Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
PENGOBATAN berbasis sel punca terbukti memiliki potensi besar dalam terapi regeneratif. Namun, di Indonesia, pengembangan riset terkait sel punca masih belum optimal.
Untuk mendukung kemajuan riset ini, serta meningkatkan pertukaran informasi dan ide-ide terkait sel punca, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berkolaborasi dengan Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI) menyelenggarakan Collaborative Seminar bertajuk "Regenerative Medicine Breakthrough: Pioneering the Path to The Future of Cell and Cell-derived Therapy", Jumat (18/10).
Acara tersebut bertujuan mempercepat perkembangan riset dan pemanfaatan sel punca dalam pengobatan regeneratif di Indonesia, menghadirkan para ahli dan pemangku kepentingan di bidang ini.
Wakil Ketua Asosiasi Sel Punca Indonesia Cynthia Retna Sartika menjelaskan seminar ini menjadi platform diskusi bagi pemerhati sel punca, baik dalam konteks penelitian maupun penerapannya dalam terapi medis.
“Kegiatan ini adalah wadah bagi para peneliti, akademisi, dan industri untuk bertukar informasi terkait penelitian sel punca, serta bagaimana pendanaan terhadap penelitian dapat dioptimalkan. Kolaborasi BRIN dan ASPI bertujuan untuk mendorong kemajuan penggunaan produk sel punca serta mendukung hilirisasi yang direncanakan oleh pemerintah,” ujarnya.
Kepala Pusat Riset Biomedis BRIN Prof Sunarno menambahkan seminar ini diadakan untuk menyatukan berbagai pihak, termasuk regulator, industri, peneliti, dan pemerintah, dalam upaya mempercepat pengembangan sel punca di Indonesia.
Menurutnya, kolaborasi antarpihak sangat penting untuk mempercepat proses riset dan penerapan terapi sel punca secara lebih luas.
“Jika ingin adanya percepatan, kita harus bekerja sama dengan baik. Inilah yang menjadi tujuan utama seminar ini,” kata Prof Sunarno.
Namun, meskipun potensi sel punca sangat besar, masih terdapat berbagai tantangan dalam pengembangannya di Indonesia. Ketua Komite Sel Punca, Prof Amin Soebandrio W menjelaskan salah satu tantangan utama adalah minimnya regulasi yang tersedia.
“Sel punca dan terapi berbasis sel adalah teknologi baru, dan regulasinya masih belum cukup untuk mendukung pengembangan ini. Kami bekerja sama dengan berbagai stakeholder untuk membentuk harmonisasi peraturan, sehingga teknologi ini dapat lebih cepat dinikmati masyarakat dengan harga yang terjangkau,” jelas Prof Amin.
Saat ini, penerapan terapi sel punca di Indonesia sudah dimulai di beberapa wilayah seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali. Namun, menurut Prof Amin, masih ada beberapa produk yang mengklaim mengandung sel punca namun tidak sesuai dengan standar.
“Penerapan sel punca yang benar masih terbatas. Banyak produk yang mengklaim mengandung sel punca, namun setelah diteliti, ternyata bukan produk asli. Jadi, penerapan memang sudah banyak, tetapi yang benar-benar sesuai standar masih sedikit,” ungkap Prof Amin.
Salah satu hal penting yang disorot dalam seminar ini adalah pentingnya edukasi bagi masyarakat mengenai sel punca. Prof Amin menegaskan masyarakat perlu lebih cermat dalam memahami produk yang diklaim mengandung sel punca.
“Banyak masyarakat yang mudah termanipulasi oleh produk yang mengklaim mengandung sel punca. Mereka perlu memahami dengan benar apa itu sel punca dan apa manfaat serta risiko yang terkait. Produk yang asli pasti dilengkapi dengan sertifikat analisis dan kontraindikasi yang jelas,” jelasnya.
Seminar ini diharapkan dapat menjadi awal yang baik untuk memacu perkembangan riset sel punca di Indonesia, memperkuat kolaborasi lintas sektor, dan memberikan edukasi yang lebih luas kepada masyarakat mengenai potensi terapi regeneratif berbasis sel punca. (Z-1)
KOMISI Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengutuk keras orangtua atau pelaku yang telah melakukan kekerasan dan menelantarkan anak di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Studi ini mengukur gejala seperti heartburn, nyeri dada, naiknya asam lambung, dan mual menggunakan kuesioner penilaian mandiri (GERD-Q, skor 0–18).
PrEP merupakan obat pencegahan HIV yang dikonsumsi sebelum seseorang terpapar virus. Sejak Januari hingga Mei 2025, tercatat 285 warga telah memulai pengobatan PrEP.
Temuan penting menyatakan bahwa pasien penyakit Lyme tetap mengalami gejala persisten meskipun telah menjalani pengobatan antibiotik.
Ada sejumlah suplemen dan obat yang dilarang dikonsumsi berbarengan. Apa sajakah itu? Berikut uraiannya.
Tanpa penilaian klinis yang tepat, saran pengobatan dari AI tersebut dapat berisiko dan membahayakan kesehatan.
GHLS berkomitmen untuk meningkatkan kualitas hidup dengan menyediakan layanan konsultasi medis, kelas master, dan sertifikasi internasional bekerja sama dengan universitas global.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved