Headline
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
PAPARAN partikel plastik atau mikroplastik sudah merambah hampir semua unsur di bumi. Para peneliti Jepang telah mengonfirmasi temuan mikroplastik yang terkandung di awan.
Temuan ini kemungkinan besar mempengaruhi kondisi iklim dengan dampak yang belum sepenuhnya dipahami.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Environmental Chemistry Letters, para ilmuwan Jepang mendaki Gunung Fuji dan Gunung Oyama untuk mengambil air dari kabut yang menyelimuti puncak gunung. Kemudian menerapkan teknik pencitraan canggih pada sampel untuk menentukan sifat fisik dan kimianya.
Baca juga: Negara G20 Satukan Komitmen untuk Isu Lingkungan dan Perubahahn Ikim
Tim peneliti mengidentifikasi sembilan jenis polimer dan satu jenis karet dalam mikroplastik di udara. Ukurannya berkisar antara 7,1 hingga 94,6 mikrometer.
Setiap liter (0,26 galon) air awan yang diuji mengandung antara 6,7 hingga 13,9 keping plastik.
Baca juga: Duh, Mikroplastik Ternyata juga Mencemari Awan
"Jika masalah 'polusi udara plastik' tidak ditangani secara proaktif, perubahan iklim dan risiko ekologis dapat menjadi kenyataan, menyebabkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan dan serius di masa depan," kata penulis utama Hiroshi Okochi dari Universitas Waseda.
Para peneliti menduga partikel mikroplastik tersebut mungkin masuk dalam awan ketika proses pembentukan awan melalui air laut.
"Ketika mikroplastik mencapai atmosfer bagian atas dan terpapar radiasi ultraviolet dari sinar matahari, mikroplastik akan terurai dan berkontribusi terhadap gas rumah kaca,” ujar Okochi.
Mikroplastik telah ditemukan di dalam ikan, dalam es laut Kutub Utara, dan dalam salju di pegunungan Pyrenees yang berada di antara Prancis dan Spanyol.
Namun, mekanisme pengangkutannya ke berbagai lokasi masih belum jelas dan penelitian tentang pengangkutan mikroplastik dari udara masih terbatas.
"Sejauh pengetahuan kami, ini adalah laporan pertama tentang mikroplastik yang terbawa udara di air awan," tulis para penulis dalam makalah tersebut.
Universitas Waseda meyampaikan dalam sebuah pernyataan Rabu (27/9), penelitian itu menunjukkan bahwa mikroplastik tertelan atau terhirup oleh manusia dan hewan dan telah terdeteksi di berbagai organ seperti paru-paru, jantung, darah, plasenta dan kotoran.
"Sepuluh juta ton potongan plastik ini berakhir di lautan, dilepaskan dengan semprotan laut, dan menemukan jalan mereka ke atmosfer. Hal ini menyiratkan bahwa mikroplastik mungkin telah menjadi komponen penting dari awan, mencemari hampir semua yang kita makan dan minum melalui 'hujan plastik'," kata pihak universitas saat mengumumkan temuan penelitian baru tersebut.
Bukti yang dipaparkan telah mengaitkan mikroplastik dengan berbagai efek pada kesehatan jantung, paru-paru, dan kanker. Hingga kerusakan lingkungan yang meluas. (aljazeera/Z-10)
Ledakan di pabrik US Steel Clairton, Pennsylvania, mengakibatkan satu orang tewas, 10 orang terluka, dan 1 pekerja masih dinyatakan hilang.
Penghijauan merupakan komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat
Program ini tidak hanya berfokus pada edukasi publik, tetapi juga memfasilitasi jembatan langsung antara masyarakat dan ruang-ruang pengambilan kebijakan.
Polusi udara yang semakin memburuk di Jakarta, menjadi salah satu penyebab meningkatnya kasus radang tenggorokan di masyarakat.
Partikel PM2.5 dan PM10 yang dapat menyebabkan infeksi pernapasan, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), mengi, asma sampai kematian berlebih termasuk sakit jantung.
Polusi udara berisiko menyebabkan asma, ISPA, penyakit kardiovaskular, penyakit paru sampai dengan resisten insulin pada kelompok usia muda seperti anak-anak dan remaja.
Dengan cara mengurangi emisi gas rumah kaca, beradaptasi perubahan iklim, dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Perubahan iklim ditandai dengan naiknya suhu rata-rata, pola hujan tidak menentu, serta kelembaban tinggi memicu ledakan populasi hama seperti Helopeltis spp (serangga penghisap/kepik)
PEMERINTAH Indonesia menegaskan komitmennya dalam mempercepat mitigasi perubahan iklim melalui dukungan pendanaan dari Green Climate Fund (GCF).
Indonesia, dengan proposal bertajuk REDD+ Results-Based Payment (RBP) untuk Periode 2014-2016 telah menerima dana dari Green Climate Fund (GCF) sebesar US$103,8 juta.
Periset Pusat Riset Hortikultura BRIN Fahminuddin Agus menyatakan lahan gambut merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar, terutama jika tidak dikelola dengan baik.
Studi Nature ungkap pemanasan global tingkatkan fotosintesis darat, tapi lemahkan produktivitas laut. Hal itu berdampak pada iklim dan rantai makanan global.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved