Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Indonesia Selalu Dilanda Cuaca Ekstrem, BMKG Ingatkan Adaptasi di Sektor Pertanian

Atalya Puspa
05/3/2024 16:15
Indonesia Selalu Dilanda Cuaca Ekstrem, BMKG Ingatkan Adaptasi di Sektor Pertanian
Potensi cuaca ekstrem yang masih mengancam sebagian besar wilayah Indonesia hingga Februari 2024(MI/Ramdani)

BADAN Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, Indonesia sering dilanda cuaca ekstrem yang akan berpengaruh pada produksi pangan. Karenanya, dibutuhkan penyesuaian dalam sistem pertanian agar tahan terhadap ancaman cuaca ekstrem.

“Kita mau tidak mau harus memahami, bahwa kondisi iklim apapun yang terjadi, akan ada bagian dari sektor pangan yang terdampak,” kata Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Supari dalam acara bertajuk Bahan Pokok Mahal: Pentingnya Keberlanjutan Pangan di Tengah Krisis Iklim, Selasa (5/3).

Supari menjelaskan, dalam 10 tahun terakhir, kondisi iklim tersebut meliputi el nino yang terjadi di tahun 2015 hingga la nina pada 2022. “Kita sekarang lebih sering mengalami cuaca ekstrem daripada normal. Hanya di 2017 saja normal, selebihnya di musim kemarau kondisi ekstrem pasti terjadi,” imbuh Supari.

Baca juga : Didukung CSA, Subang Ajak Generasi Milenial Bangun Pertanian Daerah

Menurut dia, kondisi el nino yang menyebabkan curah hujan yang sangat rendah bisa mengakibatkan kekeringan hingga berdampak pada pertanian. Beberapa wilayah yang mengalami kondisi ekstrem di el nino 2023 di antaranya Sumatra Selatan, NTB, NTT, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Papua Selatan.

“Kondisi tanpa hujan berkelanjutan tercatat paling tinggi di Lombok sebanyak 222 hari atau tujuh bulan. Ini kondisi yang sangat kering dan sebagian daerah mengeluhkan produksi pangan yang tidak maksimal karena kondisi yang sangat kering,” ucap dia.

Bukan hanya el nino, menurut Supari, kondisi la nina pun menyebabkan pertanian hortikultura juga terdampak. Ia menyatakan, pada semester kedua 2024, la nina akan meliputi wilayah Indonesia. “Ketika la nina, kondisi hujan di musim kemarau akan lebih tinggi, tapi gak setinggi ketikan di musim hujan. Mungkin untuk padi akan lebih baik. Tapi bagi tanaman hortikultura seperti cabai, dan kentang, hujan berlimpah bisa jadi dampak. Jadi kita harus memahami kondisi iklim yang ada untuk menyesuaikan,” pungkas Supari.

Baca juga : Kementan Menargetkan Produksi Pangan Tahun Depan Meningkat

Pada kesempatan itu, Dosen dan Peneliti Pangan di sekolah Ilmu dan Pangan di sekolah Ilmu dan Teknologi ITB Angga Dwiartama mengungkapkan, perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem memang berpengaruh pada produksi pangan. Namun, hal itu bukanlah satu-satunya faktor.

Berdasarkan pengamatannya, produksi pertanian Indonesia sempat naik pada 2016, meskipun saat itu ada el nino besar. Namun, angka itu kemudian menurun pada 2018, dari yang tadinya 80 juta ton gabah kering giling sampai ke 50 juta ton.

“Artinya, perubahan iklim mungkin berpengaruh pada penurunan, tapi ada faktor lain, yakni alih fungsi lahan yang menjadi penyebab,” ucap dia.

Untuk iu, menurut dia, hal yang paling penting dilakukan ialah melakukan antisipasi pada petani-petani yang menjadi tulang punggung produksi pangan Indonesia.

“Kita gak bisa mengandalkan teknologi yang cukup advance. Ketika kena sedikit, tahun berikutnya gak nanam padi lagi, dan alih fungsi jadi komoditas lain. Karenanya, perlu penanggulangan kerentanan pada tiga hal, yakni exposure, sensitivitas dan adaptive capacity,” jelas Angga. (Ata/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik