Headline
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
PARA ilmuwan dari Columbia menemukan neuron khusus di otak tikus yang memberi perintah kepada hewan tersebut untuk berhenti makan.
Meskipun banyak sirkuit makan di otak diketahui berperan dalam memantau asupan makanan, neuron-neuron dalam sirkuit tersebut tidak membuat keputusan akhir untuk menghentikan makan.
Neuron yang diidentifikasi para ilmuwan Columbia ini merupakan elemen baru dalam sirkuit tersebut dan terletak di batang otak, bagian tertua dari otak vertebrata. Penemuan ini dapat membuka jalan bagi pengobatan baru untuk obesitas.
"Neuron-neuron ini berbeda dari neuron lain yang terlibat dalam pengaturan rasa kenyang," kata Alexander Nectow, seorang dokter-ilmuwan di Columbia University Vagelos College of Physicians and Surgeons, yang memimpin penelitian ini bersama Srikanta Chowdhury, seorang ilmuwan riset di laboratorium Nectow.
"Neuron lain di otak biasanya hanya terbatas pada mendeteksi makanan yang masuk ke mulut, seberapa banyak makanan memenuhi lambung, atau nutrisi yang diperoleh dari makanan. Neuron yang kami temukan ini istimewa karena tampaknya mengintegrasikan semua informasi ini dan lebih banyak lagi."
Keputusan untuk berhenti makan adalah fenomena yang sudah akrab bagi kita. "Ini terjadi setiap kali kita duduk untuk makan: Pada titik tertentu saat makan, kita mulai merasa kenyang, lalu semakin kenyang, hingga akhirnya berpikir, 'Oke, cukup,'" kata Nectow.
Bagaimana otak tahu kapan tubuh sudah cukup makan — dan bagaimana otak bertindak berdasarkan informasi tersebut untuk menghentikan makan?
Penelitian sebelumnya telah menelusuri sel-sel yang membuat keputusan ini hingga ke batang otak, tetapi tidak berhasil menemukan jawabannya.
Nectow dan Chowdhury menggunakan teknik sel tunggal terbaru yang memungkinkan mereka melihat ke dalam wilayah otak dan membedakan berbagai jenis sel yang sebelumnya sulit diidentifikasi.
"Teknik ini — profil molekuler yang terlokalisasi secara spasial — memungkinkan kita melihat sel-sel di tempatnya di batang otak serta mengetahui komposisi molekuler mereka," kata Nectow.
Saat memetakan suatu wilayah di batang otak yang dikenal memproses sinyal kompleks, para peneliti menemukan sel-sel yang sebelumnya tidak dikenali tetapi memiliki karakteristik serupa dengan neuron yang mengatur nafsu makan. "Kami berpikir, 'Oh, ini menarik. Apa fungsi neuron-neuron ini?'"
Untuk mengetahui bagaimana neuron ini memengaruhi pola makan, para peneliti merekayasa neuron-neuron tersebut sehingga bisa diaktifkan atau dinonaktifkan dengan cahaya.
Ketika neuron diaktifkan cahaya, tikus memakan porsi makanan yang jauh lebih kecil. Intensitas aktivasi menentukan seberapa cepat tikus berhenti makan. "Menariknya, neuron-neuron ini tidak hanya memberi sinyal untuk berhenti secara langsung, tetapi juga membantu tikus memperlambat kecepatan makannya secara bertahap," kata Chowdhury.
Para peneliti juga menguji bagaimana sirkuit makan lain dan hormon memengaruhi neuron ini. Mereka menemukan bahwa neuron ini dinonaktifkan oleh hormon yang meningkatkan nafsu makan dan diaktifkan oleh agonis GLP-1, kelas obat yang kini populer untuk mengobati obesitas dan diabetes. Eksperimen ini menunjukkan bahwa neuron-neuron ini membantu melacak setiap gigitan yang dimakan tikus.
"Secara keseluruhan, neuron-neuron ini dapat 'mencium' makanan, 'melihat' makanan, 'merasakan' makanan di mulut dan di lambung, serta menafsirkan semua hormon pencernaan yang dilepaskan saat makan," kata Nectow. "Pada akhirnya, neuron-neuron ini menggunakan semua informasi tersebut untuk menentukan kapan cukup itu cukup."
Meskipun neuron khusus ini ditemukan pada tikus, Nectow mengatakan lokasi mereka di batang otak menunjukkan kemungkinan besar manusia juga memiliki neuron yang sama.
"Kami pikir ini adalah titik masuk yang sangat penting untuk memahami apa yang membuat seseorang merasa kenyang, bagaimana proses itu terjadi, dan bagaimana hal ini memicu penghentian makan," tambahnya. "Kami berharap penemuan ini dapat digunakan untuk terapi obesitas di masa depan." (Science Daily/Z-3)
Samoa, Nauru, dan Tonga masuk dalam daftar negara dengan tingkat obesitas tertinggi di dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Simak data terbaru dari WHO.
Menurut data Survei Kesehatan Indonesia dari Kementerian Kesehatan, prevalensi obesitas nasional 2023 pada penduduk umur di atas 18 tahun, mengalami peningkatan.
Poin yang membedakan Lighthouse Advanced dari klinik lain adalah pendekatannya yang menyeluruh dan berkelanjutan melalui Companion Program.
OBESITAS pada anak merupakan kondisi yang bisa memicu munculnya berbagai penyakit berbahaya. Asupan Protein hewani bisa menjadi cara untuk mengatasi obesitas pada anak.
Protein hewani bukan sekadar pelengkap—bagi anak, ia adalah fondasi utama untuk tumbuh sehat dan terhindar dari obesitas.
KETUA Umum IDAI Piprim Basarah Yanuarso mengatakan bahwa saat ini orangtua harus meningkatkan pemahaman pentingnya penanganan obesitas pada anak.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved