Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Dokumen Second NDC Belum Ambisius untuk Turunkan Emisi

Ihfa Firdausya
03/9/2024 09:49
Dokumen Second NDC Belum Ambisius untuk Turunkan Emisi
Salah satu energi baru terbarukan dari panel surya.(Antara Foto)


INSTITUTE for Essential Services Reform (IESR) menilai target iklim Indonesia dalam draf awal dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) belum menunjukkan ambisi penurunan emisi.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mendorong pemerintah Indonesia untuk memperkuat target penurunan emisi 2030 sesuai Persetujuan Paris dan meningkatkan target NDC, terutama di target conditional (bersyarat, dengan bantuan internasional).

Merujuk pada Climate Action Tracker (CAT), agar sejalan dengan target Persetujuan Paris untuk membatasi suhu global di 1,5 derajat Celcius, Indonesia perlu menetapkan target NDC tanpa syarat sebanyak 817 juta ton setara karbon dioksida per tahun pada 2030.

Baca juga : PLN EPI Sulap Sampah Organik DKI Jakarta Jadi Bahan Bakar PLTU

Kemudian, pada NDC bersyarat sebesar 771 juta ton setara karbon dioksida pada per tahun pada 2030, dan 647 juta ton setara karbondioksida pada 2035 (angka dalam GWP IPCC AR5), di luar sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU).

Sayangnya, menurut Fabby, di sektor energi, salah satu aksi mitigasi pemerintah belum sejalan dengan batas emisi tersebut. Selain itu aksi mitigasi juga masih enggan berpindah ke energi bersih dan mengandalkan teknologi penggunaan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) pada PLTU batubara.

Teknologi tersebut dianggap sebagai pembangkit berefisiensi tinggi dan emisi rendah (High Efficiency and Low Emissions/HELE) yang masih diragukan efektivitas dalam memangkas emisi gas rumah kaca.

Baca juga : Indonesia Perkuat Komitmen Atasi Dampak Perubahan Iklim di Second NDC

“Aksi mitigasi ini kontradiksi dengan kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Perpres 112/2022. Perpres ini mencakup rencana pengakhiran PLTU batu bara dan pelarangan pembangunan PLTU baru, kecuali pada PLTU batubara untuk industri (captive),” kata Fabby dalam keterangannya, Selasa (3/9).

Untuk itu, lanjutnya, pemerintah perlu memperjelas aksi mitigasi berbasis HELE ini, khususnya menetapkan bahwa penerapan teknologi HELE ini harus sesuai dengan kelayakan dan hanya bisa dilakukan pada PLTU captive.

Ia menekankan agar rancangan SNDC memuat pula elemen rencana pensiun dini PLTU sesuai dengan peta jalan yang disusun oleh Kementerian ESDM.

Baca juga : Kendaraan Bermotor Dituding Penyumbang Polusi Udara Terbesar Jakarta Ketimbang PLTU

Selain itu, IESR juga mendorong komitmen yang serius dan rencana untuk meningkatkan bauran energi terbarukan menjadi hingga 45% pada 2030 agar sesuai dengan target di Persetujuan Paris.

Fabby mengingatkan sesuai kesepakatan COP-28 di Dubai, dunia harus meningkatkan kapasitas energi terbarukan global tiga kali lipat setara 11,5 TW dan melipatgandakan efisiensi energi pada 2030. Indonesia, katanya, seharusnya ikut mendukung kesepakatan ini.

Koordinator Proyek Kebijakan Iklim IESR Delima Ramadhani mengungkapkan, selain ambisius, SNDC harus adil, kredibel, dan transparan. Rancangan SNDC akan memuat sub-bab transisi adil (just transition).

Baca juga : Bappenas Dorong Pengintegrasian Karbon Biru dalam Kebijakan Perubahan Iklim

IESR memandang hal-hal yang harus masuk dalam sub bab tersebut, di antaranya pelibatan masyarakat dalam dialog partisipatif, mengutamakan kesetaraan, dan kejelasan implementasi dalam bentuk ketersediaan jaringan pengaman sosial, serta dukungan bagi pekerja terdampak.

“Transisi yang adil perlu dimulai dengan mengakui adanya faktor-faktor seperti gender dan usia yang dapat menghalangi suatu kelompok berpartisipasi dengan adil. Pengakuan ini harus diiringi dengan penerapan kebijakan yang memastikan semua kelompok mendapatkan perlakuan yang adil dan dukungan yang diperlukan selama transisi,” ujar Delima.

Secara ringkas, IESR merekomendasikan empat elemen kunci yang harus diperhatikan dalam penyusunan SNDC. Pertama, target iklim Indonesia pada tahun 2030 harus ambisius dan selaras dengan jalur global menuju nol emisi karbon pada tahun 2050.

Kedua, Indonesia perlu secara rinci dan transparan mengkomunikasikan kebutuhan pendanaan iklim untuk mencapai NDC bersyarat yang sejalan dengan target 1,5°C, serta memasukkan makna dan prinsip transisi adil (just transition) dalam SNDC.

Ketiga, pemerintah perlu menunjukan kredibilitas dalam mitigasi krisis iklim dengan menunjukkan komitmen politik yang kuat dan jelas terhadap upaya dekarbonisasi.

Keempat, pemerintah harus meningkatkan transparansi target iklim Indonesia dengan dengan memasukan semua GRK dan menyasar seluruh sektor ekonomi. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indriyani Astuti
Berita Lainnya