan konsep Pemilu 2019 ini sebagai role model dunia yang baik dan bisa lebih dikembangkan.

Sebab, pemilu serentak yang diselenggarakan kali ini merupakan hal yang tidak biasa (luar biasa) jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.

Namun sayangnya, menurut Iqbal, KPU belum berimbang pada kontestasinya. KPU masih cenderung fokus pada penyelenggaraan pilpres, sehingga pemilu untuk para caleg masih belum mengenai substansi.

Pencalegkan baru sekadar jargon dan sekadar perang subtansi. Para caleg kurang menonjolkan program dan kualitasnya untuk diketahui publik. Jika pemilu 2019 ini berhasil maka akan menjadi kemajuan yang positif bagi bangsa Indonesia, namun bahayanya jika pemilu 2019 ini tidak mampu tergarap dengan baik oleh KPU maka akan menjadi buruk hasilnya  bagi Indonesia ke depan.

"Kalau dampaknya bagus, akan berdampak pada Indonesia ke depan, tapi kalau buruk maka Indonesia tidak akan baik-baik saja ke depan", ujar Iqbal.

Ia berharap masyarakat harus lebih cerdas, jangan terlalu terbawa dengan euforia politik.

 

Baca juga: Menko PMK: Kandungan Gizi Asupan Anak Harus Diperhatikan

 

"Jangan mau dipecah belah. Memilih wajib tapi jangan mau terprovokasi," ajak Iqbal yang yakin Pemilu 2019 akan berjalan damai.

Saat menyinggung golput, ia mengatakan bisa saja terulang angka golput lebih besar, sebab banyak golongan mahasiswa yang menyerukan golput lantaran mereka merasa bosan dengan debat capres/cawapres yang tidak ada perkembangan sejak 2014.

Dalam pandangan mahasiswa, menurutnya, debat capres kali ini hanya ada perang sensasi yang tidak menyentuh substansi penyelesaian masalah negeri ini.

Karena itu, pada tiga sisa debat capres ke depan, ia berharap agar lebih dibangun dari sisi keilmuannya, lebih kontruktif dan produktif, to the point, jangan hanya perang subjek dan perorangan.

Tapi lebih pada program dan visi misi kerja yang konkret untuk dicapai. Misalnya, 50% utang luar negeri Indonesia akan dikembalikan atau dalam 100 hari kerja perisahaan-perusahaan asing akan ditutup oleh Pemerintah. (RO/OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya