Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kepala BPOM Akan Perkuat Pengawasan dan Evaluasi Produksi Obat Nasional

Devi Harahap
11/9/2024 20:03
Kepala BPOM Akan Perkuat Pengawasan dan Evaluasi Produksi Obat Nasional
Taruna Ikrar(ANTARA)

BADAN Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan terus berkoordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk menjadikan komoditas obat secara nasional lebih inklusif di tengah harga yang masih terbilang termahal.

Plt. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar menjelaskan ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi harga obat, salah satunya adalah biaya penelitian dan pengembangan obat. Menurutnya, sebelum suatu obat mendapatkan izin edar, perlu dilakukan serangkaian studi-studi pengembangan obat.

“Studi pengembangan dilakukan dari pengembangan kandidat obat, uji praklinik pada hewan dan juga uji klinik pada manusia untuk memperoleh bukti bahwa obat tersebut aman dan memiliki efikasi serta mutu yang baik. Biaya investasi penelitian dan pengembangan obat ini (memang) sangat mahal,” jelasnya kepada Media Indonesia di Jakarta pada Rabu (11/9).

Baca juga : Presiden Jokowi Lantik Taruna Ikrar sebagai Kepala BPOM

Selain itu, faktor biaya produksi yang meliputi biaya fasilitas, bahan baku, proses produksi, sumber daya manusia dan biaya kemasan juga menyebabkan sebagian besar bahan baku obat di Indonesia masih diimpor sehingga biayanya dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar mata uang.

“Di dalam bea impor terdapat pajak yang dibebankan sehingga berimplikasi terhadap harga obat. Biaya distribusi juga memengaruhi harga obat karena panjangnya rantai distribusi dari produsen bahan baku ke industri farmasi dan dari industri farmasi ke ritel,” katanya.

Taruna menilai, komponen lain seperti biaya marketing dan promosi/iklan juga dapat memengaruhi harga obat. Dijelaskan bahwa obat generik bermerek (nama dagang) relatif memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan obat generik.

Baca juga : Respons Harga Obat Tinggi, Kepala Badan POM Yakin Fitofarmaka dan Herbal Potensial Dikembangkan

”Variabel lain yang dapat mempengaruhi harga obat, seperti biaya impor, profit perusahaan, margin distributor, asuransi, bea masuk, pajak, biaya pelabuhan, dan margin ritel (apotek/rumah sakit),” jelasnya.

Lebih lanjut, kurangnya minat investasi untuk produksi obat dan bahan baku obat di dalam negeri, dan faktor penentuan harga obat berdasarkan supply vs demand juga berpengaruh terhadap harga obat.

“Untuk obat inovator seringkali dikatakan harganya lebih mahal daripada harga di negara tetangga. Hal ini dipengaruhi oleh demand vs supply jika volume demand banyak maka dapat menurunkan harga. Jumah penduduk Indonesia memang banyak, namun masuknya obat inovasi tergantung jumlah kasus yang terjadi di Indonesia,” katanya.

Baca juga : Industri Diingatkan Agar Patuhi Peraturan BPOM Soal Label Bahaya BPA

Untuk mengatasi hal tersebut, Taruna akan terus menekan harga obat di Indonesia diantaranya melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), mewajibkan industri farmasi menerapkan harga eceran tertinggi (HET), mendorong inovasi produk obat dalam negeri; dan menekan biaya promosi dan iklan obat.

Perkuat pengawasan dan evaluasi

Taruna mengatakan BPOM harus diperkuat dengan tenaga dokter yang paham permasalahan obat dan farmakologi. Baginya, masalah obat yang terbesar dan terpenting adalah evaluasi obat dan pengawasan obat, bukan hanya soal produksi.

Baca juga : Percepat Regulasi Pelabelan Warna Kandungan Gula di Produk Kemasan

“Dalam konteks pengelolaan obat di Indonesia, terdapat beberapa aspek yang sangat penting untuk memastikan bahwa obat yang beredar aman, berkhasiat, dan bermutu. Aspek tersebut mencakup tidak hanya produksi, tetapi juga evaluasi obat dan pengawasan obat,”

Mengenai rangka evaluasi dan pengawasan obat sebagaimana yang diamanatkan oleh Peraturan Perundang-undangan, Taruna menjelaskan pihaknya telah memiliki sistem evaluasi dan pengawasan obat yang mencakup seluruh siklus hidup obat mulai dari tahap pengembangannya, registrasi, produksi, distribusi hingga obat tersebut digunakan oleh pasien.

“Sistem evaluasi dan pengawasan obat BPOM telah dinilai oleh WHO dan dinyatakan berfungsi dengan baik. Oleh WHO, BPOM telah dinyatakan secara keseluruhan memiliki sistem pengawasan obat maturity level 3 (maksimum 4),” kata Taruna.

“Saat ini, BPOM sedang berproses untuk meraih status WHO Listed Authority (WLA) sehingga sejajar dengan regulator obat negara-negara maju,” lanjutnya.

Untuk mendukung berbagai operasional pengawasan dan evaluasi obat, BPOM memiliki staf yang dengan berbagai latar belakang keahlian, termasuk dokter, farmakologi, bioteknologi, farmasi, epidemiologi, kimia dan teknologi farmasi untuk mendukung tugas evaluasi dan pengawasan obat.

“Namun sebagai institusi yang memiliki visi ke depan dan update mengikuti perkembangan zaman, kami menyadari pentingnya perkuatan SDM BPOM. Untuk itu, BPOM terus melakukan perkuatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan-pelatihan yang terkait dengan evaluasi dan pengawasan obat,” tandasnya. (S-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Denny parsaulian
Berita Lainnya