Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Ketum PP Muhammadiyah: Lima Virus Pendidikan Nasional Indonesia

Ardi Teristi
24/7/2021 20:40
Ketum PP Muhammadiyah: Lima Virus Pendidikan Nasional Indonesia
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (tengah)(ANTARA/SIGID KURNIAWAN)

Saat memberikan keynote speech dalam pembukaan forum webinar nasional guru Muhammadiyah, Sabtu (24/7) Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyinggung lima virus pendidikan Indonesia.

Lima virus itu ditengarai sebagai unsur yang pelan-pelan mengikis identitas nasional para pelajar Indonesia dari jati diri bangsa.

"Saya tidak akan bilang dosa. Kalau ada yang bilang dosa pendidikan Indonesia itu nanti terlalu sakral. Saya menyebutnya virus saja," kata Haedar dalam siaran pers, Sabtu (24/7).

Baca juga: Polres Metro Jaya Jakarta Selatan Buka Gerai Vaksin untuk Masyarakat Umum

Pertama, virus agnostik atau agnostisisme. Virus ini ditengarai Haedar sebagai bentuk laten dari cara pandang dan kebijakan yang berusaha 
menjauhkan siswa dari nilai-nilai ketuhanan dan agama.

Dua nilai ini dinegasikan dengan dunia ilmu pengetahuan karena dipandang sebagai sumber masalah yang sebenarnya justru dimunculkan oleh sejumlah kecil oknum-oknum umat beragama saja.

"Ini semacam alam pikiran sekular di mana ada praktek-praktek terorisme, orang sempit beragama, lalu disebutkan bahwa agama itu adalah sumber masalah. Nah, di dunia pendidikan modern itu sudah mulai masuk," ungkapnya.

Kedua, virus ekstremisme dan radikalisme apa saja. Haedar menengarai kurikulum di dunia pendidikan belum banyak berubah dari sikap yang generalisir dan stigmatif. Haedar menggunakan kata 'apa saja'untuk menolak pandangan bahwa ekstremisme dan radikalisme hanya identik dengan agama, dan lebih khusus kepada Islam.

Baca juga: Terjangan Cuaca Ekstrem dalam Sorotan Laporan Sains Iklim PBB

"Maka di sini apa saja. Ada ekstremisme dan radikalisme karena pandangan agama yang ekstrem, misalnya jangan takut virus, takut hanya kepada Tuhan, itu ekstrem. Padahal kata Nabi ikat dulu untamu (berusaha), baru pasrah," kata Haedar.

"Tapi juga ingat ada ekstrimisme dan radikalisme atas nama kebangsaan, namanya chauvinisme nasionalisme yang itu memandang bahwa 
nasionalismelah yang utama. Agama dan lain-lain itu nomor dua. Itu ekstrem. Juga ada ekstrimisme radikalisme karena politik, misalkan 
separatisme atau ideologi misalnya komunisme, liberalisme, dan lain-lain," jelas Haedar.

Ketiga, virus kekerasan di dunia pendidikan, baik oleh guru kepada murid ataupun murid kepada murid yang lain (perundungan, bullying).
Keempat, virus asusila atau pelecehan seksual. Meskipun kasus ini terbilang kecil, tapi tetap mencoreng dunia pendidikan dan integritas 
akhlak.

"Memang kecil jumlahnya tapi jangan sampai hal ini menjadi kultur yang terkondisi bahwa kita selalu mentoleransi hal seperti ini karena kalau 
dunia guru sudah jebol di aspek low model seperti ini saja, jadi siapa lagi yang bisa digugu dan ditiru (jadi teladan)" pesan Haedar.

Kelima, virus pembodohan, yakni mengajari murid dengan berbagai hal yang tidak selayaknya diajarkan sehingga membuat civitas akademika tidak tercerahkan.

"Maka ini perlu menjadi perhatian kita. Tentu di balik itu ada banyak kemajuan dalam dunia pendidikan kita. Ada banyak kisah-kisah sukses 
dalam dunia pendidikan kita dan banyak prestasi dari anak didik kita yang ini adalah modal kita untuk memajukan dunia pendidikan dalam rangka optimisme dan tetap semangat karena banyak guru juga yang menjadi teladan," tutup dia. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA
Berita Lainnya