Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
PENGALOKASIAN besaran anggaran pendidikan kembali menuai polemik. Kali ini diduga kuat karena dipicu kebutuhan atas fleksibilitas ruang manuver untuk mendukung program-program pemerintahan baru. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu telah menggulirkan wacana tentang rencana perubahan ketentuan alokasi wajib anggaran pendidikan.
Selama ini besaran dana pendidikan sebanyak 20% dari APBN itu mengacu pada belanja negara. Cara penghitungan ini, oleh Sri Mulyani, diusulkan agar diubah menjadi mengacu pada pendapatan negara, bukan belanja negara.
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menegaskan bahwa usulan ini potensial akan memperburuk kualitas pendidikan dan memperparah kesenjangan layanan pendidikan. Selain itu, dampak secara langsung jika usulan ini disetujui, maka porsi besaran dana pendidikan dalam APBN akan menciut.
Baca juga : Mendikbud-Ristek: Pagu Anggaran 2025 Fokus pada Kesejahteraan Guru
Kondisi saat ini, defisit anggaran dalam RAPBN 2025 telah ditetapkan pemerintahan Presiden Joko Widodo sebesar Rp616,18 triliun atau 2,53% dari produk domestik bruto (PDB). Beberapa kalangan bahkan menganggap, defisit ini merupakan yang tertinggi dalam sejarah transisi masa pemerintahan.
“Berkaca pada pola keuangan negara yang defisit, maka dapat disimpulkan, besaran pendapatan negara pasti lebih kecil dibanding dengan komponen belanja. Jadi, kalau pendapatan yang dijadian acuan, nasib besaran porsi anggaran pendidikan nasional kian mengenaskan, karena juga akan ikut merosot,” ungkapnya, Rabu (11/9).
Berangkat dari kenyataan tersebut, maka JPPI menolak rencana pemerintah untuk mengamputasi besaran anggaran pendidikan melalui perubahan acuan penentuan besaran alokasi anggaran pendidikan melalui pendapatan negara.
Baca juga : Anggaran Turun, Berbagai Program Kemenndikbud Ristek Tahun Depan Tak akan Optimal
Menurutnya, dalam UUD 1945 pasal 31 disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk membiayai pendidikan dan memperioritaskan alokasi anggaran minial 20% yang bersumber dari APBN dan APBD. Jadi yang dijadikan acuan adalah pendapatan dan pengeluaran, bukan hanya pendapatan.
Jika hanya mengacu pada pendapatan, maka jelas akan mengurangi besaran anggaran pendidikan, dan dampaknya akan memperburuk kualitas pendidikan karena dukungan anggaran pendidikan yang mengecil.
“Kalau mau dianggap konstitusional, ya amandemen dulu UUD 1945 supaya bunyi ayat-ayatnya sama dengan usulan dan kehendak pemerintah. Kan konyol ini,” kata Ubaid.
Baca juga : Realisasi Anggaran Pendidikan Tidak Optimal Selama 4 Tahun Terakhir
Lebih lanjut, dia menekankan dibandingkan memperdebatkan soal acuan pendapatan atau belanja, sebaiknya lebih produktif jika wacananya adalah menghitung kebutuhan biaya pendididkan.
“Ini penting agar anggaran pendidikan itu tepat sasaran. Jangan seperti saat ini, entah anggaran pendidikan itu siapa yang menikmati. Masyarakat hanya merasakan biaya sekolah semakin hari semakin mahal, apalagi biaya UKT kuliah semakin tak terjangkau oleh semua kalangan. Ditambah lagi nasib guru honorer, sungguh sangat memperihatinkan,” ujar Ubaid.
Karena itu, bicara soal mandatory spending, tapi tidak tahu kebutuhannya apa dan berapa, maka sama dengan bohong. Setelah tahu kebutuan untuk sektor pendidikan itu apa saja dan berapa, baru bisa dihitung dalam kerangka APBN dan APBD.
Baca juga : P2G Tolak Usulan Menkeu Anggaran Pendidikan Dialokasikan dari Pendapatan Negara Bukan dari Belanja Negara
“Saya yakin kebutuhan dana pendidikan tak akan kurang dari 20% dari APBN dan APBD. Jadi, ketika anggaran pendidikan sudah tepat sasaran, secara otomatis pemerintah sudah melaksanakan amanah konstitusi dan pendidikan akan jauh lebih berkualitas dan berkeadilan bagi semua,” ujar Ubaid.
Salah satu alasan Menteri Keuangan untuk memperkecil anggaran pendidikan adalah problem serapan yang buruk. Jika ini yang dijadikan alasan pengurangan anggaran pendidikan, maka ini jelas salah alamat. Jika serapan anggaran pendidikan 4 tahun lalu dianggap buruk, maka pengelola programnya harus dievaluasi. Sebab, pemerintahan periode sebelumnya, tidak mengalami hal yang serupa.
“Maka, harus dievaluasi, mengapa ini bisa terjadi, bukan malah besaran anggarannya yang dilucuti. Jadi, yang harus diaudit adalah para pengelola anggaran, bentuk program, mekanisme pengelolaan, dan hal lain yang terkait langsung. Jadi, serapan anggaran pendidikan yang buruk, tidak bisa dijadikan alasan untuk mengamputasi hak anak untuk mendapatkan dukungan dana dari pemerintah untuk penuntasan pendidikan dari jenjang dasar sampai perguruan tinggi,” tuturnya.
Sementara itu, dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian menegaskan bahwa wacana tersebut tidak akan terjadi, karena Badan Anggaran DPR RI sudah menyepakati bahwa anggaran pendidikan akan tetap menggunakan belanja negara.
“Sudah disepakati di Banggar (DPR RI) bahwa 20% (anggaran pendidikan) didasarkan pada belanja (negara). Kami juga hari ini sudah rapat dengan Mendikbud-Ristek,” pungkas Hetifah. (S-1)
Presiden menjelaskan bahwa lembaga pendidikan merupakan penentu apakah suatu bangsa akan berhasil atau tidak.
JPPI menyebut anggaran pendidikan nasional cukup untuk mengimplementasikan sekolah gratis jenjang SD-SMP negeri dan swasta.
MK menetapkan bahwa pendidikan dasar mencakup jenjang SD dan SMP wajib diselenggarakan secara gratis. Kekhawatiran muncul menyangkut pembiayaan operasional sekolah swasta.
Anggota Komisi X DPR RI Muhamad Nur Purnamasidi menyoroti ketidaktepatan alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN.
Meski pemerintah berkomitmen tidak akan menaikkan UKT, Agus pun menilai pemangkasan bisa memaksa PTN untuk menaikkan uang kuliah tunggal (UKT).
ANGGOTA Komisi XIII DPR RI, Yan Mandenas mengatakan aspirasi soal pendidikan gratis menjadi masukan bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap alokasi dana Otsus.
Kejagung mengaku bingung dengan ketidakhadiran Jurist, padahal, pemeriksaan hari ini didasari permintaannya. Eks anak buah Nadiem itu mengaku ada acara keluarga yang tidak bisa ditinggal.
Jurist Tan dijadwalkan diperiksa sekitar pukul 09.00 WIB. Penyidik bakal mendalami peran dia sebagai stafsus, dalam proyek ini.
Namma Nadiem Makarim tengah menjadi sorotan publik setelah muncul dalam kasua dugaan korupsi terkait pengadaan laptop senilai Rp9,9 triliun untuk program digitalisasi pendidikan.
Satu eks anak buah Nadiem lainnya, yakni Jurist Tan, juga sudah dipanggil Kejagung untuk diperiksa.
Pemeriksaan lanjutan ini penting. Fiona diharapkan memberikan keterangan baru kepada penyidik, yang bisa dikaitkan dengan barang bukti yang sudah disita dalam kasus ini.
Kejagung memeriksa mantan staf khusus (stafsus) Nadiem Makarim, Fiona Handayani, Jumat (13/6) untuk dimintai keterangan soal kasus dugaan korupsi pengadaan laptop chromebook
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved