Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Akademisi Ingatkan Konflik Israel-Palestina Harus Diantisipasi

Media Indonesia
20/10/2023 21:00
Akademisi Ingatkan Konflik Israel-Palestina Harus Diantisipasi
Seorang perempuan pengunjuk rasa mendukung perjuangan bangsa Palestina lepas dari penjajahan Israel di Tunis, Tunisia, Jumat (20/10).(AFP/FETHI BELAID)

PENGAJAR Kajian Terorisme pada Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Mulawarman Hanase, mengingatkan bahwa konflik Palestina-Israel harus diantisipasi dari kelompok teror yang ingin menunggangi momentum tersebut.
  
"Para kelompok teror di seluruh dunia itu bisa diibaratkan sebagai rumput yang sebelumnya terkena musim kemarau dan kondisinya menjadi kering. Ketika memanasnya kembali perang Palestina-Israel ini, seakan-akan mereka adalah rumput kering yang tiba-tiba saja mendapatkan air yang banyak," kata dia seperti dikutip Antara di Jakarta, Jumat (20/10).
  
Hal yang dikhawatirkan banyak negara, kata Mulawarman, adalah dampak konflik yang sangat mungkin meluas dan ditunggangi oleh banyak kepentingan, termasuk kepentingan kelompok teror.

Untuk itu, dia mengingatkan jangan sampai konflik Palestina-Israel justru menjadi pekerjaan besar bagi Indonesia dan negara-negara di Timur Tengah untuk meredam munculnya aksi-aksi kekerasan lainnya.
  
"Mungkin pada awalnya adalah dalam konteks Palestina-Israel, tapi kemudian beralih pada konteks lain, seperti menyemangati warga sipil untuk ikut melakukan aksi-aksi teror, baik di wilayah Timur Tengah maupun di Indonesia," kata dia.
  
Menurut akademisi yang pernah melakukan penelitian di Gaza ini, bentrokan yang terjadi saat ini merupakan buah dari rentetan peristiwa yang sebelumnya terjadi, setidaknya lima tahun terakhir, sehingga memicu kemarahan dari kedua belah pihak.
  
"Banyak sekali peristiwa penting yang bisa menjadi latar belakang konflik saat ini. Beberapa faktor pemicu peperangan ini sebenarnya merupakan ekses (dampak berlebih) dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, lalu meletuslah peperangan secara besar-besaran," paparnya.
  
Lebih lanjut, Mulawarman menjelaskan ada beberapa faktor yang menjadi penyebab konflik Palestina-Israel kembali memanas. Salah satunya, solusi pendirian dua negara (two-state solution) yang digagas Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
  
Solusi itu, kata dia, dianggap jauh dari sikap netral karena sangat menguntungkan Israel. Pasalnya, salah satu ketentuan dari solusi tersebut adalah pemindahan Kota Yerusalem dalam wilayah Israel, yang ditandai dengan pemindahan gedung kedutaan besar Amerika Serikat ke Jerusalem.


Baca juga: Hubungan India-Kanada Semakin Panas, Ottawa Tarik 41 Diplomatnya


"Dulu ketika rencana ini disampaikan ke publik, hal ini memicu reaksi perlawanan yang luar biasa, baik melalui kritik maupun aksi-aksi kekerasan yang terjadi di Palestina, khususnya di Jalur Gaza," katanya.
  
Faktor lain, sambung Mulawarman, adalah adanya momentum normalisasi negara-negara anggota Liga Arab dengan Israel sekitar 2020.
  
Dia menjelaskan bahwa Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko adalah beberapa contoh negara yang melakukan proses normalisasi diplomasi tersebut. Menurutnya, hal ini berpengaruh terhadap konstelasi politik internal di Palestina.
  
"Dalam paradigma masyarakat Palestina, khususnya di Gaza saat ini, mereka yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel berarti tidak mendukung Palestina. Walaupun negara-negara Arab ini juga memiliki pandangan yang berbeda. Liga Arab sendiri seolah juga memiliki pergeseran paradigma bahwa menjalin hubungan diplomasi dengan Israel, bukan berarti tidak mendukung Palestina," kata Mulawarman.
  
Di sisi lain, Mulawarman menjelaskan bahwa ada dua kekuatan besar yang menentukan arah politik dan perjuangan di Palestina, yakni Fatah dan Hamas. 
  
"Hamas merupakan perwakilan mayoritas suara di Palestina, namun ia bukanlah representatif otoritas pemerintahan Palestina. Walaupun memegang mayoritas suara, Hamas tetap menjadi oposisi," katanya.
  
Mulawarman menjelaskan Hamas menjadi oposisi karena pada 2007, terjadi konflik internal di Palestina antara Fatah dan Hamas. Fatah tidak menerima ketika Hamas menang pemilu, sebab menilai Hamas tidak bisa merepresentasikan proses perdamaian Palestina.
  
Fatah, ucap Mulawarman, mengambil sikap bahwa proses perdamaian yang dicapai melalui peperangan, seperti yang Hamas lakukan, sudah tidak efektif lagi untuk mencari solusi perdamaian.
  
"Makanya Presiden Palestina itu sampai saat ini adalah Mahmoud Abbas yang berasal faksi Fatah. Ia menjalankan pemerintahannya di Ramallah, Tepi Barat (West Bank), tetapi Hamas juga memiliki pemerintahannya sendiri di Gaza," imbuh Mulawarman yang juga merupakan Dosen Filsafat Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Quran Jakarta itu. (Ant/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya