Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Sinergi Pemerintah dan Masyarakat Menjaga Keanekaragaman Hayati Berkelanjutan

Media Indonesia
22/5/2023 20:45
Sinergi Pemerintah dan Masyarakat Menjaga Keanekaragaman Hayati Berkelanjutan
Hasil tangkapan nelayan dari pendampingan Yayasan Pesisir Lestari(Ist)

YAYASAN Pesisir Lestari dan Working Group ICCAs Indonesia (WGII) mengajak publik dan pengambil kebijakan untuk memberikan ruang lebih luas pada pendekatan konservasi yang berbasis hak asasi manusia (HAM), mengusung semangat kolaborasi dan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan lokal termasuk wilayah pesisir.

Ajakan ini bertepatan dengan peringatan Hari Keanekaragaman Hayati Internasional pada 22 Mei. Tahun ini Hari Keanekaragaman Hayati Internasional bertemakan Dari Persetujuan ke Tindakan: Bangun Kembali Keanekaragaman Hayati.

Manager Advokasi Kebijakan dan Tata Kelola Yayasan Pesisir Lestari Rayhan Dudayev mengatakan pendekatan itu tidak terlepas dari komitmen Indonesia untuk mendukung implementasi Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang disepakati dalam COP-15 Convention on Biological Biodiversity pada Desember 2022.

Baca juga: KLHK Canangkan Konsep Pembangunan Sensitif Keanekaragaman Hayati

Ia menjelaskan di Indonesia nelayan skala kecil merupakan penyumbang 60% dari total produksi perikanan nasional dan lebih dari 50% konsumsi protein kita berasal dari makanan laut.

Dalam konteks konservasi, masyarakat adalah entitas paling dekat dengan wilayah konservasi dan berperan sentral untuk berpartisipasi dalam menjaga dan mengelola kawasan secara efektif.

Baca juga: Ini Tiga Faktor yang Merusak Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati

“Dengan konsep konservasi kolaboratif, secara paralel kita tidak hanya melindungi ekosistem pesisir secara inklusif dan berkelanjutan tapi sekaligus pula menjaga ketahanan pangan bagi nelayan kecil dan kita semua,” kata Rayhan dalam keterangan tertulisnya, hari ini.

Lebih lanjut, Rayhan menjelaskan, konsep pengelolaan konservasi kolaboratif memiliki tujuan yang sejalan dengan konsep yang dijalankan pemerintah nasional dan daerah yaitu mengoptimalkan potensi sumberdaya berkelanjutan.

Yang menjadi pembedanya adalah pelibatan para pihak secara setara untuk melakukan, saling menguatkan, dan mendukung pengelolaan konservasi.

Di sisi lain, berbagai praktik pengelolaan secara turun temurun dilakukan masyarakat di Nusantara.

Sebagai contoh, di Wakatobi, terdapat praktik Parimpari yang merupakan model pengelolaan dan konservasi berbasis adat yang dilakukan dengan menutup suatu wilayah tertentu dan/atau melarang penangkapan spesies ikan dan/atau tanaman dalam kurun waktu yang ditentukan melalui musyawarah adat. 

Di Maluku dan Papua, praktik dengan model pengelolaan yang sama biasa disebut sebagai Sasi.

Dalam kesempatan ini, Working Group ICCAs Indonesia (WGII) kembali menyoroti pentingnya melakukan penyempurnaan pada Draft Rancangan Undang-Undang Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE).

Terutama terkait kesepakatan Kunming-Montreal Biodiversity Framework yang membawa intensi baik dalam melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah, sumberdaya, dan pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh komunitas tersebut.

Baca juga: Upaya Menjaga Keanekaragaman Hayati untuk Dunia yang Lebih Baik

Cindy Julianty, Program Manager WGII memaparkan dalam mencegah dan memulihkan kehilangan keanekaragaman hayati, pemerintah tidak dapat bekerja sendiri.

"Dibutuhkan kolaborasi dan perubahan pendekatan terhadap tata kelola keanekaragaman hayati di Indonesia," kata dia.

RUU KSDAHE yang diusulkan DPR dapat menjadi peluang, tetapi dibutuhkan penyempurnaan misalnya terkait partisipasi yang bermakna, pengakuan hak-hak masyarakat dan praktik konservasinya (ICCAs) yang seharusnya lebih mudah dan berbiaya murah, penerapan prinsip Padiatapa dalam penetapan kawasan konservasi dan akses pada pengetahuan tradisional. Hal ini sejalan dengan beberapa target yang dimandatkan KM-GBF.

"Faktanya masyarakat adat dan lokal sudah mempraktikkan konservasi sebelum adanya UU No 5 Tahun 1990," kata dia.

Working Group ICCAs Indonesia sendiri mencatat lebih dari 470.000 hektare wilayah yang dilindungi dan dimanfaatkan secara berkelanjutan oleh masyarakat adat dan lokal, dengan estimasi potensi luasan mencapai 4,2 juta hektare.

"Angka itu masih dapat berkembang, mengingat angka wilayah adat yang didaftarkan di BRWA telah mencapai 24 juta hektare," kata Cindy. (RO/S-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Sidik Pramono
Berita Lainnya