UNI Eropa, Senin (21/6), menambahkan delapan pejabat dari junta Myanmar dan tiga perusahaan yang terkait dengan militer ke dalam daftar hitam sanksi terkait kudeta, Februari lalu, di negara itu dan penindasan berdarah terhadap aksi protes.
Mereka yang ditargetkan dengan pembekuan aset dan larangan visa termasuk menteri dalam negeri, menteri keamanan, menteri keuangan, menteri sumber daya alam, dan menteri transportasi, menurut daftar yang diterbitkan dalam jurnal resmi UE.
Blok dari 27 negara itu menempatkan perusahaan permata dan kayu yang dikelola negara dalam daftar tersebut karena mereka ingin memotong pendapatan utama ke junta.
Baca juga: Myanmar Laporkan Kasus Covid-19 Tertinggi Sejak Kudeta
Blok tersebut juga menambahkan Organisasi Veteran Perang Myanmar, yang bertindak sebagai pasukan cadangan untuk militer, ke dalam daftar hitam.
Penambahan terbaru itu membuat jumlah individu dan entitas yang dikenai sanksi oleh UE menjadi 35 orang sejak putaran pertama tindakan hukuman blok itu yang disepakati, Maret lalu.
Amerika Serikat (AS) dan Inggris juga menargetkan pejabat penting dan perusahaan di negara itu, tetapi sejauh ini junta mengabaikan tekanan Barat tersebut.
Pada Senin (21/6), London juga mengumumkan sanksi terhadap perusahaan yang sama serta Dewan Administrasi Negara.
"Militer terus melakukan subversi demokrasi dan pembunuhan brutal terhadap warga sipil," kata Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab.
"Kami akan terus meminta pertanggungjawaban junta dan memberikan sanksi kepada mereka yang bertanggung jawab, sampai demokrasi dipulihkan," lanjutnya.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dan pemerintah Liga Nasional untuk Demokrasi.
Kelompok kampanye menyambut baik sanksi terbaru UE dan Inggris. Direktur Eksekutif Kampanye Burma Inggris Anna Roberts mengatakan itu adalah cara untuk menjaga tekanan terhadap ekonomi negara tersebut.
"Uni Eropa sekarang juga harus mencari cara-cara kreatif untuk menghentikan pendapatan minyak dan gas yang mencapai militer. Sangat penting untuk terus mengidentifikasi secara sistematis dan memotong sumber pendapatan ke militer," tambahnya. (AFP/OL-1)