Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Pengamat: Konflik Thailand-Kamboja Ancam Stabilitas Kawasan, ASEAN tak Dihormati

Dhika Kusuma Winata
25/7/2025 21:38
Pengamat: Konflik Thailand-Kamboja Ancam Stabilitas Kawasan, ASEAN tak Dihormati
Cuplikan gambar dari rekaman video UGC yang diambil dan diposting di Facebook oleh Chatchak Ratsamikaeo pada 24 Juli 2025 menunjukkan asap mengepul dari atap sebuah toko serbaada yang menempel di SPBU di Provinsi Sisaket, Thailand, setelah terkena serangan(AFP)

PENGAMAT ASEAN, Dinna Prapto Raharja, menilai konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap stabilitas kawasan Asia Tenggara. Eskalasi patut diwaspadai meski saat ini konflik masih berada pada tahap awal.

Menurutnya, penyelesaian damai menemui kendala karena situasi politik domestik Thailand yang pelik. Di saat yang sama, posisi dan prinsip ASEAN seakan tak dihiraukan.

“Dampaknya menurut saya serius. Seberapa besar itu kita belum bisa lihat karena baru awal, tapi serius,” ujar Dinna yang juga pendiri Synergy Policies ketika dihubungi, Jumat (25/7).

Menurut Dinna, upaya penyelesaian konflik melalui jalur diplomatik terhambat oleh situasi politik dalam negeri Thailand yang tengah tidak menentu. Ia mengungkap dari pihak Kamboja, termasuk seorang jenderal yang dekat dengan lingkar kekuasaan mantan PM Hun Sen, merasa sulit membayangkan negosiasi dengan Thailand karena tidak jelas siapa yang memegang kendali di Negeri Gajah Putih.

Pasalnya, situasi di Thailand dilanda ketidakstabilan politik internal lantaran konflik antara perdana menteri dan pihak militer. Perdana Menteri Paetongtarn Shinawarta sebelumnya menghadapi mosi tidak percaya dan ditangguhkan setelah bocornya pembicaraan dengan Hun Sen yang memicu kemarahan militer. Kemudian muncul penjabat perdana menteri baru.

"Mereka (pihak Kamboja) melihat bahwa sangat sulit membayangkan ada negosiasi dengan Thailand. Karena di Thailand sedang tidak jelas siapa yang sebenarnya punya power untuk negosiasi,” jelasnya.

Dua Alasan

Dinna menambahkan situasi tersebut mengkhawatirkan setidaknya karena dua alasan utama. Pertama, pemberitaan media asing, khususnya dari Amerika Serikat, yang menggambarkan Thailand sebagai sekutu AS.

Menurutnya, narasi tersebut bertentangan dengan prinsip ASEAN dalam Treaty of Amity and Cooperation yang melarang keterikatan anggota dengan kekuatan eksternal.

“Ini sangat mencemaskan buat saya, karena dalam Treaty of Amity and Cooperation di ASEAN, sebenarnya jelas tidak ada satu negara pun di dalam ASEAN yang bisa menjadi sekutu dari negara lain,” tegasnya.

Alasan kedua ialah lemahnya peran ASEAN dalam merespons krisis ini. Ia menyinggung upaya Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim sebagai Ketua ASEAN yang mengusulkan gencatan senjata dan bahkan mengklaim kedua pihak setuju. Namun, tak lama setelah itu, bentrokan kembali pecah di perbatasan.

"Hanya hitungan jam dari Perdana Menteri Anwar Ibrahim sebagai Ketua ASEAN mengumumkan (terkait usulan) genjatan senjata, ternyata terjadi clash di perbatasan," ujar Dinna.

"Itu menunjukkan bahwa ASEAN tidak dihormati di dalam kawasannya sendiri,” imbuh Dinna.

Terkait potensi eskalasi, ia melihat situasi dapat berkembang menjadi lebih luas terutama karena rentannya politik internal Thailand yang menciptakan ruang bagi manuver militer atau elite politik tertentu untuk menunjukkan ketegasan.

"Kemungkinan eskalasi lebih luas itu masih memungkinkan dan sangat memprihatinkan. Karena memang di sisi Thailand itu pengambilan keputusannya bukan semata-mata digerakkan oleh satu pihak, tapi bisa didorong oleh upaya untuk membuktikan pemerintahan Thailand, siapapun itu entah tentara, entah perdana menteri sementara itu, ingin menunjukkan bahwa mereka bisa menjaga kedaulatan wilayah," tukasnya. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya