PRESIDEN Filipina Rodrigo Duterte mengatakan tidak akan pernah meminta maaf atas kematian para terduga pengguna dan pengedar narkoba yang terbunuh dalam operasi polisi terkait perang melawan narkoba.
Berdasarkan data pemerintah, lebih dari 6.200 orang tewas dalam operasi antinarkotika sejak Duterte menjabat sebagai Presiden pada Juni 2016 hingga November 2021.
"Saya tidak akan pernah, tidak pernah meminta maaf atas kematian itu," cetus Duterte dalam pidato nasional mingguannya, pada Selasa (4/12).
"Bunuh saya, penjarakan saya, saya tidak akan pernah meminta maaf," lanjutnya.
Kelompok hak asasi dan kritikus mengatakan para penegak hukum mengeksekusi para terduga kasus narkoba. Namun, polisi mengatakan mereka yang terbunuh itu bersenjata dan menolak ditangkap.
Duterte, dalam pidato nasional pertamanya tahun ini, bersumpah untuk melindungi penegak hukum yang melakukan tugas mereka, sambil meminta mereka untuk melawan ketika dalam bahaya.
Politikus 76 tahun itu memenangkan Pemilu Presiden 2016 dengan selisih suara yang lebar lewat kampanye anti-korupsi, hukum, dan ketertiban.
Dia tak bisa mencalonkan diri kembali pada Pilpres berikutnya lantaran pembatasan konstitusi. Para analis mengatakan sekutu yang terpilih dapat melindungi Duterte dari proses hukum apa pun terhadap perang anti-narkotikanya.
Hakim di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) pada September menyetujui penyelidikan formal terhadap perang Duterte terhadap narkoba itu.
ICC menangguhkan penyelidikan pada November menyusul permintaan Filipina, yang mengutip penyelidikannya sendiri.
Duterte secara sepihak membatalkan keanggotaan ICC Filipina pada Maret 2018, sebulan setelah jaksa mengatakan pemeriksaan pendahuluan atas perang narkoba sedang berlangsung. (Straits Times/Nur/OL-09)