Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Aturan Turunan UU Kesehatan Diapresiasi meski masih Sisakan Persoalan

Despian Nurhidayat
26/9/2024 22:52
Aturan Turunan UU Kesehatan Diapresiasi meski masih Sisakan Persoalan
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin(Antara)

Pemberlakuan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan aturan turunannya melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2024 menuai apresiasi publik. Regulasi anyar itu dianggap cukup memadai dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, melindungi masyarakat, menjaga kepentingan publik dan membantu mengatasi berbagai permasalahan kesehatan di Indonesia.

Direktur Eksekutif Segara Research Institut, Piter Abdullah Redjalam, mengungkapkan beleid itu mampu mengakomodasi seluruh aspek dalam sistem kesehatan di Indonesia, seperti mengatur berbagai upaya yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative.

“PP Nomor 28 Tahun 2024 menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, merata, dan terjangkau oleh masyarakat. Upaya kesehatan tersebut ditujukan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat. Kami apresiasi niat baik pemerintah,” ujar Piter melalui keterangan tertulis, Kamis (26/9)

Baca juga : Presiden Jokowi Didesak Sahkan Rancangan PP Kesehatan

Meski demikian, ia melihat UU Kesehatan masih tetap menyisakan sejumlah tantangan besar, khususnya dalam menindaklanjuti semua materi muatan UU Kesehatan ke dalam Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya.

Piter memberikan beberapa contoh tantangan. Salah satunya soal kesehatan bayi. Peraturan Pemerintah itu menyatakan setiap bayi berhak memperoleh air susu ibu (ASI) eksklusif sejak dilahirkan sampai usia enam bulan, kecuali atas indikasi medis. Pengecualian terkait indikasi medis ini juga sejalan dengan the International Code of Marketing of Breast-Milk Substitutes (WHO Code).

“Dengan kata lain, PP Nomor 28 tahun 2024 tentang Pelaksanaan UU Kesehatan mengakui bahwa susu formula dapat digunakan untuk menggantikan ASI ketika ASI Eksklusif tidak dapat diberikan dan donor ASI tidak tersedia. Ini bentuk konfirmasi sekaligus validasi bahwa susu formula dapat dikonsumsi bayi usia 0-6 bulan,” kata Piter.

Baca juga : Aturan Turunan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Segera Dibahas Lintas Kementerian

WHO telah menerbitkan WHO Code pada tahun 1981 dengan tujuan memberikan dukungan dan perlindungan terhadap proses menyusui dengan cara mengatur praktik perdagangan formula bayi dan produk Pengganti ASI (PASI) lainnya. Sejauh ini Indonesia cukup berhasil mengimplementasikan WHO Code, khususnya bila dibandingkan dengan capaian rata-rata negara di Asia dan dunia. Merujuk Marketing of BMS: National Implementation of the International Code Status Report 2020, Pencapaian Indonesia pada tahun 2020 adalah sebesar 50%. Lebih baik dari rata-rata implementasi di kawasan Asia (41%) dan di tingkat global (11%).

Cukup berhasilnya implementasi WHO Code di Indonesia menyiratkan bahwa ketentuan pengaturan praktik perdagangan formula bayi dan produk pengganti ASI untuk produk bayi hingga usia satu tahun yang diberlakukan oleh pemerintah sejauh ini tidak menghambat pemberian ASI Eksklusif di Indonesia.

Keberadaan susu formula dan upaya mendorong pemberian ASI Eksklusif seharusnya tidak perlu dipertentangkan. PP Nomor 28 tahun 2024, sebagaimana juga WHO, mengakui bahwa susu formula aman dan dapat diberikan kepada bayi ketika ASI tidak dapat diberikan oleh Ibu bayi ataupun oleh donor.

Baca juga : Ditunggu, Aturan Penjualan dan Promosi Rokok dalam PP 28/2024

Terkait hal itu, menurut Piter, peraturan turunan sejatinya tidak perlu mengubah ketentuan yang sudah ada saat ini, yaitu pembatasan kegiatan promosi susu formula. 

“Bahwa PP sebelumnya, nomor 69 Tahun 1999, sudah mengatur ketat iklan tentang pangan yang diperuntukkan bagi bayi yang berusia sampai dengan satu tahun. Industri sudah ikut aturan main karena diatur secara ketat,” sebut Piter.

Piter menambahkan bahwa yang lebih penting dilakukan adalah edukasi mengenai kandungan nutrisi yang dapat dilakukan bersama antarpemangku kepentingan. Apalagi angka prevalensi stunting belakangan menunjukkan kondisi yang kurang menggembirakan.

Data BPS menunjukkan bahwa angka pemberian ASI Eksklusif di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2020 hingga 2022 dari 68,84% menjadi 72,04% (2022) dan 73,9% (2023). Namun demikian, di sisi lain, pada tahun 2023 terjadi perlambatan penurunan angka prevalensi stunting yang hanya turun 0,1% dari 21,6% di tahun 2022 menjadi 21,5% di tahun 2023.

“Melihat kondisi yang ada mengenai pemberian ASI Eksklusif dan juga perlunya percepatan penurunan angka stunting, diperlukan penciptaan kondisi yang mendukung pemberian ASI Eksklusif seperti ruang laktasi di kantor dan ruang publik, serta penguatan akses informasi atas pilihan nutrisi yang sehat bagi bayi,” jelas Piter. (Z-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika
Berita Lainnya