Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Perjalanan Ayatollah Ali Khamenei hingga Hadapi Perang Iran Vs Israel

Ferdian Ananda Majni
16/6/2025 20:55
Perjalanan Ayatollah Ali Khamenei hingga Hadapi Perang Iran Vs Israel
Ali Khamenei.(Dok Al-Jazeera)

PEMIMPIN Tertinggi Iran Ayatollah Ali Hosseini Khamenei tampil di hadapan publik untuk pertama kali dalam lima tahun pada Oktober lalu. Dalam khotbah Jumat di masjid, Teheran, ia menyampaikan pernyataan tajam mengenai konflik yang tengah memanas. 

"Israel tidak akan bertahan lama," katanya kepada puluhan ribu pendukung yang hadir seperti dilansir The Guardian, Senin (16/6). "Kita harus melawan musuh sambil memperkuat iman kita yang tak tergoyahkan," lanjut pemimpin berusia 84 tahun itu.

Pernyataan tersebut muncul hanya beberapa hari setelah serangan Israel yang menewaskan Hassan Nasrallah, pemimpin lama Hizbullah, dalam serangan udara di Beirut. Kematian Nasrallah, sekutu dekat Khamenei, menjadi pukulan pribadi bagi sang pemimpin spiritual yang telah mengenalnya selama puluhan tahun.

Serangan udara Israel ke wilayah Iran pada Jumat berikutnya memperdalam tekanan terhadap Teheran. Meski Iran membalas dengan rentetan rudal dan drone ke Tel Aviv, respons tersebut tidak cukup untuk menghentikan agresi Israel. 

Sistem pertahanan udara Iran tampak tidak efektif. Sementara jaringan milisi proksi yang selama ini dibina Khamenei secara sistematis melemah.

Kini, Khamenei menghadapi pilihan yang sangat terbatas, situasi yang sebisa mungkin ia hindari selama bertahun-tahun. Sebagai seorang pemimpin yang dikenal berhati-hati, konservatif, tetapi juga pragmatis dan kejam, ia kini dihadapkan pada tantangan eksistensial terbesar selama masa kepemimpinannya.

Rekam jejak

Lahir di kota suci Mashhad dari keluarga ulama sederhana, Khamenei mulai terlibat dalam gerakan radikal pada awal 1960-an. Saat itu, Shah Mohammad Reza Pahlavi meluncurkan program reformasi yang banyak ditentang oleh para ulama konservatif. 

Sebagai mahasiswa di Qom, ia dipengaruhi oleh ide-ide Ayatollah Ruhollah Khomeini, pemimpin oposisi yang akhirnya menjadi tokoh Revolusi Islam. Di akhir dekade tersebut, Khamenei menjalankan misi rahasia untuk Khomeini yang kala itu telah diasingkan. Ia juga mengorganisasi jaringan aktivis Islam dan terlibat dalam menyebarkan ide-ide revolusioner.

Khamenei dikenal memiliki ketertarikan pada sastra Barat seperti karya Leo Tolstoy, Victor Hugo, dan John Steinbeck. Namun ia juga menyerap pemikiran antikolonial, menerjemahkan karya Sayyid Qutb ke dalam bahasa Persia, serta mempelajari teori-teori yang menggabungkan Marxisme dan Islamisme, cerminan dari pemikirannya yang kompleks dan ideologis.

Ketika Khomeini wafat pada 1989, Khamenei ditunjuk sebagai penggantinya setelah konstitusi diubah agar ia, yang memiliki jenjang ulama lebih rendah, bisa menjabat. 

Dia segera memanfaatkan kekuasaan barunya untuk mengonsolidasikan kendali atas institusi negara dan memperkuat hubungan dengan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), kekuatan militer dan politik utama rezim.

Pada 1990-an, Khamenei semakin memperkuat cengkeramannya. Ia menyingkirkan lawan, memberi ganjaran pada yang setia, dan memperluas pengaruh Iran melalui Hizbullah dan kelompok-kelompok militan di luar negeri. Bahkan, penyair yang dahulu ia kagumi pun tak luput dari pengawasan aparat keamanan.

Setan kecil dan setan besar

Saat Presiden reformis Mohammad Khatami menang pemilu 1997, Khamenei memberinya ruang, tetapi tetap menjaga kekuasaan absolut atas aspek inti negara. 

Dia tidak menghalangi Khatami menjalin kontak dengan Washington pascaserangan 11 September 2001. Namun ia tetap mengikuti jejak Khomeini dalam menolak senjata pemusnah massal.

Meski demikian, ia mendukung strategi IRGC di Irak pascainvasi AS pada 2003 dan memperluas jaringan proksi untuk menekan pengaruh Israel dan AS. Para revolusioner Iran menyebut kedua negara sebagai Setan Kecil dan Setan Besar.

Khamenei menunjukkan keraguan terhadap kesepakatan nuklir 2015, tetapi tidak menentangnya secara terbuka. Hingga kini, para analis masih memperdebatkan apakah ia mendukung ambisi senjata nuklir atau justru mencoba mengekangnya.

Di dalam negeri, gelombang protes dan seruan reformasi dibalas dengan represi brutal. Kaum perempuan, kelompok LGBTQ, dan minoritas agama terus mengalami diskriminasi, sementara kondisi ekonomi memburuk, memperluas ketidakpuasan publik.

Poros perlawanan

Di level internasional, Khamenei menginvestasikan sumber daya besar dalam poros perlawanan yaitu mendukung Hamas di Gaza, Hizbullah di Libanon, Houthi di Yaman, dan milisi di Suriah serta Irak. 

Strategi ini tampak efektif dalam waktu lama, tetapi kini mulai runtuh, terutama setelah serangan Israel dan kejatuhan rezim Bashar al-Assad pada Desember lalu yang mengakhiri aliansi strategis Teheran-Damaskus.

Meski mengedepankan citra kesederhanaan, tinggal bersama istri dan anak-anaknya di kompleks di Jalan Palestine, Teheran, sebagian publik mempertanyakan keotentikan gaya hidup asketiknya. Namun, reputasi hidup sederhana ini tetap menjadi tameng dari gelombang kemarahan rakyat terhadap korupsi elite.

Selama lebih dari 30 tahun, Khamenei berusaha menyeimbangkan kekuatan di Iran, menghindari perang langsung, dan mempertahankan warisan Khomeini serta kelangsungan kekuasaan para loyalisnya. 

Kini, saat kesehatannya mulai menurun dan spekulasi tentang suksesi makin ramai, masa depannya--dan masa depan Republik Islam Iran--berada di ujung tanduk.

Karier politik panjangnya tampaknya akan berakhir di tengah krisis terbesar yang pernah ia hadapi. Tindakan penyeimbangan brutal yang selama ini dijalankannya bisa segera mencapai titik akhir. (I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya