Kepala BPOM Ingatkan Ancaman dan Pencegahan Silent Pandemic dari Resistansi Antimikroba

Ihfa Firdausya
05/1/2025 14:30
Kepala BPOM Ingatkan Ancaman dan Pencegahan Silent Pandemic dari Resistansi Antimikroba
ilustrasi(freepik)

 

KEPALA Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Taruna Ikrar mengingatkan ancaman silent pandemic akibat resistansi antimikroba.  Menurutnya itu akibat resistansi antibiotik pada tubuh seseorang yang diakibatkan oleh antimikroba menjadi ancaman serius dunia.

 “Resistansi antimikroba kini menjadi fenomena biologis kompleks yang mengancam kemampuan manusia dalam mengendalikan mikroorganisme berbahaya,” ungkap Taruna seperti dikutip dari keterangan resmi, Minggu (5/1).

Taruna menjelaskan, resistansi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme mengembangkan kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang, bahkan ketika di bawah paparan obat antimikroba yang sebelumnya efektif membunuh mereka.

Spektrum mikroorganisme yang berpotensi menjadi resisten sangatlah luas seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit. Fenomena resistansi antimikroba tidak dapat dipandang sebagai kejadian yang terisolasi, melainkan sebagai proses evolusioner kompleks yang melibatkan seleksi alam dan adaptasi genetik.

"Setiap kali mikroorganisme terpapar agen antimikroba, terjadi seleksi ketat di mana organisme yang memiliki keunggulan genetik untuk bertahan akan melangsungkan kehidupan dan reproduksi,” ujar alumni Fakultas Kedokteran Unhas yang menyelesaikan magister biomediknya dengan spesialisasi Farmakologi di Universitas Indonesia ini.

Ia menjelaskan, konsep resistansi antimikroba bermula dari pemahaman dasar interaksi antara mikroorganisme dan zat antimikroba. Ketika suatu antibiotik diperkenalkan, pada awalnya obat tersebut mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan mayoritas populasi mikroba.

Namun, di antara populasi tersebut, terdapat beberapa individu yang memiliki variasi genetik unik yang memungkinkan mereka bertahan. Mikroba-mikroba yang memiliki gen resistansi ini tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang biak, menciptakan generasi baru yang secara genetis lebih tahan terhadap antimikroba.

Taruna menguraikan beberapa faktor pendorong resistansi. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional baik dalam bidang kesehatan manusia maupun peternakan, menjadi faktor pendorong utama. Faktor ini telah menciptakan tekanan yang mendorong evolusi percepatan mikroorganisme.

Ketika antibiotik digunakan secara berlebihan atau tidak tepat, hal ini menciptakan tekanan seleksi yang kuat bagi mikroorganisme untuk beradaptasi dan berkembang. Selain itu, globalisasi, perpindahan penduduk, dan perdagangan global semakin mempercepat penyebaran strain resistan lintas wilayah dan benua.

“Upaya mengatasi resistansi antimikroba memerlukan strategi komprehensif yang tidak hanya berfokus pada pengembangan obat baru, tetapi juga pada perubahan perilaku dan sistem,” jelas Taruna.

Menurutnya, kesadaran global terhadap resistansi antimikroba terus meningkat. Organisasi internasional, pemerintah nasional, institusi penelitian, dan komunitas medis semakin memahami bahwa penanganan resistansi antimikroba memerlukan pendekatan komprehensif, proaktif, dan berkelanjutan.

Strategi yang efektif tidak hanya bergantung pada pengembangan antimikroba baru, tetapi juga pada manajemen penggunaan yang bijak, peningkatan praktik pencegahan infeksi, dan edukasi komprehensif.

Di Indonesia, resistansi antimikroba memiliki dimensi kompleks yang dipengaruhi oleh faktor geografis, demografis, dan sistem kesehatan. Sebagai negara dengan keragaman ekologis dan praktik kesehatan yang beragam, Indonesia menghadapi tantangan unik dalam mengendalikan penyebaran mikroorganisme resistan. 

“Untuk itu, diperlukan strategi nasional yang adaptif, berbasis riset, dan mempertimbangkan konteks lokal,” katanya.

Dampak ekonomi dari resistansi antimikroba sangatlah signifikan dan berpotensi menimbulkan krisis global yang mengancam fundamental sistem pelayanan kesehatan di seluruh dunia.

Berdasarkan data Bank Dunia, pada tahun 2050 diperkirakan kerugian ekonomi global akibat resistansi antimikroba dapat mencapai US$100 triliun atau setara dengan hilangnya 3,8% produk domestik bruto global.

“Negara-negara berkembang akan paling parah terkena dampaknya, dengan potensi jatuhnya jutaan penduduk ke dalam lingkaran kemiskinan akibat biaya pengobatan yang membengkak dan hilangnya produktivitas tenaga kerja,” papar Taruna.

Ia menyebut proyeksi World Health Organization (WHO) pada 2050 memperkirakan 10 juta nyawa akan hilang setiap tahun akibat angka infeksi resistansi yang melampaui kematian karena  kanker.

“Respons internasional menjadi kunci dalam mengatasi krisis resistansi antimikroba. Dibutuhkan kolaborasi lintas negara, lintas sektor, dan lintas disiplin ilmu. Tidak hanya diperlukan riset pengembangan obat baru, tetapi juga transformasi menyeluruh dalam praktik penggunaan antimikroba di bidang kesehatan, pertanian, dan peternakan, “ tutup Taruna. (H-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indriyani Astuti
Berita Lainnya