Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
OBESITAS dapat dialami oleh berbagai jenis kalangan dan usia, termasuk anak-anak. Berdasarkan data riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, jumlah kasus obesitas di Indonesia meningkat hingga 35,4%. Angka ini terus meningkat dibandingkan Riskesdas 2007 sebesar 19,1%.
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Pimprim Yanuarso meminta orangtua tetap harus waspada terhadap kasus obesitas pada anak dan remaja. Ini lantaran banyak sekali makanan dan minuman jajanan anak yang tinggi gula dan tinggi tepung ditambah lagi dengan kebiasaan yang malas gerak.
"Godaannya sangat banyak sekali, terutama untuk remaja. Iklan makanan dan minuman manis sangat luar biasa saat ini. Bila anak sudah suka mengonsumsi minuman tinggi gula, ditambah lagi malas gerak, ini sangat rentan terserang obesitas," kata Piprim saat media briefing secara virtual bertajuk Obesitas pada Anak dan Dampaknya pada Selasa (7/3). Alasan anak selalu lapar karena mengonsumsi makanan tinggi kalori dan terlalu sering mengonsumsi makanan high glukemi indeks atau tinggi karbohidrat, gula, dan tepung.
Baca juga: Hati-hati! Obesitas pada Anak Berisiko Menetap hingga Dewasa
Obesitas dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti stroke, penyakit ginjal, hingga kanker. Oleh sebab itu, ia mengimbau masyarakat menerapkan pola makan dan gaya hidup sehat untuk menghindari obesitas.
"Diabetes dan syndrome metabolik ialah penyakit akibat new lifestyle diseases. Penyakit akibat gaya hidup baru. Gaya hidup westernisasi sebenarnya. Karena gaya hidup, pencegahannya pun lewat gaya hidup. Misalnya pola makan dan olahraga pola gerak," kata Piprim.
Baca juga: Waktu Tidur Anak Kurang, Bisa Sebabkan Obesitas
Melihat dari kasus dan dampak yang terjadi akibat obesitas tersebut, cara terbaik buat mencegah obesitas kepada anak tentu dengan memberikan makanan yang mengandung protein hewani, buah-buahan, dan sayuran. Bisa juga dengan real food alias menu makanan tanpa proses masak yang berlebihan. Itu lebih bebas bahan kimia tambahan yang tidak diperlukan dan kaya nutrisi. "Untuk memutus mata rantai seperti ini ialah kita stop jenis makanan dulu. Junkfood ganti ke realfood. Makanya dikenyangkan dengan protein hewani," paparnya.
"Untuk balita, protein hewani bisa diberikan ketika anak sudah mendapatkan makanan pendamping ASI. Protein hewani bisa didapat misalnya dari olahan telur, pepes ikan, ayam rica-rica, rendang, dan banyak lagi. Makanan ini bisa lebih mengenyangkan. Anak tidak gampang lapar," tambahnya.
Berbeda dengan asupan yang tinggi karbohidrat cepat serap. Ketika mengonsumsi, gula darah akan cepat naik dan turun. Akibatnya, anak akan lebih cepat merasa lapar. "Sedangkan untuk minuman manis dapat diganti dengan pemanis rendah kalori. Intinya, mengubah pola makan menjadi langkah pertama mencegah dan mengatasi obesitas pada anak. Bila pola makan sudah terjaga, lanjutkan dengan membiasakan anak melakukan gerak tubuh," pungkas Piprim.
Ketua Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi IDAI, Muhammad Faizi, menambahkan masyarakat juga harus bisa mengubah pandangan bahwa anak gemuk itu lucu dan gemesin. "Tidak seperti itu. Anak gemuk jangan dianggap sebagai kondisi sehat dan lucu, justru sebaliknya, potensi obesitas," ucapnya.
Potensi terjadinya obesitas pada anak dan remaja sangat tinggi jika orangtua kurang waspada terhadap kesehatan anak. Untuk itu, orangtua perlu mengidentifikasi ragam faktor risiko dan komplikasi obesitas sebagai berikut:
Pada dasarnya, obesitas dapat menyerang siapa saja dari segala usia. Seseorang lebih berpotensi terkena obesitas jika memiliki sejumlah faktor risiko.
1. Gaya hidup.
Pola makan yang tidak sehat (kalori berlebihan) dan gaya hidup yang tidak aktif dapat memicu obesitas. Makanan yang diduga menjadi penyebab utama obesitas ialah junk food atau makanan cepat saji, makanan yang mengandung lemak jenuh, dan kandungan gula tinggi.
2. Faktor genetik.
Risiko anak dan remaja mengalami obesitas lebih besar jika orangtua memiliki riwayat obesitas.
3. Faktor psikologi.
Rasa stres dan depresi dapat memicu obesitas pada anak dan remaja. Hal ini karena kondisi mental yang tertekan mampu mendorong anak untuk menjadikan kebiasaan banyak makan sebagai pelarian sehingga asupan kalori menjadi berlebih.
Anak obesitas berpotensi mengalami berbagai penyakit yang menyebabkan kematian antara lain penyakit kardiovaskular, diabetes melitus, dan lain-lain. Kegemukan pada masa anak-anak juga menimbulkan konsekuensi psikososial jangka pendek dan jangka panjang seperti penurunan kepercayaan diri, gangguan makan, dan kesehatan yang lebih rendah hubungannya dengan kualitas hidup. Kondisi kegemukan pada usia dini akan dibawa sampai dewasa, yang berdampak terhadap peningkatan rrsiko penyakit degeneratif. (Z-2)
Selain dukungan dalam bentuk kebijakan, efektivitas sistem perlindungan perempuan dan anak sangat membutuhkan political will dari para pemangku kepentingan.
Anak-anak yang belum bisa berkomunikasi dengan baik perlu selalu didampingi saat bermain sendiri maupun bersama teman-temannya.
Sebelum anak dilepas bermain di luar, orangtua diminta memulai dengan pengawasan hingga pemantauan di awal.
Ringgo Agus Rahman mengaku belum ada hal yang dapat ia banggakan pada anak-anaknya untuk ditinggalkan.
PENGUATAN langkah koordinasi dan sinergi antarpara pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah serta masyarakat harus mampu melahirkan gerakan antikekerasan.
Ketika anak mengalami kecemasan saat dijauhkan dari gawainya, itu menjadi salah satu gejala adiksi atau kecanduan.
Banyak orang tua lupa memeriksakan kesehatan remaja secara rutin. Padahal, masa remaja rentan terhadap masalah pubertas
3 masalah mental remaja: identitas diri, emosi, dan sosial. Peran orang tua krusial dalam masa tumbuh kembang usia 10–18 tahun.
HASIL survei yang dilakukan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) usia pertama kali remaja di wilayah Jabar yang terlibat dalam hubungan seksual kini semakin muda.
Indonesia menempati peringkat kedua kasus TB terbanyak di dunia. Polusi udara dan lingkungan tidak sehat meningkatkan risiko TB, terutama pada remaja.
Pada anak usia dini—yang masih berada pada tahap praoperasional menurut teori Piaget—, konten absurd berisiko mengacaukan pemahaman terhadap realitas.
Grooming adalah tindakan sistematis yang dilakukan pelaku (groomer) untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan kendali atas korban dengan tujuan eksploitasi, sering kali seksual.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved