Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Guru Besar UGM: Prosedur Anestesi pada Anak-anak Lebih Berisiko, Dapat Sebabkan Kecacatan hingga Kematian

Ardi Teristi Hardi
09/2/2025 19:24
Guru Besar UGM: Prosedur Anestesi pada Anak-anak Lebih Berisiko, Dapat Sebabkan Kecacatan hingga Kematian
Ilustrasi(freepik.com)

GURU Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK)UGM, Prof. dr. Yunita Widyastuti, M.Kes., Ph.D., Sp.An-TI, Subsp.An.Ped (K) menyampaikan, dalam ilmu anestesi, prosedur yang digunakan dalam menangani pasien dewasa dan anak-anak tentu berbeda. Kondisi yang berbeda ini membuat prosedur anestesi anak-anak lebih beresiko komplikasi yang dapat menyebabkan kecacatan hingga kematian.

Ia menegaskan, perlu pendekatan khusus untuk prediksi risiko dan mitigasinya. "Saat ini di Indonesia belum ada alat prediksi terjadinya kejadian kritis perioperatif pada anak di Indonesia," kata dia saat pidato Guru Besar yang bertajuk “Prediksi Risiko Kejadian Kritis Berat Perioperatif Sebagai Upaya Meningkatkan Keselamatan Pasien Terkait Prosedur Anestesi pada Anak”, Kamis (6/2) di ruang Balai Senat Gedung Pusat UGM.

Kondisi Kritis Perioperatif merupakan komplikasi pernapasan, jantung, alergi, atau neurologi yang memerlukan intervensi segera yang apabila tidak segera ditangani dapat menyebabkan kecacatan atau kematian.

Yunita menyampaikan, topik ini sangat penting untuk diangkat agar nantinya dapat menjadi referensi prediksi kejadian kritis perioperatif pada anak dimasa mendatang,” ungkapnya.

Guru Besar Bidang Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif ini menyebutkan, sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi kejadian kritis berat perioperatif pada anak.  Pada anestesi umum, bayi baru lahir lebih berisiko mengalami kejadian kritis perioperatif dibandingkan kelompok usia lainnya karena anatomi neonatus masih dalam proses perkembangan. 

Mengacu pada penelitian berbasis data, menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki 25% risiko lebih tinggi untuk kejadian kritis kardiovaskuler dibandingkan laki-laki. “Faktor lain yang mempengaruhi adalah anomali kongenital yang mencakup berbagai kelainan struktur atau fungsi tubuh yang sudah ada sejak lahir dan berasal dari masa prenatal, kondisi pasien, dan jenis anestesi yang digunakan,” terangnya.

Akurasi skor prediksi kejadian kritis berat perioperatif berdasar sebuah tinjauan sistematis terbaru tentang alat penilaian risiko perioperatif dari 10 studi mendapatkan bahwa tingkat mortalitas dalam studi-studi ini berkisar antara 0,3% hingga 3,6%. 

Prediktor utama yang digunakan dalam model meliputi usia saat operasi, kebutuhan ventilasi mekanis dalam 48 jam sebelum operasi, dukungan oksigen, dukungan inotropik, sepsis, status kegawatdaruratan kasus, keberadaan perintah “do-not-resuscitate”, transfusi darah preoperatif, kanker, gangguan hematologi, status fisik, serta resusitasi kardiopulmoner sebelum operasi.

Penggunaan alat prediksi risiko kejadian kritis berat perioperatif memiliki peran sangat penting dalam meningkatkan hasil klinis pasca operasi pada pasien pediatrik. Saat ini perkembangan terbaru adalah penggunaan Artificial Intelligence (AI) untuk identifikasi risiko kejadian kritis berat perioperatif. 

"Beberapa studi menunjukkan manfaat pembelajaran mesin dalam memetakan faktor risiko komplikasi pascaoperasi," terang dia.

Menurut Yunita, penilaian risiko kejadian kritis harus dilakukan sebagai upaya meminimalisasi risiko kejadian tersebut. Sasaran utama dari upaya ini diprioritaskan untuk anak-anak usia lebih muda. 

“Di Indonesia perlu dibuat suatu alat prediksi terstandardisasi untuk memprediksi risiko terjadinya kejadian kritis perioperatif pada anak serta pedoman praktis klinis yang praktis yang sederhana dan mudah digunakan,” tutup dia. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya