Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Generasi Muda Jepang Ubah Tradisi Valentine: Giri Choco Ditinggalkan, Hadiah Lebih Personal

Thalatie K Yani
14/2/2025 12:12
Generasi Muda Jepang Ubah Tradisi Valentine: Giri Choco Ditinggalkan, Hadiah Lebih Personal
Hari Valentine di Jepang mengalami perubahan signifikan, dengan semakin banyak perempuan meninggalkan tradisi giri choco—pemberian cokelat wajib kepada rekan kerja pria.(freepik)

BEBERAPA tahun terakhir perempuan Jepang tunjukan ketidaksenangannya akan tradisi memberikan cokelat kepada rekan kerja pria pada Hari Valentine. Kini, anak muda di negara itu kembali menantang satu lagi kebiasaan lama yang berkaitan dengan perayaan komersial pada hari Jumat tersebut: pemberian hadiah sepihak.  

Secara tradisional, perempuan diharapkan membeli cokelat berbungkus cantik untuk pria dalam lingkungan kerja mereka, biasanya atasan atau kolega yang mereka rasa berhutang budi kepadanya—tradisi ini disebut giri choco, yang secara harfiah berarti "cokelat kewajiban".  

Namun, era giri choco tampaknya benar-benar sudah berakhir. Hanya 12,5% orang yang mengatakan mereka berencana memberikan cokelat kepada rekan kerja pada Hari Valentine menurut survei dari Nippon Life Insurance. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan hampir seperempat responden tahun 2020, saat pandemi covid-19 mulai menyebar ke seluruh dunia. Lebih dari 70% responden mengatakan mereka menganggap kebiasaan ini "tidak perlu".  

Fenomena menarik lainnya juga muncul tahun ini, yaitu semakin banyak remaja laki-laki yang melihat Hari Valentine sebagai kesempatan untuk membalas hadiah lebih awal, alih-alih menunggu White Day pada 14 Maret, saat pria biasanya diharapkan membalas pemberian.  

Sebuah survei yang dilaporkan majalah Weekly Playboy menemukan hampir sepertiga siswi SMP dan SMA telah menerima hadiah Valentine dari anak laki-laki dalam beberapa tahun terakhir.  

"Remaja masa kini dan orang-orang berusia 20-an cenderung tidak terikat pada stereotip gender atau 'supremasi romantis', sehingga Hari Valentine bukan lagi sekadar hari bagi perempuan untuk mengungkapkan perasaan kepada pria," ujar Hikari Asahina, presiden seamint, perusahaan riset pasar yang berfokus pada Gen Z, kepada majalah tersebut.  

Harga biji kakao yang melonjak akibat panen buruk di Pantai Gading dan Ghana juga mengurangi antusiasme untuk memberikan cokelat dalam jumlah banyak, terutama kepada orang-orang yang bukan menjadi sasaran utama perhatian si pemberi.  

Menurut perusahaan riset pasar Intage, harga rata-rata cokelat batangan telah meningkat dari ¥100 (sekitar Rp10.500) sebelum pajak pada 2022 menjadi ¥150 (sekitar Rp15.700) saat ini. "Dengan terus meningkatnya harga, kami memperkirakan orang-orang tahun ini akan lebih selektif dalam pengeluaran mereka, misalnya dengan mengurangi jumlah giri choco yang mereka beli," kata perusahaan itu.  

Survei terpisah menemukan bahwa rata-rata konsumen menghabiskan ¥3.818 (sekitar Rp400 ribu) untuk hadiah Valentine tahun ini, turun dari ¥4.008 tahun lalu.  

Harian Mainichi Shimbun melaporkan supermarket kini menggantikan toko-toko di pusat perbelanjaan sebagai tempat utama untuk membeli cokelat Valentine yang lebih terjangkau.  

Dalam jajak pendapat yang dilakukan Nippon Information, 31% perempuan mengatakan mereka akan membeli cokelat dari supermarket, diikuti department store sebesar 29%, sementara 21% lainnya lebih memilih membuat cokelat sendiri.  

"Ini hanya teori, tetapi mengingat harga bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari yang terus meningkat, tampaknya permintaan terhadap cokelat di supermarket lebih tinggi karena harganya lebih murah dibandingkan di department store," ujar juru bicara Nippon Information kepada Mainichi Shimbun.  

Tradisi memberi cokelat sebagai hadiah Hari Valentine mulai berkembang secara komersial di Jepang pada tahun 1958, ketika sebuah perusahaan permen mengadakan kampanye penjualan khusus di sebuah department store di Tokyo. Pada 2019, pasar Valentine di Jepang bernilai ¥126 miliar (sekitar Rp13,2 triliun) sebelum mengalami sedikit penurunan akibat pandemi.  

Tekanan untuk tidak menyinggung perasaan rekan kerja dengan menghabiskan ribuan yen untuk cokelat telah mendorong beberapa perusahaan melarang praktik ini dalam beberapa tahun terakhir, seiring meningkatnya kesadaran akan pelecehan di tempat kerja.  

Sebagai gantinya, lebih banyak perempuan kini membeli cokelat untuk diri sendiri—dikenal sebagai jibun choco—atau menghabiskan uang untuk oshi-choko: cokelat yang disertai foto dan merchandise dari oshi (idola atau karakter favorit mereka) yang kemudian mereka unggah ke media sosial. (The Guardian/Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya