Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

WWF Ungkap Populasi Satwa Liar Dunia Menurun 73% dalam 50 Tahun

Ihfa Firdausya
10/10/2024 14:21
WWF Ungkap Populasi Satwa Liar Dunia Menurun 73% dalam 50 Tahun
Ilustrasi satwa laut(ANTARA)

LAPORAN Living Planet Report (LPR) 2024 yang dikeluarkan WWF menyebut terjadi penurunan eksesif sebesar 73% pada ukuran rata-rata populasi satwa liar dalam kurun waktu 50 tahun (1970-2020). Laporan tersebut mensinyalir bahwa bumi mendekati titik kritis yang berbahaya dan dapat menimbulkan ancaman besar bagi umat manusia.

Living Planet Index (LPI) yang disusun oleh ZSL (Zoological Society of London) mencakup hampir 35.000 tren populasi, 5.495 spesies dari tahun 1970-2020. Penurunan terkuat terjadi pada ekosistem air tawar (-85%), diikuti ekosistem darat (-69%), dan kemudian ekosistem laut (-56%). Penyempitan habitat dan penyusutan ekosistem dipengaruhi karena sistem pangan yang tidak berkelanjutan.

Ancaman tersebut yang paling banyak dilaporkan di seluruh dunia diikuti pemanfaatan secara berlebih, spesies, dan penyakit invasif.

Baca juga : Populasi Satwa Liar Dunia Menurun Drastis Hingga 73 Persen dalam 50 Tahun

Perubahan iklim menjadi sebuah ancaman tambahan khusus bagi populasi satwa liar di Amerika Latin dan Karibia yang telah mencatat penurunan rata-rata sebesar 95%.

"Alam sedang mengeluarkan panggilan darurat. Krisis terkait hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan iklim mendorong satwa liar dan ekosistem melampaui batas kemampuan mereka," kata Direktur Jenderal WWF-Internasional Kirsten Schuijt dalam keterangannya, Kamis (10/10).

"Konsekuensi bencana dari hilangnya beberapa ekosistem yang paling berharga, seperti hutan hujan Amazon dan terumbu karang, akan dirasakan oleh manusia dan alam di seluruh dunia," imbuhnya.

Baca juga : Di Kolombia, Kayu Hasil Pembalakan Liar Dimanfaatkan untuk Sarang Lebah

Penurunan populasi satwa liar dapat menjadi indikator peringatan dini akan meningkatnya risiko kepunahan dan potensi hilangnya ekosistem yang sehat. Ketika ekosistem rusak, mereka tidak lagi memberikan manfaat bagi manusia yang selama ini mengandalkan udara bersih, air, dan tanah yang sehat untuk makanan.

Beberapa populasi spesies yang diteliti dalam LPI termasuk penurunan 57% jumlah penyu sisik yan g bertelur antara tahun 1990- 2018 di Pulau Milman di Great Barrier Reef, Australia. Selain itu penurunan 65% pada Pink River Dolphin Amazon dan penurunan 75% pada tucuxi (smaller river dolphin) yang lebih kecil antara tahun 1994 dan 2016 di cagar alam Mamirauá, Amazonas, Brasil.

Tahun lalu, lebih dari 330 lumba-lumba sungai mati hanya di dua danau selama periode musim panas dan kekeringan ekstrem. Indeks ini juga menunjukkan beberapa populasi yang menunjukkan kestabilan atau mengalami peningkatan karena upaya konservasi yang efektif. Misalnya peningkatan subpopulasi gorila gunung sekitar 3% per tahun antara tahun 2010-2016 di pegunungan Virunga di Afrika Timur, dan kembalinya populasi Bison Eropa di Eropa tengah.

Baca juga : Upaya Para Pegiat Lingkungan Menyelamatkan Hutan yang Tersisa

Namun, keberhasilan di satu wilayah saja tidak cukup. Berbagai negara telah menyepakati tujuan global yang ambisius untuk menghentikan dan membalikkan hilangnya keanekaragaman hayati (Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global), membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C (Perjanjian Paris), dan mengentaskan kemiskinan (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB).

Namun, Living Planet Report menyatakan komitmen dan tindakan nasional di lapangan masih jauh dari apa yang dibutuhkan untuk memenuhi target pada tahun 2030 dan menghindari titik kritis yang berbahaya.

Konferensi tingkat tinggi keanekaragaman hayati dan iklim internasional yang akan segera berlangsung yakni COP16 dan COP29 merupakan kesempatan bagi negara-negara untuk meningkatkan skala tantangan yang ada.

Baca juga : Potensi Tumpang Tindih Habitat Manusia dan Satwa Liar Meningkat

WWF menyerukan agar negara-negara membuat dan mengimplementasikan rencana alam dan iklim nasional yang lebih ambisius (NBSAP dan NDC). Hal itu mencakup langkah-langkah untuk mengurangi konsumsi global yang berlebihan, menghentikan dan memgembalikan hilangnya keanekaragaman hayati domestik dan impor, serta memangkas emisi.

“Meskipun situasinya sangat memprihatinkan, kita belum melewati titik tanpa harapan. Kita memiliki kesepakatan dan solusi global untuk mengatur alam menuju pemulihan pada tahun 2030, tetapi sejauh ini hanya ada sedikit kemajuan dalam pelaksanaannya dan kurangnya urgensi," ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Konservasi dan Kebijakan di ZSL Dr Andrew Terry mengatakan hilangnya populasi satwa liar yang terus berlanjut secara global dan penipisan pohon kehidupan membuat dunia berada dalam risiko menembus titik kritis yang berbahaya.

"Kita memiliki waktu lima tahun untuk mencapai komitmen internasional untuk memulihkan alam pada tahun 2030. Para pemimpin dunia akan segera berkumpul di COP16, dan kita perlu melihat tanggapan yang kuat dari mereka serta peningkatan sumber daya yang mendesak untuk mencapai komitmen tersebut dan menempatkan diri kembali ke jalur pemulihan," katanya.

CEO WWF-Indonesia Aditya Bayunanda menyatakan dampak perubahan iklim pada keanekaragaman hayati harus diwaspadai. Terutama hilangnya habitat yang memicu kepunahan spesies kunci di Indonesia.

"Semua pihak, pemerintah, swasta, masyarakat, LSM, dan universitas, perlu bersinergi untuk mengatasi dampak ini. Penting bagi pemerintah mengorkestra upaya bersama yang melindungi habitat, termasuk masyarakat adat dan lokal, serta menegakkan hukum atas kejahatan lingkungan," pungkasnya.(M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya