Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pengesahan UU KIA, Ini Respons Pakar Keluarga IPB University

Dede Susianti
12/6/2024 19:36
Pengesahan UU KIA, Ini Respons Pakar Keluarga IPB University
Menteri PPPA Bintang Puspayoga (kiri) menyerahkan pandangan pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani saat pengesahan UU KIA(MI/Susanto)

RANCANGAN Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) resmi disahkan menjadi Undang-undang oleh Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Selasa (4/6).

Salah satu hal yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah mengenai kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan. Di situ, diatur hukum menjamin seorang ibu memiliki hak untuk mendapatkan cuti melahirkan sampai 6 bulan. Untuk diketahui, sebelumnya cuti melahirkan hanya 3 bulan saja.

Pakar Keluarga IPB University, Prof Euis Sunarti, merespons momen penting tersebut. Menurutnya, peresmian UU KIA ini menjadi angin segar bagi para perempuan yang ingin berkiprah di dunia kerja. Selain itu, adanya UU KIA ini menjadi bukti kehadiran negara dalam menjamin hak dan kesejahteraan bagi ibu dan anak.

Baca juga : UU KIA Bertujuan Melindungi Hak Perempuan sebagai Ibu

“Melihat dari prinsipnya, sudah sepatutnya semua pihak setuju. Seperti perusahaan besar (swasta) dan perusahaan negara, wajib untuk menjamin hak dan kesejahteraan bagi pekerja perempuan yang hamil dan melahirkan,” ujar Prof Euis, melalui siaran pers yang dikeluarkan resmi oleh Biro Humas IPB University Rabu (12/6).

Secara spesifik, Prof Euis menyoroti mekanisme pelaksanaan aturan pemberian cuti melahirkan 6 bulan, dengan 4 bulan gaji dibayar penuh dan 2 bulan gaji dibayar 75%.

“Memang aturan ini perlu ditaati semua pihak, tetapi kita tidak boleh menutup mata bahwa masih banyak usaha kecil bahkan juga menengah yang dengan kondisi tertentu, yang ternyata tidak memungkinkan menjalankan aturan ini sepenuhnya,” ungkapnya.

Baca juga : UU KIA Akan Memperkuat Keseimbangan Peran Ayah dan Ibu dalam Pengasuhan

Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University ini juga menyinggung bahwa usaha dengan skala kecil dan menengah masih banyak dijumpai di Indonesia dengan berbagai kondisi. Dinamika tersebut menggambarkan bahwa perlu adanya standar kelayakan dan pengawasan suatu usaha yang dinilai harus menaati UU KIA ini.

Untuk idealnya, lanjutnya, harus ada perwakilan dari perusahaan dan pemerintah yang menilai dan mengawasi praktik UU KIA ini di lapangan. Hal itu agar tidak merugikan pihak mana pun, termasuk kepada pekerja perempuan dan keluarganya.

"Jangan sampai UU ini malah mendatangkan pesan bahwa mempekerjakan perempuan itu merepotkan dan merugikan. Bahkan, jangan sampai muncul mekanisme perekrutan dan perjanjian kerja secara informal atau di bawah tangan, bahwa pekerja perempuan tidak hamil sampai masa kerja tertentu,"tutut Prof Euis.

Baca juga : Konsistensi Berdayakan Perempuan Indonesia, PNM Raih 40 Penghargaan

Kilas Balik

Sementara itu sebagai kilas balik, jauh sebelum disahkan, Prof Euis sempat memberikan pertimbangan dan masukannya saat diundang Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) untuk menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) mengenai Rancangan UU KIA.

“Pada saat RDPU, disampaikan bahwa isi dalam rancangan UU KIA sebetulnya masih terlalu sempit jika dibandingkan dengan lingkup ‘kesejahteraan ibu dan anak’, yaitu fokus pada pemberian cuti bagi ibu hamil, dan melahirkan,” ungkap Profesor Euis.

Namun di sisi lain, pengaturan yang fokus pada kesejahteraan ibu dan anak itu sendiri lebih sempit dibandingkan dengan lingkup pengaturan ketahanan keluarga sebagai sistem. Kesejahteraan itu merupakan output dari ketahanan keluarga.

Baca juga : Peringati Hari Ibu, DPR Serukan PPNSB Sebagai Memori Kolektif Bangsa

Dia juga menyampaikan bahwa kesejahteraan ibu dan anak tidak akan terlepas dari peran suami dan ayah. Interaksi antara suami dan istri dalam keluarga juga menjadi faktor penting yang mendukung perwujudan kesejahteraan ibu dan anak di keluarga.

“Apabila tujuannya adalah kesejahteraan ibu dan anak, tentu peran suami juga tidak bisa dilepaskan. Dan sebetulnya, aturan yang dibuat harus mencakup ketahanan keluarga secara sistem bukan hanya sekadar melihat kesejahteraan ibu dan anak saja,” ungkapnya.

Profesor Euis yang masih aktif sebagai dosen di IPB University ini menilai bahwa UU KIA ini menjadi sebuah political will yang telah disepakati dan resmi menjadi sebuah aturan di Indonesia.

Melihat dari prinsipnya juga telah mencerminkan bahwa negara memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan keluarga dengan cara memberikan ruang terbuka bagi perempuan untuk berkarier. (DD/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya