Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
KEMENTERIAN Kehutanan telah menolak permohonan penyelesaian 317.253 hektare kebun sawit tanpa izin yang berada dalam kawasan hutan. Sawit Watch dan organisasi sipil mendesak penegakan proses hukum pidana kehutanan.
Seperti diketahui Kementerian Kehutanan telah menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 36 tahun 2025, sebagai tindak lanjut Perpres No 5 tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Dalam Kepmenhut 36/2025 tersebut intinya memuat daftar 436 perusahaan perkebunan sawit yang memiliki kebun tanpa izin dalam kawasan hutan, di mana 790.474 hektare dinyatakan sedang berproses penyelesaian dan 317.253 hektare lainnya dinyatakan ditolak permohonan penyelesaiannya, karena tidak memenuhi kriteria Pasal 110A Undang-undang Cipta Kerja (UUCK).
Ironisnya, perusahaan yang masuk dalam daftar tersebut selama ini dianggap telah mematuhi prinsip dan kriteria minyak sawit berkelanjutan berdasarkan standar ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) maupun RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil). Diantaranya Sinarmas Agro, Musim Mas, Djarum, Wilmar, Duta Palma, Eagle High Plantations, Goodhope, ANJ, KLK, PTPN, First Resources, Best Agro, Austindo, Salim Ivomas, Genting, Astra Agro, Triputra, Cargill, KPN Plantations, Lonsum, Sampoerna Agro, Torganda, Citra Borneo Indah, Permata Hijau, Sinar Alam Plantations, DSN, dan Bumitama.
Menyoroti Kepmenhut 36/2025 tersebut Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch, dalam rilisnya Senin (17/2) mengatakan kebijakan tersebut merupakan bagian dari proses transparansi yang dilakukan pemerintah atas penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.
"Kami berharap transparansi proses tidak hanya berhenti disini namun hingga tahap akhir penyelesaian. Di sisi lain kebijakan ini tidak secara jelas menyebutkan proses lanjutan yang akan ditempuh terutama kebun-kebun sawit yang ditolak. Apakah akan diambil alih dan dikelola BUMN atau akan dihutankan kembali," tuturnya.
Jika dibiarkan tanpa pengawasan maka dikhawatirkan akan dimanfaatkan atau menjadi “bancakan” bagi kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab. "Kami mendesak segera dilakukan penegakan hukum. Aparat penegak hukum dan Satgas Penertiban Kawasan Hutan dapat saling berkoordinasi dan menindaklanjuti dengan melakukan proses hukum pidana kehutanan terhadap perusahaan perkebunan tersebut,” kata Surambo.
Daftar ratusan perusahaan tersebut juga menimbulkan pertanyaan terntang komitmen dan implementasi di tingkat lapang dalam mendorong prinsip sawit berkelanjutan dalam tata kelola perkebunan perusahaan sawit.
Hasil investigasi dan rekapitulasi Sawit Watch dari 15 Surat Keputusan Menteri LHK, di Provinsi Riau terdapat 11 grup besar anggota RSPO, dengan total luasan mencapai 59.817,70 hektare. Sementara di Provinsi Kalteng, terdapat 10 grup besar sawit dengan luas mencapai 134.319,63 hektare.
Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA), Ahmad Zazali mengatakan bahwa tindakan Menteri Kehutanan, Raja Juliantoni, menerbitkan daftar perusahaan sawit yang ditolak penyelesaiannya tersebut satu sisi patut diapresiasi sebagai wujud komitmen terhadap transparansi, namun disisi lain masih terdapat wilayah “abu-abu” yang belum sepenuhnya terbuka kepada publik.
"Yaitu mengenai apakah perkebunan yang ditolak tersebut akan otomatis dimasukkan dalam skema penyelesaian Pasal 110B UUCK atau akan masuk dalam skema penguasaan kembali kawasan hutan sebagaimana Pasal 3 Perpres 5/2025 atau menggunakan pemidanaan sebagaimana Pasal 7 Perpres 5/2025. Lalu siapa dan bagaimana nasib pengelolaan terhadap kebun-kebun sawit tersebut selanjutnya, apakah tanaman sawit akan ditebang lalu dihutankan kembali atau akan diberikan tanggung jawab pengelolaannya kepada entitas bisnis tertentu,” ungkapnya.
Sementara Gunawan, Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) mengatakan, Perubahan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan melalui UU Cipta Kerja (UU Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi UU) melalui pasal-pasal sisipan 110A dan 110B menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelesaian masalah perkebunan sawit dalam kawasan hutan, apakah pemidanaan atau pemutihan melalui sanksi adminitratif berupa pembayaran denda.
Di sisi lain menjadi tumpang tindih dengan mekanisme penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, Sehingga akan berdampak buruk bagi diplomasi sawit Indonesia dan komitmen Indonesia dalam menghentikan deforestasi. (H-2)
Gapki mengambil langkah strategis dengan menggandeng Indonesian Palm Oil Strategic Studies (IPOSS) dalam upaya memperkuat posisi dan citra industri sawit Indonesia di kancah global.
PT Astra Agro Lestari mencatatkan kinerja yang positif dan juga menunjukkan pencapaian tanggung jawab sosial melalui Laporan Keuangan dan Laporan Keberlanjutan.
Hal ini merupakan wujud pemberdayaan ekonomi masyarakat di daerah-daerah sentra sawit maupun daerah non-sentra sawit.
Di tengah permintaan pasar yang terus meningkat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, pertumbuhan produksi kelapa sawit dalam lima tahun terakhir justru stagnan.
Kontribusi industri kelapa sawit sebagai penyumbang devisa terbesar negara kini menghadapi ancaman baru yaitu regulasi yang saling tumpang tindih dan ketidakpastian hukum.
DALAM beberapa pemberitaan, pemerintah menyatakan bahwa produksi minyak kelapa sawit nasional ditargetkan mencapai 100 juta ton pada tahun Indonesia emas 2045.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved