Headline

Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.

Fokus

Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.

Standardisasi Kemasan Rokok Mampu Turunkan Prevalensi Perokok Secara Signifikan

Despian Nurhidayat
09/1/2025 19:54
Standardisasi Kemasan Rokok Mampu Turunkan Prevalensi Perokok Secara Signifikan
(MI/DESPIAN)

PREVALENSI perokok Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pada kenyataannya jumlah perokok absolut di Indonesia meningkat hampir 10 juta orang selama 10 tahun terakhir. Hal ini juga dibarengi dengan konsumsi rokok elektrik yang meningkat 10 kali lipat dari 0,3% menjadi 3,0%. Selain itu, prevalensi perokok anak juga meningkat dari 13% pada 2015 menjadi 23% di 2023.

National Professional Officer – Tobacco Free Initiative, WHO Indonesia, Ridhwan Fauzi mengatakan, meskipun di Indonesia sudah menerapkan peringatan bergambar sebanyak 40% sejak 2014, kenyataannya hal tersebut belum memberikan efek maksimal dan masih ada 20% orang di Indonesia yang tidak memperhatikan peringatan bergambar ini. 

“Orang yang berpikir untuk berhenti merokok setelah melihat peringatan ini juga masih sangat kecil atau hanya 59,4%. Jadi masih kurang besar dan orang-orang masih terdistraksi oleh kemasan rokok. Makanya penting ada kemasan terstandar,” ungkapnya dalam Diskusi Publik TCSC-IAKMI bertajuk Perlunya Penerapan Aturan Standardisasi Kemasan pada Bungkus Rokok dalam Upaya Menurunkan Prevalensi Perokok di Indonesia di Jakarta, Kamis (9/1). 

Lebih lanjut, Ridhwan menegaskan bahwa kemasan rokok terstandar akan mengharuskan larangan logo industri rokok, warna identik, brand image dan aspek promosi lainnya yang dihilangkan. 

Kebijakan ini telah berlaku di 25 negara dunia seperti Australia, Turki, Arab Saudi, Thailand, Singapura, Laos, Myanmar, dan lainnya. “Tujuan kemasan terstandar ini untuk mengurangi daya tarik terhadap produk tembakau. Desain rokok itu sengaja menarik orang untuk menggunakannya. Karena kalau kita lihat kemasan di Indonesia itu atasnya peringatan tapi bawahnya promosi. Dengan tetap diizinkannya industri rokok mengenakan kemasan seperti sekarang berpotensi juga menyesatkan publik,” tegas Ridhwan. 

Di tempat yang sama, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menambahkan bahwa sejatinya fungsi iklan dalam kemasan adalah bentuk informasi kepada konsumen. Namun, hal tersebut hanya berlaku dalam konteks produk normal. 

“Tapi kalau produknya rokok kan tidak normal atau dikenai cukai sehingga fungsi iklan jadi kontraproduktif. Sehingga sebisa mungkin dalam konteks perlindungan konsumen rokok idealnya dibuat tidak menarik. Bahkan di beberapa negara, iklan dan produksi rokok sudah dilarang,” ujar Tulus. 

Maka dari itu, dalam konteks perlindungan konsumen, aturan kemasan terstandar itu akan memberikan efek sangat baik. 

“Kami pernah melakukan survei juga bahwa peringatan kesehatan ini masih tertutup pita cukai sehingga tidak terlalu memberikan efek kepada masyarakat. Selama ini dengan peringatan kesehatan yang tertutup pita cukai ini menjadi tidak tersampaikan pesannya.

Saat ini kalau merujuk negara di dunia juga sudah ada 25 negara yang menetapkan rokok polos. Itu artinya memang mereka menyadari bahwa regulasi untuk membuat rokok tanpa gambar dan merek dapat membuat masyarakat tidak terprovokasi mengonsumsi rokok,” tegasnya. 

Ketua Udayana Center for NCDs, Tobacco Control and Lung Health (CENTRAL), dr. Putu Ayu Swandewi Astuti menjelaskan bahwa selama ini kemasan rokok memberikan warna dan citra berbeda-beda yang memberikan pesan kepada pembeli dan membangun identitas. Industri ini dikatakan mampu memasarkan produk berbahaya namun dikemas dengan cantik. Seakan-akan apa yang mereka jual tidak memberikan dampak negatif pada kesehatan masyarakat.

“Secara garis besar kemasan rokok standar akan menurunkan daya tarik pembeli dan mendorong keinginan berhenti merokok. Hal ini juga akan membuat bahaya dari produk tembakau lebih efektif dan pesannya bisa tersampaikan pada masyarakat. Dampak lainnya mengurangi potensi miss leading dalam kemasan yang tersampaikan kepada masyarakat. Dampak lebih jauh lagi, akan ada penurunan perokok pemula. Contoh di Australia setelah penerapan kemasan polos ini hanya dalam 3 tahun terjadi penurunan prevalensi perokok sebanyak 100 ribu orang,” urai Ayu. 

Sementara itu, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, Direktorat P2PTM
Kementerian Kesehatan, dr. Benget Saragih mengatakan bahwa terdapat 290 ribu orang meninggal setiap tahunnya akibat rokok. Hal inilah yang membuat Kemenkes mendorong terjadinya perubahan regulasi. 

“Faktor risiko merokok menjadi kematian terbesar kedua di Indonesia. Hasil survei BPS (Badan Pusat Statistik) pada 2021 memperlihatkan pengeluaran rumah tangga untuk rokok 3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pembelian protein. 71% perokok remaja membeli rokok eceran dan 60% tidak dicegah saat membeli rokok,” jelas Benget Saragih. 

Lebih lanjut, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 sebagai aturan turunan Undang-Undang 17/2023 tentang Kesehatan memiliki tujuan untuk menyasar penurunan prevalensi perokok anak dan remaja karena mereka belum bisa membuat keputusan independen bagi diri mereka sendiri. 

“Kami juga sudah selesai membahas Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan di level internal. Akan diusahakan masuk rapat harmonisasi dengan kementerian dan lembaga lainnya. Jadi ada standardisasi kemasan, baik bentuk, warna, tulisan, dan gambar peringatan kesehatan,” tuturnya. 

Menurutnya selama ini Kemenkes juga telah banyak mendapatkan penolakan dan banyak informasi keliru terkait dengan hal ini. Namun demikian, Kemenkes yakin dan percaya bahwa aturan ini akan berhasil dan negara harus hadir melindungi masyarakat. 

“Jadi kita enggak boleh kalah tapi menyiapkan justifikasi kenapa kita harus melakukan kebijakan ini,” tegasnya. 

Ketua TCSC-IAKMI dr. Sumarjati Arjoso menekankan bahwa acara ini diharapkan dapat memperjelas tujuan dari standardisasi kemasan rokok dan mampu meningkatkan pemahaman serta kesadaran masyarakat akan upaya mengurangi prevalensi perokok terutama untuk anak. (S-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Denny parsaulian
Berita Lainnya