Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Tengah Melanda Asia, Ini Penjelasan BMKG tentang Penyebab dan Dampak Heatwave atau Gelombang Panas

Despian Nurhidayat
25/4/2023 22:00
Tengah Melanda Asia, Ini Penjelasan BMKG tentang Penyebab dan Dampak Heatwave atau Gelombang Panas
Warga melindungi diri dari sinar matahari di cuaca panas ekstrem.(AFP/Main)

Sejak pekan lalu hingga hari ini, Selasa, (25/4) hampir sebagian besar negara-negara di Asia Selatan masih terdampak gelombang panas atau heatwave. Badan Meteorologi di negara-negara Asia seperti Bangladesh, Myanmar, India, China, Thailand, dan Laos telah melaporkan kejadian suhu panas lebih dari 40°C yang telah berlangsung beberapa hari belakangan.

Badan Meteorologi Tiongkok (CMA) melaporkan lebih dari 100 stasiun cuaca di Tiongkok mencatat suhu tertinggi sepanjang sejarah pengamatan instrumen untuk bulan April ini. Di Jepang panas yang luar biasa juga teramati dalam beberapa hari terakhir. Kumarkhali, kota di distrik Kusthia, Bangladesh menjadi daerah terpanas dengan suhu maksimum harian yang tercatat sebesar 51,2°C pada 17 April 2023. Sedangkan 10 kota terpanas di Asia lainnya terjadi sebagian besarnya berada di Myanmar dan India.

Namun, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan untuk Indonesia, gelombang panas tidak terjadi. Pasalnya, suhu panas di Indonesia maksimal hanya berkisar di 37°C.

Baca juga: Asia Dilanda Gelombang Panas Akibat Perubahan Iklim, Peneliti Waspadai Cuaca Sepanjang 2023

"Di Indonesia suhu maksimum harian tercatat mencapai 37,2°C di stasiun pengamatan BMKG di Ciputat pada pekan lalu, meskipun secara umum suhu tertinggi yang tercatat di beberapa lokasi berada pada kisaran 34°C sampai 36°C hingga saat ini," ungkapnya, Selasa (25/4).

Lebih lanjut, gelombang panas dapat dijelaskan melalui dua penjelasan yang saling melengkapi, yaitu penjelasan secara karakteristik fenomena dan penjelasan secara indikator statistik suhu kejadian.

Baca juga: Cuaca Panas Ekstrem, Ini yang Perlu Diwaspadai dan Dilakukan agar Tetap Sehat Menurut Kemenkes

Secara karakteristik fenomena, gelombang panas umumnya terjadi pada wilayah yang terletak pada lintang menengah hingga lintang tinggi, di belahan Bumi Bagian Utara maupun di belahan Bumi Bagian Selatan, pada wilayah geografis yang memiliki atau berdekatan dengan massa daratan dengan luasan yang besar, atau wilayah kontinental atau sub-kontinental.

"Sementara wilayah Indonesia terletak di wilayah ekuator, dengan kondisi geografis kepulauan yang dikelilingi perairan yang luas," kata Dwikorita.

Gelombang panas biasanya terjadi berkaitan dengan berkembangnya pola cuaca sistem tekanan atmosfer tinggi di suatu area dengan luasan yang besar secara persisten dalam beberapa hari, yang berkaitan dengan aktifitas gelombang Rossby di troposfer bagian atas.

Dalam sistem tekanan tinggi tersebut, pergerakan udara dari atmosfer bagian atas menekan udara permukaan (subsidensi) sehingga termampatkan dan suhu permukaan meningkat karena umpan balik positif antara massa daratan dan atmosfer.

Pusat tekanan atmosfer tinggi ini menyulitkan aliran udara dari daerah lain mengalilr masuk ke area tersebut. Semakin lama sistem tekanan tinggi ini berkembang di suatu area karena umpan balik positif antara daratan dan atmosfer, semakin meningkat panas di area tersebut, dan semakin sulit awan tumbuh di wilayah tersebut.

Secara indikator statistik suhu kejadian, gelombang panas dalam ilmu cuaca dan iklim didefinisikan sebagai periode cuaca dengan kenaikan suhu panas yang tidak biasa yang berlangsung setidaknya lima hari berturut-turut atau lebih.

Selain itu untuk fenomena cuaca termasuk sebagai kategori gelombang panas, suatu lokasi harus mencatat suhu maksimum harian melebihi ambang batas statistik, misalnya 5 derajat celcius lebih panas, dari rata-rata klimatologis suhu maksimum. Apabila suhu maksimum tersebut terjadi dalam rentang rata-ratanya dan tidak berlangsung lama maka tidak dikategorikan sebagai gelombang panas.

Dwikorita menjelaskan, fenomena udara panas yang terjadi di Indonesia belakangan, jika ditinjau secara lebih mendalam dengan dua penjelasan tersebut baik secara karakteristik fenomena maupun secara indikator statistik pengamatan suhu, tidak termasuk kedalam kategori gelombang panas, karena tidak memenuhi kondisi-kondisi tersebut.

"Secara karakteristik fenomena, suhu panas yang terjadi di wilayah Indonesia merupakan fenomena akibat dari adanya gerak semu matahari yang merupakan suatu siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun, sehingga potensi suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya," ujarnya.

"Sedangkan secara indikator statistik suhu kejadian, lonjakan suhu maksimum yang mencapai 37,2°C melalui pengamatan stasiun BMKG di Ciputat pada pekan lalu hanya terjadi satu hari tepatnya pada tanggal 17 April 2023. Suhu tinggi tersebut sudah turun dan kini suhu maksimum teramati berada dalam kisaran 34-36°C di beberapa lokasi," sambung Dwikorita.

Variasi suhu maksimum 34°C sampai 36°C untuk wilayah Indonesia dikatakan masih dalam kisaran normal klimatologi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Secara klimatologis, dalam hal ini untuk Jakarta, bulan April-Mei-Juni adalah bulan-bulan di mana suhu maksimum mencapai puncaknya, selain Oktober-November.

Dwikorita juga menjelaskan mengenai informasi kondisi suhu udara panas yang dikaitkan dengan fluktuasi radiasi ultraviolet (UV) dari sinar matahari. Menurutnya, besar kecil radiasi UV yang mencapai permukaan bumi terdebut memiliki indikator nilai indeks UV.

"Indeks ini dibagi menjadi beberapa kategori: 0-2 (Low), 3-5 (Moderate), 6-7 (High), 8-10 (Very high), dan 11 ke atas (Extreme). Secara umum, pola harian indeks ultraviolet berada pada kategori “Low” di pagi hari; mencapai puncaknya di kategori “High”, “Very high”, sampai dengan “Extreme” ketika intensitas radiasi matahari paling tinggi di siang hari antara pukul 12:00 s.d. 15:00 waktu setempat; dan bergerak turun kembali ke kategori “Low” di sore hari. Pola ini bergantung pada lokasi geografis dan elevasi suatu tempat, posisi matahari, jenis permukaan, dan tutupan awan," tuturnya.

Dwikorita menegaskan, tinggi rendahnya indeks UV tidak memberikan pengaruh langsung pada kondisi suhu udara di suatu wilayah.

Untuk wilayah tropis seperti Indonesia, pola harian secara rutin dapat teramati dari hari ke hari meskipun tidak ada fenomena gelombang panas. Faktor cuaca lainnya seperti berkurangnya tutupan awan dan kelembapan udara dapat memberikan kontribusi lebih terhadap nilai indeks UV.

Untuk lokasi dengan kondisi umum cuacanya diprakirakan cerah-berawan pada pagi sampai dengan siang hari dapat berpotensi menyebabkan indeks UV pada kategori “Very high” dan “Extreme” di siang hari.

"Menurutnya, masyarakat disarankan agar tidak perlu panik menyikapi informasi UV harian tersebut, serta mengikuti dan melaksanakan himbauan respon bersesuaian yang dapat dilakukan untuk masing-masing kategori index UV, seperti menggunakan perangkat pelindung atau tabir surya apabila melakukan aktivitas di luar ruangan," pungkas Dwikorita.

(Z-9)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya