Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
HELICOPTER parenting merupakan pola asuh yang menitikberatkan dan memantau secara ketat aktivitas anak. Orangtua yang menggunakan pola asuh helikopter biasanya mengambil kendali penuh dan campur tangan dalam setiap masalah anak.
Mari kita simak apa itu helicopter parenting, apa saja ciri-cirinya, penyebab, hingga dampaknya.
Helicopter parenting sering disebut sebagai bagian "over" dari pola asuh yang berlebihan. Hal ini melibatkan keterlibatan berlebihan dan kendali orangtua atas kehidupan anak-anak mereka.
Baca juga : Tanoto Foundation dan School of Parenting Lakukan Studi terkait Pola Pengasuhan
Dengan kata lain, pola asuh helikopter merupakan gaya pengasuhan yang terlalu protektif dimana orangtua secara terus-menerus berusaha terlibat dalam berbagai aspek kehidupan anaknya. Umumnya pola asuh seperti ini didasari rasa khawatir dan ketakutan orangtua yang berlebihan terhadap anaknya.
Pada dasarnya orangtua yang menggunakan pola asuh helikopter mempunyai tujuan yang baik untuk memastikan anaknya terhindar dari bahaya dan kegagalan. Namun akibat pengabaian privasi yang berlebihan, pola asuh helikopter justru dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak.
Dalam buku Mengenali Pribadi dan Potensi Anak yang ditulis Aam Nurhasana, helicopter parenting, pertama kali diperkenalkan psikolog Haim G Ginott pada 1969. Gaya pola asuh ini, orangtua menjadi terlalu protektif dan mengambil keputusan tanpa memberikan kesempatan pada anak untuk belajar dari pengalamannya.
Baca juga : Mindful Parenting Bentuk Anak yang Sukses dan Tangguh
Orangtua menjadi terlalu posesif terhadap anaknya karena merasa begitu disayangi. Orangtua tidak membiarkan anak mengeksplorasi kemandiriannya dan mengambil keputusan sendiri.
Orangtua dengan pola asuh helikopter cenderung mengambil keputusan untuk anaknya bahkan dalam situasi di mana anak seharusnya memiliki otonomi untuk mengambil keputusan sendiri.
Orangtua terlalu terlibat dalam kehidupan anak mereka. Sehingga orangtua tidak membiarkan anak menjelajahi kemandiriannya dan sering kali ikut campur untuk memecahkan masalah anak atau membuat keputusan.
Baca juga : Jangan Jauhkan Generasi Alfa dari Teknologi, Bekali dengan Literasi Digital
Pola asuh helikopter terjadi karena berbagai alasan.
Orangtua mungkin khawatir anaknya akan ditolak dalam segala hal. Terutama jika mereka merasa bisa berbuat lebih banyak dalam hal membantu. Selain itu, banyak akibat yang orangtua coba cegah, seperti ketidakbahagiaan, kesulitan, kurangnya jaminan hasil, dan lain sebagainya.
Kekhawatiran terhadap perekonomian, pasar kerja, dan dunia secara umum dapat menyebabkan orangtua mengambil kendali lebih besar atas kehidupan anak-anak mereka. Perasaan cemas menyebabkan orang tua menjadi mengontrol dan percaya bahwa mereka dapat mencegah anak mereka dari terluka atau kecewa.
Baca juga : Punya Waktu Berduaan Tetap Penting Lo Bagi Pasangan Suami Istri
Orang dewasa yang merasa ditinggalkan, tidak dicintai, atau diabaikan saat masih anak-anak mungkin akan memberikan kompensasi yang berlebihan kepada anak-anaknya. Perhatian dan pengawasan yang berlebihan mungkin berupaya memperbaiki kekurangan pendidikan orang tua dalam mendidik mereka.
Keterlibatan orangtua dalam kehidupan seorang anak bisa sangat bermanfaat, namun jika hal tersebut sesuai dengan perkembangannya.
Meskipun orangtua telah berupaya sebaik mungkin untuk membantu anak-anak mereka, orang tua dengan pola asuh helikopter dapat memberikan dampak negatif pada pertumbuhan kesejahteraan remaja. Oleh karena itu, agar anak bisa bertumbuh, mereka perlu mengalami kegagalan berkali-kali dan belajar dari pengalamannya.
Sayangnya, orangtua dengan pola asuh ini membatasi kemampuan anak untuk memanfaatkan peluang. Penelitian menunjukkan orang tua dengan pola asuh helikopter dapat menghambat perkembangan kognitif dan emosional anak.
Pola asuh helikopter tidak hanya memengaruhi kesehatan psikologis anak, tetapi juga perilaku sosialnya. Studi yang meneliti pengaruh tingginya tingkat keterlibatan orang tua terhadap perilaku psikososial menyimpulkan bahwa tingginya tingkat keterlibatan orang tua memengaruhi penyesuaian psikososial anak, terutama pada masa remaja. Hal ini tercermin dalam perilaku anak dan dikaitkan dengan masalah eksternalisasi.
Di satu sisi, peringatan ini bertentangan dengan semakin banyak literatur yang menunjukkan keterlibatan orangtua dapat mendorong perkembangan yang sehat.
Di lingkungan rumah di mana orangtua secara teratur terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka dan memberikan dukungan yang sesuai untuk perkembangan anak mereka, anak-anak cenderung berprestasi lebih baik secara akademis dan emosional serta memiliki hubungan yang lebih baik dengan teman sebayanya.
Secara khusus, tingginya tingkat dukungan ibu berhubungan dengan perilaku dan harapan remaja yang dapat diterima secara sosial. Selain itu, ketika disurvei, anak-anak yang orang tuanya menggunakan pola asuh helikopter memiliki sikap yang lebih positif terhadap mereka. Sehingga mereka menggambarkan diri mereka sebagai orang yang terlibat dan mendukung secara emosional, meskipun mereka merasa tidak diberi kebebasan yang cukup. (News Medical/Parents/Siloam hospital/Z-3)
Menurut sejumlah penelitian, musik bisa dikenalkan kepada anak dari usia di bawah enam tahun.
Menurut Director Learning Development JMAkademi, Coach A Ricky Suroso, orangtua perlu membekali anak-anaknya di usia golden untuk tangguh dalam karakter dan punya daya juang tinggi.
Konsumsi makanan dan minuman dengan kadar gula tinggi dapat menyebabkan kelebihan berat badan dan obesitas serta memicu diabetes dan gangguan kesehatan jantung.
FENOMENA masalah komunikasi antara orangtua dan anak sudah terjadi sejak lama, dan bukan menjadi hal yang asing lagi.
Membangun rutinitas yang konsisten mulai dari bangun tidur hingga kemandirian anak untuk mengurus dirinya sendiri sudah harus menjadi perhatian orangtua sebelum anak masuk sekolah.
Setiap anak memiliki potensi luar biasa dan peran orangtua sangat menentukan bagaimana potensi itu tumbuh.
Ketika anak mengalami kecemasan saat dijauhkan dari gawainya, itu menjadi salah satu gejala adiksi atau kecanduan.
Upaya untuk mewujudkan peningkatan kualitas anak, perempuan, dan remaja masih banyak menghadapi tantangan.
Pada anak usia dini—yang masih berada pada tahap praoperasional menurut teori Piaget—, konten absurd berisiko mengacaukan pemahaman terhadap realitas.
Musik bisa merangsang area otak seperti lobus temporal untuk pendengaran, lobus frontal untuk emosi, cerebellum untuk koneksi motorik.
Kriteria informasi yang layak bagi anak adalah informasi yang bersifat positif, mendukung tumbuh kembang anak, serta sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved