Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Anomali dalam Peta Elektoral

Koresponden Media Indonesia di New York, AS Lia Sundah Suntoso
06/11/2020 03:02
Anomali dalam Peta Elektoral
Pemilu AS 2020(AP/NYTIMES)

MASA kepresidenan Donald J Trump, presiden ke-45 Amerika Serikat dari Partai Republik, dimulai dengan kontroversi dan mungkin juga kembali diakhiri dengan kontroversi.

Trump, petahana yang pada 2016 memenangi kampanye Pilpres AS meskipun kalah hampir tiga juta suara dari sisi popular vote (total jumlah suara yang masuk), ternyata menang jauh dari sisi penghitungan electoral college 306-232. Sepanjang sejarah, hanya ada lima presiden AS yang memenangi pilpres seperti ini. Yang terakhir ialah George W Bush pada 2000.

Saat artikel ini ditulis, kandidat dari kubu Demokrat, Joe Biden, memimpin dengan 264-214 suara elektor. Diperlukan 270 suara elektor untuk memenangi pilpres AS.

Presiden AS tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi oleh para elektor yang berjumlah 538 (435 wakil negara bagian, 100 orang senator, dan 3 tambahan elektor dari ibu kota Washington, DC). Sistem ini mengalokasikan setiap negara bagian jumlah suara elektor berdasarkan populasi di daerah tersebut.

Misalkan, dari negara bagian tempat saya tinggal, yaitu New York, dialokasikan 29 suara elektor. Kandidat yang memenangi suara terbanyak akan mendapatkan seluruh suara elektor (winner takes all) yang dialokasikan ke negara bagian tersebut. (Catatan: sistem ini berlaku kecuali di negara bagian Maine dan Nebraska).

Saat tulisan ini diturunkan, ada empat negara bagian yang masih menjadi tanda tanya akan ke arah mana suara elektor pada pilpres ini, yaitu Pennsylvania (20), North Carolina (15), Georgia (16), dan Nevada (6). Biden unggul di Nevada, sedangkan Trump unggul di tiga negara bagian lainnya. Namun, karena telah mencapai 264, Biden hanya perlu memenangi salah satu dari negara di atas untuk memenangi pemilu.

Peta electoral college mengalami banyak perubahan sejak 2016. Arizona, Wisconsin, Michigan yang memilih Trump, kini berbalik memilih Biden. Meski Trump unggul di Pennsylvania dan North Carolina, siapa sangka kedua negara bagian ini berubah menjadi swing state.

Satu anomali yang menarik dicatat di sini ialah rekor jumlah suara yang diterima melalui pos (mail-in dan absentee), yaitu sekitar tiga juta suara untuk Pennsylvania. Konon, suara-suara ini mayoritas datang dari pemilih Demokrat.

Menarik untuk mencatat bahwa di beberapa daerah yang menjadi rebutan, kandidat Liberal Jo Jorgensen mendapatkan suara lebih besar dari selisih suara Trump-Biden. Misalkan, di Wisconsin, tercatat Jorgensen menerima 38.414 suara setara dengan 1,2%, yakni suara Trump dan Biden hanya berselisih kurang dari 20.000 dengan keunggulan Biden di 1.630.542 vs 1.610.007 suara. Fenomena ini juga terjadi di Nevada.
Selisih suara tercatat sekitar 8.000, masih di bawah suara Jorgensen dengan 0,9% atau setara 10.000 suara.

Apabila terjadi sengketa karena mekanisme pemilu diatur sendiri-sendiri oleh setiap negara bagian, aturan yang berlaku juga berbeda-beda. Kubu Trump dilaporkan telah mengajukan gugatan dan peng ajuan penghitungan kembali. Termasuk di Michigan dan Wisconsin yang ia menangi pada 2016. Gugatan juga diajukan untuk pemberhentian penghitungan di Pennsylvania dan Georgia.

Saya ingat saat masih duduk di sekolah hukum, terjadi sengketa antara George W Bush dari kubu Republik vs Al Gore dari kubu Demokrat dengan selisih sangat tipis. Ketika kemenangan Bush disahkan, Gore menggugat dengan alasan tidak semua surat suara telah dihitung. MA AS, yang ketika itu terdiri atas tujuh hakim yang diangkat Presiden dari Partai Republik dan dua dari Partai Demokrat memenangkan Bush, sehingga ia akhirnya memenangi pilpres dengan selisih hanya lima elektor 271-266. Selisih yang disahkan pada akhirnya hanya 537 suara.

Saya melihat Demokrat sangat siap menghadapi kemungkinan ini karena mereka merasa Pemilu 2000 telah ‘dicuri’ dari mereka. Apalagi, tiga dari anggota tim kampanye Biden juga pernah berpengalaman menghadapi peristiwa ini, karena mereka juga anggota tim kampanye Gore dua dekade lalu.

Andai kelak kasus ini tiba di MA AS, komposisi hakim agung di MA ialah enam hakim yang diangkat dari presiden Partai Republik dan tiga dari Demokrat. Tiga yang terakhir pada 2017, 2018, dan 2020 bahkan diangkat Trump.

Sejarah akan mencatat bahwa Trump ialah sebuah anomali. Kali ini, polling dan hasil survei sebelum pemilu juga sama tidak akuratnya dengan 2016, yang memprediksikan kandidat Clinton, dan sekarang Biden, akan menang telak dari Trump. Kenyataannya, sampai saat ini para kandidat terus bersaing ketat. Kalau pada 2016, Clinton memberikan concession speech pada malam yang sama, pada saat ini concession speech belum terjadi.

Selamat kepada Presiden dan Wakil Presiden AS terpilih. Yang terpenting bagi saya sebagai WNI: siapa pun pemenangnya, saya yakin hubungan bilateral Indonesia-AS akan terus berjalan dengan baik, terutama dengan adanya Dubes Muhammad Lutfi yang baru saja diangkat.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya