Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Israel-Hizbullah Perang Terbuka, Negara-Negara Besar Desak Tahan Diri

Ferdian Ananda Majni
23/9/2024 14:00
Israel-Hizbullah Perang Terbuka, Negara-Negara Besar Desak Tahan Diri
Kondisi di Libanon usai ledakan penyeranta.(Dok Al-Jazeera)

HIZBULLAH memasuki pertempuran terbuka dengan Israel setelah melancarkan serangkaian serangan roket di bagian utara negara tersebut. Sementara negara-negara besar meminta kedua belah pihak untuk mundur dan menahan diri dari ambang perang habis-habisan.

Dalam eskalasi konflik yang signifikan, pesawat-pesawat tempur Israel melakukan pengeboman paling hebat dalam hampir satu tahun di Libanon selatan. Hizbullah membalas dengan serangan roket terdalam ke Israel sejak dimulainya perang Gaza.

Wakil sekretaris jenderal Hizbullah, Naim Qassem, mengatakan bahwa pertempuran secara terbuka telah dimulai. "Ancaman tidak akan menghentikan kami," katanya. "Kami siap menghadapi semua kemungkinan militer," sebutnya.

Baca juga : Perang Terbuka Hizbullah-Israel Meletus

Pesawat-pesawat tempur Israel menggempur desa-desa perbatasan dan lebih dari 100.000 penduduk melarikan diri ke utara. Para politisi di Beirut menyerukan deeskalasi untuk menghindari perang. Pihak berwenang setempat melaporkan empat orang telah tewas dan sembilan lain terluka pada akhir pekan kemarin. 

Namun Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, juga sangat keras dalam retorikanya. "Dalam beberapa hari terakhir, kami telah melancarkan serangkaian pukulan yang tidak dapat dibayangkan oleh Hizbullah. Jika Hizbullah tidak memahami pesannya, saya berjanji mereka akan memahami pesannya," katanya.

"Tidak ada negara yang bisa menoleransi penembakan terhadap warganya, penembakan terhadap kota-kotanya, dan kami, negara Israel, juga tidak akan menoleransinya. Kami akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk memulihkan keamanan," ujarnya.

Baca juga : Eskalasi Meningkat, Jerman Desak Solusi Hizbullah-Israel

Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan pada Minggu (23/9) pagi bahwa ratusan roket telah ditembakkan ke Israel dari Libanon, beberapa di antaranya mendarat di dekat kota Haifa di utara. "Roket telah ditembakkan ke wilayah sipil dan menunjukkan kemungkinan peningkatan setelah serangan sebelumnya terutama ditujukan pada sasaran militer. Enam orang terluka," lapor IDF.

Koordinator khusus PBB untuk Libanon, Jeanine Hennis-Plasschaert, mengatakan kawasan ini berada di ambang bencana. "Hal ini tidak dapat dilebih-lebihkan. Tidak ada solusi militer yang akan membuat kedua belah pihak lebih aman," tulisnya di X.

Kementerian Kesehatan Israel meminta layanan rumah sakit di Israel utara untuk memindahkan operasi mereka ke fasilitas dengan perlindungan ekstra dari tembakan roket dan rudal. "Rumah Sakit Rambam di Haifa akan memindahkan pasien ke fasilitas bawah tanah yang aman," kata kementerian itu.

Baca juga : Sepak Terjang Hizbullah terkait Israel, Syiah-Suni, dan Pemerintahan Libanon

Dr Noam Yehudai dari Tzafon Medical Center mengatakan staf mereka sedang mempersiapkan area perlindungan untuk menerima pasien. "Kami memulangkan pasien yang kondisi medisnya memungkinkan untuk pulang dengan aman ke rumah mereka, membatalkan semua operasi elektif hingga pemberitahuan lebih lanjut, sementara operasi darurat dan onkologis tetap berjalan sesuai jadwal," katanya.

Di Libanon, serangan yang berlangsung selama seminggu tanpa henti membuat konflik ini tidak mungkin diabaikan. Tiga anak-anak dan tujuh wanita termasuk di antara mereka yang tewas akibat serangan Israel di Beirut pada Jumat yang menargetkan pemimpin tertinggi Hizbullah Ibrahim Aqil.

Pembunuhannya menyusul gelombang serangan pada awal pekan ini saat walkie-talkie dan pager yang biasa digunakan oleh anggota Hizbullah meledak, menewaskan 42 orang dan melukai lebih dari 3.000 orang. Israel diduga berada di balik operasi tersebut, meski belum secara resmi mengaku bertanggung jawab.

Baca juga : Hizbullah Laporkan 501 Korban Tewas akibat Serangan Israel sejak 8 Oktober

Serangan yang tiba-tiba dan brutal ini menghancurkan rasa aman yang dirasakan masyarakat Libanon. "Ini pertama kali saya merasa ada perang di sekitar kita dan kita tidak lagi aman. Kami tidak tahu di mana serangan Israel berikutnya akan terjadi. Saya menghindari pertemuan atau area yang tidak diketahui," kata Amal Cherif, seorang aktivis berusia 52 tahun dan penduduk di pusat kota Beirut.

Pertempuran antara IDF dan militan Hizbullah terjadi bersamaan dengan konflik yang tak henti-hentinya antara Israel dan Hamas di Gaza. Tujuh orang tewas pada Minggu ketika serangan udara Israel menghantam sekolah di bagian barat Kota Gaza yang menampung ratusan pengungsi.

Otoritas kesehatan setempat melaporkan sebelas bulan setelah perang, jumlah korban tewas di kalangan warga Palestina telah melampaui 41.000 orang. Sebagian besar korban tewas adalah warga sipil dan jumlahnya mencapai hampir 2% dari populasi Gaza sebelum perang, atau satu dari 50 orang.

Konflik ini dipicu oleh serangan Hamas pada 7 Oktober terhadap Israel, yang menewaskan 1.200 orang dan sekitar 250 orang disandera. Kekuatan dunia pada akhir pekan menyerukan gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah.

Juru bicara keamanan nasional Gedung Putih, John Kirby, mengatakan meningkatnya konflik bukanlah kepentingan dan keputusan terbaik bagi Israel. Washington mengatakan hal ini langsung kepada sekutunya Israel dan percaya akan ada waktu dan ruang untuk solusi diplomatik yang sedang diupayakan.

UE menyerukan gencatan senjata yang mendesak dan memperbarui upaya mediasi diplomatik yang intens. Pesan yang sama juga disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, yang mencatat eskalasi yang mengkhawatirkan di timur tengah.

Saat berbicara pada konferensi tahunan Partai Buruh, Lammy mengatakan gencatan senjata akan memfasilitasi penyelesaian politik, sehingga warga sipil Israel dan Libanon dapat kembali ke rumah mereka dan hidup dalam damai dan aman. Peristiwa tersebut mendorong Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, untuk memperingatkan risiko mengubah wilayah Libanon menjadi seperti Gaza.

Guterres menegaskan bahwa bahasa yang digunakan kedua belah pihak menunjukkan kurangnya keinginan untuk mengeksplorasi perdamaian. "Bagi saya jelas bahwa kedua belah pihak tidak tertarik pada gencatan senjata. Dan itu tragedi, karena ini perang yang harus dihentikan," pungkasnya. (The Guardian/Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya