Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Dinilai Sebagai Kejahatan Kemanusiaan, DPR Diminta Segera Sahkan RUU TPKS

Faustinus Nua
26/11/2021 14:55
Dinilai Sebagai Kejahatan Kemanusiaan, DPR Diminta Segera Sahkan RUU TPKS
AKSI DUKUNG RUU TPKS: Massa Aliansi Gerakan Perempuan Anti Kekerasan melakukan Aksi Selasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat.(ANTARA /NOVRIAN ARBI )

GURU Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Sulistyowati Irianto mendesak Badan Legislasi DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Pembahasan RUU tersebut perlu menggunakan hati nurani bukan sebaliknya membangun sentimen politik identitas yang mengaburkan substansinya.

"Selama ini KUHP menempatkan kejahatan kekerasan seksual sebagai kejahatan asusila saja. Padahal kekerasan seksual itu kejahatan kemanusiaan, sudah terlalu banyak bukti yang menunjukan bahwa korban bisa kehilangan nyawa. Dan itu bukan hanya bisa tapi sudah terjadi, mengalami trauma sepanjang hidup, kecacatan dan kehilangan masa depan. Jadi kekerasan seksual itu bukan crime against etics tetapi crime agaist humanity, harus dihentikan," ujarnya dalam diskusi virual, Jumat (26/11).

Sulistyo mengatakan bahwa korban-korban kekerasan seksual sudah sangat banyak. Banyak korban juga masih takut bersuara karena tidak ada payung hukum yang melindungi mereka di negara ini.

Perjuangan RUU TPKS itu pun sudah berlangsung lama, tarik ulur di legislatif hingga saat ini belum menemui titik terang. Padahal sejumlah syarat sudah dilengkapi dan semua berdasarkan pada evidence base dan temuan-temuan penelitian ilmiah. "Saya ajak teman-teman para wakil rakyat yang terhormat di Baleg itu untuk melihat syarat-syaratnya, secara filosofis, yuridis, dan sosisologis apakah RUU ini baik atau tidak," kata dia.

Lebih lanjut, dia meminta DPR mendengarkan suara-suara korban yang setiap tahun terus dilaporkan Komnas Perempuan. Angkanya terus bertambah, sehingga menggunakan hati nurani dalam membahas upaya perlindungan terhadap kejahatan kemanusiaan itu.

Dia menyebut pembahasan di DPR terhambat lantaran adanya sentimen politik identitas. Sementara korban terus berjatuhan menanti perjalanan RUU yang berlangsung hampir 9 tahun itu.

"Selama ini yang terjadi adalah bagaimana sentimen-sentimen politik itu dimunculkan untuk menghambat RUU ini sampai 9 tahun tidak segera kunjung disahkan. Padahal korbanya berjatuhan ribuan setiap tahun, setiap 2 jam ada 3 korban," tandasnya.(H-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya